1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Revolution 

.

.

~ Hope ya like it ~

.

.

.

Sakit.

Itulah yang Luhan rasakan saat ini. Seakan kepalanya meledak dan anggota tubuhnya terbelah. Kedua matanya terpejam, terlalu berat juga terlalu lelah untuk dibuka, ia tidak tahu dimana dirinya berada juga tidak mengerti alasan mengapa dirinya merasakan sakit.

Ia mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Ia mencoba mengingat apa yang sudah menuntunnya pada perasaan ini. Tapi yang muncul hanya gambaran dirinya saat terakhir kali ia pergi ke kelas terakhirnya di universitas. Apakah ia pulang ke apartemennya setelah itu? Apakah ia bertemu dengan teman-temannya untuk makan malam bersama?

Ia tidak bisa mengingatnya dan Luhan kembali jatuh tertidur dalam kesakitan juga rasa frustrasi.

Selanjutnya Luhan menyadari dirinya telah terbangun adalah saat ia memiliki kekuatan untuk membuka matanya dan melihat kamarnya untuk pertama kali. Ini tidak terlihat seperti apartemen nyaman miliknya. Buku-bukunya menghilang, laptop-nya, meja belajarnya. Yang ada hanya sebuah tempat tidur. Sebuah tempat tidur kecil di kamar berpenerangan temaram yang sangat besar. Tidak ada jendela. Tidak ada kursi. Tidak ada lagi penerangan lain. Hanya ada ia dan tempat tidurnya dan Luhan merasa ketakutan sehingga ia menutup matanya kembali, lalu jatuh tertidur.

Luhan terbangun di ruangan yang sama, hari demi hari. Tak ada yang mengunjunginya. Tak ada yang berbicara padanya. Luhan sangat membutuhkan sinar matahari. Untuk bisa melihat hal lainnya. Ia sudah bisa berjalan sekarang dan ia mencoba meraba dinding untuk mencari pintu. Tapi tak ada satupun.

Semua pakaiannya berwarna putih. Dan ia berjalan dengan bertelanjang kaki. Setiap hari ia terbangun di tempat tidur, gemetaran. Bukan karena dingin tapi karena ketakutan dan ia bertanya-tanya apakah orang tuanya tahu ia menghilang. Mungkin saja tidak, ia pikir, ia hanyalah seorang murid pindahan dari China dan orang tuanya hanya mengeceknya sekali setiap bulan. Dan itulah saat Luhan sadar bahwa ia bahkan tidak tahu sudah berapa lama dirinya menghilang.

Luhan takut untuk tidur. Ia takut terbangun di tempat yang sama lagi dan lagi. Ia butuh seseorang untuk memberi tahunya di mana ia berada. Ia tahu ada seseorang yang menjaganya karena ada perban baru di tangannya, di perutnya, di dadanya dari luka yang ia sendiri tidak ingat kapan ia dapatkan. Ia tidak tahu hari apa ini dan terkadang ia terbangun dengan kepala yang sakit. Terkadang ia merasa tenang. Tapi sebagian besar, ia merasa mati.

Luhan duduk sambil mengira-ngira apakah ia sedang dibius. Maka itu akan menjelaskan mengapa ia tidak bisa mengingat banyak hal dan mengapa ada bekas suntikan di beberapa bagian tubuhnya. Seperti seseorang sedang melakukan eksperimen pada dirinya. Tapi apa yang tidak ia mengerti adalah mengapa ia tidak pernah melihat orang lain. Mengapa tidak ada seorang pun yang datang untuk bicara padanya.

Dan dengan hanya memikirkan ini saja, ia segera tertidur.

Gelap saat Luhan terbangun. Lebih gelap dari biasanya. Tak ada cahaya lagi dan Luhan merasa... berbeda. Luhan menelan ludah kelu, ia tahu perasaan apa ini. Perasaan ini tidaklah asing untuknya dan ini memuakkan baginya karena sekarang bukanlah waktu yang tepat. Sekarang jelas bukan waktunya untuk merasa begitu panas dan berat. Begitu... terangsang dan bergairah.

Tapi kenapa?

Luhan berteriak putus asa dalam kepalanya dan dia berjalan tanpa arah di dalam kamar, berharap dapat menenangkan dirinya. Berharap dapat mengusir rasa gairahnya. Bukan ini yang ia butuhkan. Ini menyakitkan dan Luhan menabrakkan punggungnya ke dinding kamar untuk kemudian jatuh merosot dan kembali tertidur, dengan hati-hati ia mencoba untuk tidak menyentuh dirinya sendiri.

Luhan terbangun lagi dan kamarnya masih gelap. Luhan takut, bagaimana jika dia buta? Bagaimana jika obat-obatan yang diberikan oleh orang-orang bajingan ini ternyata merusak penglihatannya? Tapi Luhan melupakan semuanya saat ia merasakan perasaan yang sama dengan saat terakhir kali ia bangun. Ternyata masih. Ia mengerang, ia ingin bebas dari ereksinya yang berdenyut-denyut. Haruskah ia melakukan itu? Di sini? Menyentuh dirinya sendiri? Luhan menggigil karena dingin dan ia menggelengkan kepalanya, semua ini terlalu menyakitkan.

Dia tidak menyadari dirinya telah kembali tertidur. Tapi dia terbangun saat merasakan sepasang bibir di atas lehernya dan tangan yang menjelajahi tubuhnya. Luhan mengerang saat ia merasakan seseorang menyentuhnya, membelai pahanya. Luhan mencari pegangan tanpa sadar dan menarik rambut orang itu hingga memunculkan suara pelan akan kepuasan dari orang itu.

Dia laki-laki,

Luhan menyadarinya di dalam kegelapan. Ia pernah tidur dengan laki-laki dan perempuan sebelumnya. Tapi ini, ini berbeda.

Menggairahkan.

Menggetarkan hati.

Luhan tidak bisa melihat apapun namun ia bisa merasakan sebuah jari meluncur masuk dan keluar dari hole-nya dan ia mencoba untuk rileks, secara mengejutkan ia percaya pada orang itu. Luhan menyukainya. Rasa dari kulit orang itu saat ia menghisap lehernya dan hamparan mulus dada bidangnya sampai ke pinggang rampingnya. Ia merasakan orang itu memasukkan juniornya ke dalam hole Luhan dan Luhan memeluknya, menginginkan orang itu untuk memiliki dirinya sepenuhnya. Sudah lama sekali sejak Luhan terakhir kali berhubungan intim dengan seseorang. Ia merasa begitu putus asa. Begitu butuh pelampiasan. Dan ia membiarkan dirinya dikontrol oleh orang itu. Orang itu lembut dan juga kasar pada saat yang bersamaan. Luhan menyadarinya di antara napas yang terengah-engah dan bergerak menyongsong tusukan orang itu.

Tangan orang itu menggenggam ereksinya dan Luhan menyongsongkan juniornya pada tangan orang itu. Ia merasa sangat sensitif dan ingin tahu sampai berapa lama ia bisa tahan. Pada awalnya tangan orang itu bergerak pelan naik turun di junior Luhan namun semakin cepat seiring dengan tusukan juniornya ke dalam hole Luhan sementara ia sendiri memeluk leher orang itu.

Luhan mencapai klimaks dan membebaskan benihnya sementara orang itu juga melakukan hal yang sama dan Luhan mendekat padanya, memeluknya, seolah takut dia akan menghilang dan ia akan ditinggalkan sendirian dalam kebingungan. Dia adalah satu-satunya orang yang menyentuh Luhan setelah berhari-hari. Satu-satunya orang yang Luhan ketahui nyata keberadaannya. Luhan berpegang erat padanya hingga ia jatuh tertidur.

Luhan bangun dalam keadaan polos tanpa pakaian dan sendirian. Ia tahu apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Ada bekas tanda dan gigitan orang itu di tubuhnya tepatnya di perut dan di dadanya. Ia gemetar karena kedinginan juga karena apa yang ia ingat semalam. Setidaknya ia berhasil mengingatnya. Mengetahui ada orang lain selain dirinya di luar sana itu sedikit menghiburnya.

Sebuah pintu tiba-tiba terbuka dan Luhan melihat orang lain untuk pertama kalinya. Orang-orang berpakaian putih. Jas laboratorium. Masker bedah menutupi wajah mereka dan Luhan tahu mereka tidak sedang menolongnya. Ia duduk di sana di tempat tidurnya, bahkan tidak peduli bahwa ia masih bertelanjang saat ia memandang mereka masuk satu per satu. Salah satu dari mereka memegang lengannya dengan kasar dan Luhan melawannya namun yang lainnya memegang lengannya ke samping dan Luhan menyerah, terlalu lemah untuk melawan lagi.

Hal terakhir yang ia ingat adalah sesuatu telah disuntikkan ke dalam tubuhnya.

.

.

.

Luhan terbangun di ruangan yang sama, berpakaian lengkap. Tapi sekarang ada yang berbeda di tengah ruangan, ada sebuah meja, segelas air di atasnya, makanan dan ada seseorang yang sedang duduk di sana. Orang itu tersenyum padanya saat ia menatapnya dan Luhan hanya balas menatap.

Dia tidak memakai masker bedah. Luhan bisa melihat wajahnya. Dia mengenakan jas laboratorium seperti orang yang sebelumnya tapi Luhan bisa melihat dia... orang yang baik. Tidak, Luhan pikir selagi ia duduk untuk melihatnya lebih jelas. Tak ada satupun dari orang-orang ini yang baik.

"Siapa kau?" Luhan bertanya dan menyadari suaranya serak karena lama tak digunakan. Orang itu, tidak kelihatan begitu tua, mungkin masih remaja, seusia dengannya, mengisyaratkan ke arah meja dan sebuah kursi di hadapannya.

Butuh beberapa waktu bagi Luhan untuk dapat merasakan kakinya sendiri. Tapi ia berjalan pelan mendekatinya, merasakan dinginnya bagian logam dari kursi saat ia menariknya ke belakang. Ia duduk di hadapan orang itu dan menatapnya, menyadari betapa mudanya dokter ini.

"Makanlah," katanya dan Luhan suka suaranya. Suaranya lembut dan hangat dan Luhan tanpa sadar telah mengangkat sebuah sendok untuk makan. Ia menjatuhkannya beberapa kali, setelah sekian lama ia hampir melupakan bagaimana cara menggunakannya dan orang itu hanya menatapnya dalam diam. Luhan merasa tak nyaman namun ia terus saja makan dan berusaha untuk mengabaikannya.

Makanan itu asing baginya. Basah dan juga hangat. Luhan tak menyukai rasanya tapi ia tetap memakannya perlahan. Ia tidak ingin orang itu pergi. Ia ingin orang itu tetap tinggal. Hell, ia hanya ingin seseorang untuk tetap tinggal dan mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian dan tidak gila. Bahkan mungkin orang ini bisa memberi tahu di mana ia berada.

Ia menghabiskan makanannya dan segera mengeringkan isi gelasnya. Itulah saat ia menyadari bahwa seingatnya ini adalah pertama kalinya ia makan di tempat ini.

Luhan hendak memikirkan hal lain yang mungkin telah terlupakan olehnya saat orang itu berdehem menyiapkan suaranya.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya dan Luhan hanya mengerjap.

"Aku ingin pulang," jawab Luhan, tidak menyia-nyiakan waktu untuk menyampaikan pesan yang ia maksud dengan lantang dan jelas meskipun ia tahu hal itu takkan mungkin terjadi. Ia tidak peduli lagi di mana ini. Juga tidak peduli dengan apa yang mereka telah lakukan padanya. Ia hanya ingin pulang. Pergi jauh. Ke manapun selain tempat ini.

Sang dokter mengangguk padanya.

"Aku mengerti," Dia berkata.

"Tapi aku khawatir aku tidak bisa membiarkanmu pergi."

Luhan tidak terkejut.

"Kecuali kau memberi kami hasil!"

Luhan menatapnya bingung.

"Hasil? Apa maksudmu? Hasil apa?"

Sang dokter tersenyum sedih padanya.

"Kau akan tahu sekarang."

Luhan terus menatapnya. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan sang dokter. Ia sudah cukup bingung dengan semua ini.

Sang dokter bergeser di kursinya dan Luhan melihatnya mengeluarkan sebuah bola kecil dari bawah meja. Bola itu seperti kristal dan begitu pas di genggaman sang dokter.

Dia meletakkan bola itu di atas meja di antara mereka.

"Gerakkanlah!"

Luhan menatap sang dokter, merasa aneh dengan perintahnya dan kembali mengalihkan pandangannya pada bola itu. Tanpa pikir panjang, Luhan sudah akan meraih bola itu namun sang dokter menjauhkannya. Luhan menghentikan tangannya mengambang di udara dan sang dokter menatapnya.

"Tanpa menggunakan tanganmu!"

Luhan menatap bola itu lagi setelah sang dokter meletakkannya kembali di atas meja. Bagaimana mungkin ia bisa menggerakkan bola ini tanpa menggunakan tangannya?

Apakah ini sebuah lelucon?

Mungkin ini lelucon, pikir Luhan. Namun sebelum Luhan bisa berpikir lebih jauh, sebuah pintu dari sudut lain kamarnya yang ia sendiri tidak pernah tahu keberadaannya, terbuka dan seorang dokter lainnya berjalan masuk.

Dia tinggi, Luhan mengamatinya, tegas namun memiliki wajah yang tampan. Rambutnya emas kecoklatan dan matanya indah dan Luhan melihatnya memegang bahu sang dokter pertama.

"Kau terlalu baik," Dokter kedua berkata, matanya menatap tajam pada Luhan.

Dokter pertama lalu berdiri dan mengisyaratkan kursinya.

"Kalau begitu kau yang tangani."

Dokter kedua hanya menyeringai dan dengan senang hati mengambil alih, membiarkan dokter pertama berjalan menuju pintu lain dan meninggalkan mereka berdua.

Tidak seperti dokter pertama, Luhan merasa tidak nyaman dengan yang satu ini. Ia tahu dia sedang mengamatinya dan Luhan menatap ke samping, menghindari pandangannya.

"Eksperimen nomor empat dua nol." Sang dokter memulai dan Luhan seketika merasa ngeri.

Jadi ia adalah sebuah eksperimen.

"Namaku Luhan," jawab Luhan, ia benci dipanggil seperti itu.

Sang dokter menyeringai lagi.

"Bukan aku yang menamai."

Luhan menolak untuk menatapnya. Ia ingin dokter yang pertama kembali. Dia terlihat lebih ramah.

"Eksperimen 4-2-0, kau pasti bingung."

Pandangan Luhan berubah dan dengan putus asa ia menatap sang dokter.

"Bukan hanya bingung tapi juga, oh sangat membutuhkan jawaban." Sang dokter tersenyum lebar.

"Jadi aku akan membuat perjanjian denganmu."

Luhan bergeser tidak nyaman di kursinya, menunggu apa yang akan dikatakan sang dokter.

"Gerakkan ini tanpa menyentuhnya ..." Sang dokter menatap bola di atas meja dan kembali menatapnya.

"... dan aku akan menjawab satu pertanyaanmu."

Kesal, Luhan menggunakan kedua tangannya dan seluruh kekuatannya untuk memiringkan meja. Sudah cukup dengan semua hal ini. Mereka mempermainkannya. Mereka ingin ia menggerakkan bola ini tanpa menyentuhnya, baik kalau begitu. Dengan lemah Luhan sedikit memiringkan meja sehingga bola itu bergulir ke sisi lain dan Luhan mendengar sang dokter tertawa.

"Bukan seperti itu," katanya dengan nada geli.

"Tapi dengan apa yang kau miliki."

Luhan menatapnya lebih bingung.

Apa yang sedang dia bicarakan?

Sang dokter mungkin merasa cukup untuk kali ini lalu berdiri dari kursinya dan Luhan merasa ingin sekali menahan sang dokter. Menghentikannya agar tidak meninggalkannya sendirian lagi. Tapi tiba-tiba pintu terbuka dan beberapa ilmuwan berjalan masuk dan Luhan hanya diam menatap mereka menyingkirkan mejanya, peralatan makannya yang sudah kosong dan kursi yang diduduki sang dokter.

Sang dokter menunduk menatapnya, bola itu ada di tangannya dan ia menyerahkannya pada Luhan.

"Bermainlah dengan ini."

Luhan mengamati bola itu di tangannya, baru menyadari bahwa bola itu sedikit berat. Ia mendongak untuk bertanya pada sang dokter mengapa benda ini sangat penting dan kemudian menyadari bahwa dia sudah berada di ambang pintu.

"Tunggu!"

Sang dokter berhenti dan berbalik menatapnya.

"Aku ..." Luhan mulai berkata.

"Bagaimana jika aku tidak bisa menggerakkannya?"

Hening dan Luhan khawatir sang dokter tidak akan menjawab pertanyaannya. Ia tidak yakin mengapa ia menanyakan pertanyaan ini. Ia sudah membuktikan hari ini pada sang dokter bahwa ia tidak bisa menggerakkannya tanpa kedua tangannya.

"Kau akan menggerakkannya." Sang dokter berkata pelan dan Luhan mencoba mendekatinya untuk mendengar perkataannya lebih jelas.

"Aku akan membuatmu menggerakkannya."

Dan dengan itu, sang dokter berjalan keluar ruangan, menutup pintunya di belakang meninggalkan Luhan yang sangat kebingungan dan juga kesepian.

.

.

.

Luhan tahu menggerakkan bola itu tanpa menyentuhnya adalah hal yang bodoh namun ia masih terus mencobanya. Ia terus menatap bola itu sampai matanya berair dan kepalanya sakit namun bola itu tetap tidak bergerak seincipun.

Pernah ia sekali melemparkan bola itu ke seberang ruangan karena terlalu frustasi, membuat bola itu hancur berkeping-keping. Tapi orang dengan masker bedah di wajahnya masuk dan malah memberikannya bola yang baru.

Luhan tak pernah merasa sefrustasi ini sebelumnya. Ia merasa ia sedang berada dalam sebuah kurungan, diamati dari jendela yang tidak ia ketahui keberadaannya. Ia menghabiskan hari-harinya hanya untuk meraba dinding, mencari jalan keluar. Ia bahkan beberapa kali meninju pintu yang tempo hari digunakan para dokter, berteriak minta dikeluarkan. Tapi tak ada yang peduli untuk menjawabnya.

Lalu suatu malam, sesuatu terjadi. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa Luhan lupakan.

Luhan terbangun dalam keadaan telanjang dengan seseorang tengah merabanya, menyentuh seluruh tubuhnya dan Luhan tahu orang ini bukan orang yang sama dengan orang yang sebelumnya. Orang ini juga tidak mengenakan pakaian dan penerangan temaram di kamarnya menunjukkan bahwa orang ini mengenakan masker dan dia benar-benar kasar juga ganas, tidak selembut orang pertama. Luhan tahu orang ini tidak bisa melihatnya karena masker yang dia kenakan menutupi matanya dan Luhan mencoba mendorongnya menjauh, takut orang ini akan menyakitinya. Tapi orang ini kuat dan Luhan berteriak dalam kesakitan saat ia merasakan orang ini mendorong juniornya memasuki Luhan dengan kasar. Luhan mencakar wajah orang ini, meninju dadanya tapi orang ini malah bergerak lebih cepat menusuk holenya. Dan setiap tusukan, luhan menangis, memohon padanya untuk berhenti.

Orang ini menahannya, menyembunyikan wajahnya ke ceruk leher Luhan, terengah-engah, masih terus menusuk hole Luhan dan mencoba mencapai klimaksnya. Kelihatannya orang ini mulai frustasi dan itu membuatnya bergerak lebih cepat, menusuk Luhan lebih keras lagi. Luhan merasa dirinya seperti robek menjadi dua bagian. Ini terasa begitu sakit dan mungkin lebih dari menimbulkan luka lecet. Luhan berpaling, tidak berdaya dengan air mata yang berjatuhan dari matanya dan ia melihat bola itu di lantai di sampingnya. Luhan mencoba untuk meraihnya. Andai saja ia bisa menjadikannya senjata, menggunakannya untuk memukul kepala orang ini, memukulnya hingga dia berhenti dan meninggalkan Luhan sendiri, memukulnya hingga—

Bola itu bergerak seinchi ke arahnya dan Luhan tercekat dalam keterkejutan.

Bola itu bergerak. Luhan menatapnya, terkejut. Ia tidak percaya ia bisa menggerakkannya tanpa menyentuhnya.

Lalu kemudian pintu kamarnya terbuka dan orang ini berhenti menusuknya. Luhan merasakan orang ini mengeluarkan juniornya dan Luhan terbaring di sana dalam keterkejutan setelah apa yang ia alami dan apa yang ia lihat barusan. Ia tidak bisa melihat laki-laki bermasker itu. Ia takut padanya. Tapi sebelum orang bermasker bedah membawanya pergi, Luhan bisa mendengar orang itu mengucapkan kata 'maaf' dengan pelan dan lembut kemudian Luhan diam-diam menangis.

Suara langkah kaki terdengar lagi dan Luhan berhenti menangis, menghapus air matanya dan menatap ke arah pintu. Mereka adalah dua orang dokter yang tempo hari bicara padanya dan Luhan meraih selimutnya, menutupi dirinya sendiri. Ia bisa merasakan darah di bibirnya dari hasil perbuatan orang bermasker itu dan ia berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis lagi.

Saat orang bermasker bedah melewati dokter pertama, mereka berhenti berjalan. Lewat mata berairnya Luhan bisa melihat wajah ramah sang dokter mendekati orang itu dan mengusap wajahnya dengan lembut, penuh simpati, lalu orang bermasker bedah membawanya keluar dari ruangan.

"Tidak seharusnya kau terlalu dekat dengan eksperimenmu sendiri seperti itu, Suho." Dokter berwajah tegas berkata padanya.

Suho hanya menghela napas.

"Kaulah yang seharusnya bersikap lebih lembut pada Luhan dan berhenti bersikap jahat, Kris!"

Kris memutar kedua bola matanya dan kembali mengalihkan perhatian pada Luhan yang hanya menatap mereka seakan kehilangan arah dan kebingungan.

"Bangun dan pakailah!" seru Kris sambil menyerahkan pakaian padanya.

"Kau sudah membuat bola itu bergerak. Kami akan memberikan jawaban yang sudah kau tunggu-tunggu."

.

.

.

TBC

.

.

( Kalian bisa baca cerita aslinya yang berbahasa inggris disini http: story/view/285621/revolution-action-angst-romance-exo-luhan-sehun-hunhan dari author hebat purpleskies : http: profile/view/240589 )

.

.

.

A/N:: pulang kerja iseng buka AFF dan nemu ini fict. Langsung jatuh cinta dan sudah berniat untuk membuat terjemahannya. Maaf kalo bahasanya berantakan dan sulit dimengerti. Nyx juga masih belajar, jadi mohon dimaklumin. Yang mau baca story asli bisa langsung ke alamat yang Nyx tulis. Story-nya udah complete di sana.

Chapter kedua menyusul beberapa hari lagi :)

Yang mau me-review silahkan di review. Terima kasih~

 .

.

.

.

D/n :

Seperti yang sudah kukatakn di awal, AHHHHHHHHH pembukaan yang mencengangkan bukan.. hehehe sungguh menggetarkan imajinasiku.

Ahhhhh kalau tidak salah ini adalah fic yang kedua di ganre ini yang menyeretku untuk CINTA MATI SAMA HUNHAN..... AHHHHHH I'M REALLY HARD SHIPPER HUNHAN.

.

.

INI FIC FAVORIT.. AKK NGAKU DAHH GUE... BENERAN INI FIC FAVORIT GUE... FIC YANG BUAT SAYA BERLAYAR DENGAN TEGUH DI BAWAH BENDERA HUNHAN #KIBARBENDERAHUNHAN

.

.

hehehe sebelum makin menggila mari kita akhiri basa basi gak jelas ini.

.

TERIMA KASIH SUDAH MAMPIR TEMAN TEMAN ... BISA DIBILANG SAYA SEPERTI PENERJEMAH KETIGA GITU... EHH MAKSUDNYA PENYALUR KETIGA DI FANFIC HEHE ... VIDEONYA KERENKAN.

.

.

SALAM MANIS

Darkfoxwind

24817 11.36

Ru: 301219 4.23

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro