Part 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku bertanya di mana cincinmu, Zea?" Zidan menangkap pergelangan tangan kanan Zea yang masih menggenggam sendok. Sendok itu jatuh ke lantai meninggalkan bunyi kelontangan yang terdengar mengerikan di telinga siapa pun.

Zea merasakan pergelangan tangannya serasa akan patah. Dalam hati berusaha keras menenangkan debar jantungnya yang naik turun tak berarutan.

"Apa kau bisu?"

"Aku membuangnya di tempat sampah." Zea berhasil mengeluarkan suaranya tanpa getaran. Dagunya sedikit terangkat meski giginya menggigit bibir bagian dalamnya merasakan rasa sakit dari tulangnya yang mungkin sudah remuk dalam cengkeraman kuat pria itu.

Genggaman tangan Zidan yang menggenggam gelas anggur menguat. Membuat gelas tersebut pecah dan beberapa pecahan meneteskan darah.

Semua tamu serentak terkesiap. Napas mereka tertahan, tak berani membayangkan apa yang akan dilakukan Zidan terhadap sikap tak tahu terima kasih Zea yang menginjak habis-habis harga diri seorang Zidan El Daviq.

Di acara sumpah pernikahan saja mereka sudah dibuat terkena serangan jantung mendadak dengan Zea yang membuang buket bunga dan menginjaknya. Menganggap Zea kehilangan akal sehatnya karena dengan semua kebaikan yang diberikan Zidan, seharusnya wanita itu bisa menjilat Zidan dengan lebih mudah disbanding mereka. Bahkan dengan status Zea yang hanyalah seorang janda, seharusnya duka cita wanita itu sudah berhenti dan berbahagia karena kini mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari Arion.

Acara makan malam itu berakhir lebih cepat. Bahkan hidangan utama belum disiapkan dan semua tamu langsung pulang tanpa perlu disuruh. Meninggalkan Zidan dan Zea yang masih bertahan dalam ketegangan tersebut.

"Apa kau bilang?"

"Kau membuang cincinku, kita impas," seru Zea tepat di depan muka Zidan. Yang membuat Zidan semakin kehilangan kontrol.

Zidan menyentakkan tangan Zea, menyeret wanita itu kembali naik ke lantai 2, mendobrak pintu kamar Zea dan mendorong wanita itu ke lantai tepat di tempat sampah di sudut kamar.

Zea meringis merasakan pergelangan tangannya yang memerah sekaligus lututnya yang membentur lantai dengan keras.

"Ambil."

Zea tak bergerak.

Zidan mengambil rambut Zea yang terurai, kemudian berjongkok di depan wanita itu dan mendongakkan wajah Zea menatapnya. "Aku tak akan mengulangnya dua kali, Zea. Kedua kalinya aku memperingatkanmu, kau benar-benar akan menyesal tak mendengar perintah pertamaku."

Ringisan Zea semakin tak tertahankan hingga bibirnya pun tak kuat menahan rintihannya ketika Zidan semakin mencengkeram helaian rambutnya. Lehernya akan patah saking kuatnya Zidan menahan kepalanya tetap mengarah lurus ke kedua mata pria itu yang digelapi badai.

"A-aku ... membuangnya di tempat sampah kamar mandi," ucap Zea dalam desis kemarahan.

Zidan menyentakkan tangannya dan bangkit berdiri. "Aku akan menghitungmu hingga sepuluh sebelum kau keluar dari kamar mandi itu dengan cincin pernikahan kita di tempat yang seharusnya."

Zea menahan keinginannya untuk mengangkat tangan dan mengusap tempat Zidan baru saja menjambaknya. Kulit kepalanya serasa akan mengelupas dan meninggalkan perih yang teramat sangat di sana.

"Satu ..." Zidan duduk di sofa tunggal, menyilangkan kedua kakinya. "Dua ..."

Zea tak punya pilihan selain berjalan ke kamar mandi dan berhasil keluar pada hitungan ke sembilan. Zidan menghentikan hitungannya, dengan ekspresi yang lebih melunak pria itu mengulurkan tangan ke arah Zea. "Kemarilah." Suara Zidan benar-benar telah berubah dari beberapa saat yang lalu. Nada suara yang Zidan gunakan untuk mendekatinya saat masih menjadi istri Arion.

Zidan hanya mengedikkan matanya. Tak akan mengulang perintahnya lagi.

Setelah lima detik penuh Zea menatap penuh kebencian kepada Zidan, ia pun melangkah mendatangi pria itu dengan langkah berat dan penuh keengganannya.

Zidan langsung menarik tangan Zea ketika wanita itu sudah berada dalam jangkauan tangannya. Mendaratkan pantat wanita itu di pangkuannya dan tangannya yang lain menangkap dagu Zea kemudian menempelkan bibirnya di bibir Zea. Menciumnya dalam lumatan yang dalam dan semakin panas. Meyesap rasa manis bibir Zea dan menjelajahi kelembutan bibir wanita itu yang panas. Hanya ciuman saja, rasanya Zidan nyaris dibuat meledak. Wanita ini benar-benar menggairahkan.

Kedua mata Zea melotot ketika ia benar-benar kehabisan napasnya dan Zidan tampaknya tak ingin mengakhiri lumatan tersebut. Ia menepuk-nepuk pundak Zidan, yang tak dihiraukan dan malah semakin kuat menghisap lidahnya. Serasa berada di ambang kematian, dengan sekuat tenaga Zea mendorong dada Zidan. Terengah dengan keras ketika Zidan berhasil membebaskan mulutnya.

Zidan menyeringai. Membiarkan Zea meraup udara dengan terengah-engah, sedangkan tangannya bergerak naik di sepanjang punggung Zea dengan gerakan perlahan. Berhenti di ujung resleting bagian belakang gaun Zea dan menariknya.

Tarikan tersebut segera menyadarkan Zea, menyentakkan tangan Zidan. "Apa yang kau lakukan, Zidan?"

Seringai Zidan semakin tinggi. Matanya berkilat dengan hasrat yang tak sungkan-sungkan ditunjukkan pada Zea.

"Aku tidak bisa." Zea hendak melompat dari pangkuan Zidan. Tidak. Ia belum siap memberikan apa yang diinginkan Zidan yang satu ini. Tidak akan pernah siap.

Zidan menekan pinggang Zea, mengembalikan posisi wanita itu seperti semula. "Aku tak butuh penolakanmu, Zea," peringat Zidan.

Zea menelan ludahnya, "A-aku belum bersih."

Zidan tahu Zea menggunakan hal itu sebagai alasan. "Kalau begitu kau bisa memuaskanku dengan cara yang lainnya."

Wajah Zea memerah, oleh rasa malu bercampur kemarahan. Tangannya terangkat, hendak melayangkan tamparan pada mulut kurang ajar Zidan. Namun pergelangan tangannya ditangkap oleh pria itu, kemudian ditarik mendekat hingga menempel di tubuh Zidan sedangkan tangannya yang lain semakin menekan pinggang Zea dan membuat tubuh mereka menempel lebih erat.

Zea menggeliatkan tubuh dan meronta. Berusaha membebaskan diri, tetapi jelas kekuatannya tak akan sebanding dengan kekuatan pria Zidan.

"Aku bukan pelacurmu, Zidan. Jika kau membutuhkan sentuhan, lakukan pada wanita-wanitamu," jeritnya dalam rontaan yang semakin menjadi.

Zidan menangkap rahang Zea, mencengkeramnya kuat-kuat. "Disitulah poinnya, Zea. Kau wanitaku. Istriku. Tidakkah itu cukup menjelaskan kewajibanmu untuk melayaniku?"

Zea menyentakkan tangan Zidan dari wajahnya, tapi semakin ia berusaha menyingkirkan tangan Zidan, cengkeraman pria itu semakin menguat. Membuat Zea nyaris menangis saking frustrasinya. Tapi harga dirinya menolak untuk terlihat lemah dan menahan tangisannya dalam hati.

Saat Zea berhenti meronta dengan pasrah, Zidan barulah melepaskan wajah Zea. Kemudian menyelipkan tangannya di balik lutut Zea, membawa wanita itu dalam gendongannya dan membawa ke tempat tidur. Bersenang-senang seperti yang seharusnya dilakukan oleh pengantin baru.

***

Keesokan paginya, Zea terbangun sendirian di tempat tidur. Tanpa sedikit keinginan untuk mencari di mana Zidan yang semalaman tak membiarkannya lepas dari pelukan pria itu.

Zea segera menyingkap selimut dan mengambil gaunnya yang dilempar Zidan ke lantai di samping tempat tidur dan melilitkannya di dada sebelum beranjak ke kamar mandi.

Langkahnya terhenti di depan cermin wastafel, menatap kissmark yang memenuhi leher dan dadanya. Zidan tak bisa menidurinya, tapi jelas tak menyia-nyiakan tubuhnya untuk mendapatkan puncak kenikmatan demi kepuasan pria itu.

Zea tak berhenti merasa kotor, untuk semua jejak Zidan yang ditinggalkan di tubuhnya. Dan ia tahu kotoran itu akan terus menempel di tubuhnya. Entah sampai kapan.

Saat ia keluar dari kamar mandi, Zidan yang sudah berpakaian rapi dan siap pergi ke kantor, duduk di sofa menunggunya. Wajah pria itu terangkat ketika mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka. Mengamati Zea yang hanya mengenakan jubah mandi melangkah keluar.

Langkah Zea terhenti. Tak melepaskan pandangannya dari Zidan yang berdiri sambil membawa kain di tangan kanan datang menghampirinya. "Mulai sekarang kau akan tidur di kamarku."

"Aku ingin tetap di sini." Entah kenapa rasanya lidah Zea gatal jika tidak menjawab kalimat pria itu.

Zidan berhenti tepat di depan Zea. Tangannya yang kosong menyentuh dagu Zea dan mengusapkan jempol di sepanjang bibir bagian bawah wanita itu. "Aku tak bertanya pendapatmu, Zea. Satu-satunya hak dan kewajiban yang kau miliki di rumah ini adalah kepatuhanmu. Apa kau masih juga tak mengerti?"

Mulut Zea menutup, menurunkan pandangannya.

"Dan tinggalkan semua barang kau bawa dari luar di sini. Pelayanku akan mengurusnya."

Pandangan Zea kembali menatap mata Zidan. "Apa maksudmu dengan mengurusnya, Zidan?"

"Membuangnya ke tempat sampah?" Salah satu alis terangkat terangkat dengan seringai yan ikut tersungging. "Atau membakarnya?"

Zea menggoyangkan kepala membebaskan wajahnya dari tangan Zidan.

"Sekarang kau adalah istriku. Aku tak suka ada barang pria lain yang menempel di tubuhmu sementara kau akan berbaring di ranjangku."

Zidan mengambil tangan Zea, lalu meletakkan dress berwarna merah muda lengkap dengan pakaian dalam di telapak tangan wanita itu. "Pakai ini."

Detik pertama Zea sudah akan melempar pemberian Zidan tersebut ke lantai, tetapi detik berikutnya. Zea tahu apa yang akan dilakukan Zidan jika ia tidak menuruti perintah pria itu. Pilihan terbaik yang ia miliki hanyalah mengenakan pakaian itu dengan tangannya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro