Part 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zea mengangkat wajahnya dengan air mata yang merebak, bukan oleh tamparan di wajahnya sekaligus oleh sikap Zidan yang seolah menikmati dengan sangat baik pertunjukan tersebut. Dan ia bersumpah seringai tersemat samar di ujung bibir pria itu. Dan saking kerasnya tamparan tersebut, bukan hanya rasa malu yang membuat wajah Zea merah padam. Seluruh permukaan wajahnya terasa begitu panas, ditambah rasa pusing yang teramat karena kepalanya terputar ke samping, membuat Zea sempat terhuyung ke belakang.

"Aku tak tahu kau benar-benar semurahan ini, Zea," desis Arumi dengan kobaran amarah yang menggeliat di kedua mata bening wanita itu. "Semurahan itu hingga kau tak tahan jika tidak bersentuhan dengan pria, huh? Bahkan tanah kuburan suamimu belum mengering."

"Sungguh kasihan Arion memiliki istri menjijikkan seperti kau, Zea."

Mata Zea mengerjap, menahan gelombang air matanya tumpah dengan cara menyedihkan seperti ini. Bibirnya menipis tajam saat mendesiskan balasan. "Jaga ucapanmu."

Peringatan Zea malah membuat Arumi semakin dibakar amarah, sekali lagi tangannya melayang. Namun kali ini Zidan menangkap pergelangan tangan Arumi sebelum sempat menyentuh wajah Zea.

Zea yang sudah memperkirakan tamparan tersebut, sama sekali tak berkedip. Seringai terbit di salah satu ujung bibirnya ketika tamparan tersebut tertahan. "Hanya karena kau tak becus mempertahankan kekasihmu, bukan salah orang lain untuk wanita yang berada di ranjang kekasihmu."

Zea menjatuhkan buket bunga di tangannya ke lantai, kemudian mengangkat salah satunya dan menginjak bunga tersebut ketika melangkah pergi melewati Arumi.

"Dasar sialan." Arumi memutar tangannya, berusaha me

"Hentikan, Arumi. Kau tak ingin pengawalku menyeretmu untuk angkat kaki dari rumahku. Jangan mempermalukan dirimu sendiri." Zidan melirik ke arah beberapa tamu undangan yang diselimuti keheningan oleh adegan dramatis baru saja.

"Kau yang membuatku kehilangan kontrol seperti ini, Zidan." Arumi menyalahkan.

Zidan menatap kedongkolan di kedua mata Arumi.

"Kau menyuruhku mengurus proyek di Cina untuk rencana sialanmu ini, begitu?"

Zidan tak menyangkal. Melepaskan tangan Arumi dan berkata, "Kita bicara di dalam."

***

Air mata Zea tumpah begitu ia mengunci pintu mandi, tubuhnya menggelosor ke lantai dan meringkuk seperti bola. Tersedu dengan keras dengan pundaknya yang naik turun. Dadanya menjeritkan nama Arion, berkali-kali berharap semua ini tak benar-benar nyata.

Akan tetapi, sekeras apa pun dan sebesar apa pun ia harapannya merintih. Faktanya Arion sudah meninggalkannya sendirian. Membiarkannya berjuang seorang diri. Ribuan tanya kenapa Arion melakukan ini terhadapnya, memenuhi isi kepalanya yang mendamba jawaban.

Tangisa Zea mereda setelah beberapa saat yang lama dan air matanya terasa mengering. Butuh tiga kali usaha baginya untuk menguatkan hati dan bangkit dari ringkukannya. Melepaskan gaun putihnya dan melemparnya begitu saja ke sudut kamar mandi. Membersihkan wajah, terutama bibirnya dari penghinaan yang telah ditorehkan Zidan di sana.

Saat membersihkan tangan, pandangannya berpindah ke arah cincin di jari manisnya. Zea melepaskan cincin tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian menyambar jubah mandi bersih di gantungan dan keluar.

Baru saja ia mengenakan dres biru mudanya, pelayan mengetuk pintu kamarnya. Memintanya untuk segera turun karena para tamu sudah menunggu di ruang makan. Zea menolak turun dan menyuruh Zidan mengurus tamu pria itu sendiri. Tetapi karena pelayan itu mengatakan tak bisa turun jika ia tidak turun, Zea pun tak punya pilihan.

Ia baru saja memasuki ruang santai ketika langkahnya terhenti oleh suara percakapan di sofa. Zea menoleh, menemukan Arumi berdiri dengan gestur yang dipenuhi keresahan. Suara meninggi, yang tentu menarik perhatian Zea. Sedangkan Zidan, dengan pakaian serba putihnya duduk bersilang kaki dan bersandar di punggung sofa.

"Kau benar-benar sudah gila, Zidan? Bagaimana mungkin kau menikahinya? Semua akan memperburuk situasimu."

"Arion baru saja meninggal seminggu yang lalu dan kau sudah menikahi istrinya?

"Aku tahu apa yang kulakukan, Arumi." Berbanding terbalik dengan ucapan Arumi yang berapi-api, nada suara Zidan terdengar begitu santai dan penuh ketenangan. Dengan gerakan jemari tangan yang nepuk-nepuk lengan sofa.

"Lalu bagaimana denganku?"

"Aku bisa mendapatkan apa pun yang kuinginkan, Arumi. Apa yang perlu kau proteskan?"

Wajah Arumi seketika membeku dan diselimuti kepucatan. "Aku bersumpah akan membuatnya membayar mahal karena telah mengalihkan perhatianmu, Zidan. Kau tahu aku akan melakukan apa pun agar dia sama menderitanya denganku."

Pandangan Zidan tiba-tiba teralihkan ke arah samping tangga, tempat Zea mematung di sana karena mendengar pembicaraannya.

Arumi mengikuti arah pandangan Zidan, dengan kebencian yang semakin menggelapkan kedua mata wanita itu menusuk tatapan Zea. "Aku akan memberinya neraka yang belum pernah ia dapatkan. Aku tak akan tersingkirkan sendirian.

Zea menahan napas akan tajamnya tusukan tatapan Arumi. Menahan matanya tak sampai berkedip meski tamparan Arumi masih terasa begitu membekas di pipinya. Tidak, ia tak akan dikalahkan oleh wanita itu. Ia tak akan memiliki sedikit pun rasa sungkan akan patah hatinya wanita itu. Zidanlah yang membawanya ke rumah ini. Zidanlah yang memaksanya menikah dengan pria itu. Permasalahan apa pun di antara mereka sama sekali bukan urusan Zea.

Zea memalingkan wajahnya lebih dulu, melanjutkan langkahnya melintasi ruang tengah.

"Pakaian apa itu yang kau kenakan, Zea?" Pertanyaan Zidan menghentikan langkah Zea.

Zea hanya berhenti, tanpa memutar kepala dan kembali mengangkat kaki.

"Ganti pakaianmu."

Zea tak menggubris.

"Ganti pakaianmu atau aku akan mematahkan kakimu agar kau berhenti." Ancaman Zidan bergema di seluruh penjuru ruangan tersebut.

Langkah Zea terhenti, berdecak tipis sebelum menoleh. "Kenapa dengan pakaianku, Zidan?"

"Aku tak menyukainya. Aku sudah menyiapkan pakaian gantimu untuk acara makan malam."

"Aku tak menyukainya."

Zidan menyeringai. "Jika diingat-ingat, apakah aku pernah menanyakan pendapatmu?"

Gurat di wajah Zea mengeras. "Kenapa aku bahkan tak punya hak untuk memilih pakaian apa pun yang kuinginkan, Zidan? Siapa kau mengatur-ngatur cara berpakaianku."

Tatapan Zidan seketika menggelap, pria itu bangkit dan dalam lima langkah lebarnya menyambar pergelangan tangan Zea.

Arumi menyeringai. Menikmati pertunjukan di depannya dengan penuh kepuasan. Ini hanyalah bayaran kecil sebagai istri Zidan El Daviq. Dan bayaran yang lebih besar akan menunggu ke depannya.

"Lepaskan, Zidan." Menggunakan tangannya yang lain untuk memukul cengkeraman kuat Zidan ketika menyeretnya kembali ke kamar. Terkejut oleh sikap kasar Zidan yang sebelumnya tak pernah ditunjukkan oleh pria itu. Pun dengan kekejaman pria itu yang selalu membuatnya tak berkutik. Seharusnya Zea tak perlu terkejut, kan.

Langkahnya benar-benar terseok karena kakinya yang jelas lebih pendek dari kaki panjang Zidan. Terutama ketika menaiki anak tangga, Zidan sama sekali tak peduli ketika sandalnya terlepas entah di mana.

"Di rumah ini, ucapankulah peraturannya, Zea." Zidan mendobrak pintu kamar Zea.

"Ganti pakaianmu atau aku yang akan melakukannya dengan kedua tanganku sendiri," ancam Zidan sambil mendorong tubuh Zea ke tengah tempat tidur. "Jika aku yang melakukannya, akan ada jeda yang cukup panjang sebelum kau kembali berpakaian, Zea. Di atas tempat tidur ini."

Ancaman terakhir Zidanlah yang membuat Zea segera melompat bangun, Zea mengambil gaun yang letakkan di ujung tempat tidur sejak tadi pagi dan ia abaikan, dengan kedongkolan yang memenuhi dada hingga menyesakkannya. Lalu menghilang di balik gedoran pintu yang keras.

Dan rupanya, tak cukup sampai di situ Zea menguji kesabaran Zidan. Ketika acara makan malam dimulai, dengan keluarga dekat Zidan yang tak lebih dari jumlah seluruh jemari tangan. Zidan mengangkat gelas anggurnya, dengan senyum yang tak lepas dari Zea yang duduk di sampingnya. "Demi cinta dan kebahagiaan yang abadi."

Zea nyaris muntah dengan kalimat penuh dusta Zidan. Dan kesemua para tamu sudah mengangkat gelas masing-masing, menunggu Zea yang seorang diri menusuk-nusuk steaknya yang sudah dipotongkan oleh Zidan dengan tujuan membuatnya kesal.

Merasakan tatapan tajam dari arah samping, membuat Zea menoleh secara perlahan. Zidan menyuruhnya mengangkat gelas dengan tatapan mata pria itu. Namun, kejanggalan yang ada di antara jemari tangannya membuat Zidan menurunkan pandangan.

"Di mana cincinmu?" Bibir Zidan nyaris tak bergerak ketika mengucapkan pertanyaan tersebut.

Keheningan yang menegangkan seketika menyelimuti seluruh ruang makan. Membuat jantung siapa pun yang berada di sekitar Zidan berhenti berdetak akan nada gelap yang menyelimuti ucapan Zidan.

Zea menelan ludahnya. Bagaimana pun ia mencoba memberanikan diri, tetap saja ekspresi yang menggelapi serta sorot mengerikan Zidan membuat tubuhnya seolah dilumpuhkan. Hanya satu yang Zea tahu, ia benar-benar berhasil menendang kepala singa yang tengah menikmati pesta kemenangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro