2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Revolution by Kim 'Nyx' Eunjung

.

.

Revolution

by

purplekies

.

.

.

Translator:: Kim 'Nyx' Eunjung

Pair:: HunHan and the rest of EXO

Genre:: Angst & Romance

Warnings:: Rated M untuk adegan dewasa, tema yang berat, dan bahasanya. Yaoi / BL /boy x boy. Jika tidak suka jangan baca.

.

.

~ Hope ya like it ~

.

.

.

Luhan berada di ruangan lain, duduk dengan gemetar di kursi berhadapan dengan dokter berwajah tegas. Tubuhnya masih terasa sakit setelah apa yang orang itu lakukan padanya dan untuk pertama kalinya ia ingin agar mereka menyuntiknya dengan apapun itu yang bisa membuatnya tertidur sepanjang waktu. Namun, kilasan kejadian beberapa waktu lalu seakan menamparnya dan akhirnya ia mengumpulkan keberanian untuk menerima jawaban apapun itu yang Kris, dokternya, janjikan padanya.

Suho, dokter yang lain, yang kelihatan ramah, pergi dan Luhan mendengar Kris menyuruhnya pergi untuk melihat keadaan orang itu. Seolah dialah yang menjadi korban dan bukannya Luhan.

Luhan berpegang pada pinggiran kursi lebih erat selagi menunggu Kris mulai bicara.

"Aku menjanjikan jawaban untuk pertanyaanmu," kata Kris dengan tampang senang sambil duduk kembali di kursinya dan Luhan ingin tahu apakah dia yang sudah membuat Luhan merasakan semua hal ini.

"Tapi aku hanya bisa menjawab satu pertanyaan."

Kali ini Luhan menatapnya.

"Aku bisa menjawab pertanyaan lainnya." Kris tersenyum lebar.

"Jika kau bisa menggerakkan bola itu lagi."

Sejujurnya Luhan tidak tahu bagaimana dia bisa menggerakkan bola itu. Hal itu membuatnya takut.

Apa yang terjadi pada dirinya?

Mengapa ia berada di sini?

Apa yang telah mereka lakukan padanya?

Ini hanyalah beberapa pertanyaan yang Luhan ingin ketahui jawabannya. Tapi Luhan tahu Kris tidak akan menjawab semuanya kecuali ia melakukan apa yang diperintahkan dan dalam keadaan seperti ini, ia terlalu lelah.

Maka ia memilih satu pertanyaan yang dirasanya paling penting untuk saat ini.

"Kenapa aku bisa ada di sini?"

Kris menatapnya lama sebelum menjawab pertanyaannya.

"Karena dunia membutuhkanmu."

Luhan mengerjap pada Kris dan ia tahu ia kelihatan lebih bingung dari sebelumnya.

"Itu bukan jawaban yang masuk akal," sahut Luhan, keningnya berkerut.

"Tapi, itulah jawabannya," jawab Kris dan Luhan berusaha mencegah dirinya sendiri untuk tidak melemparkan bola itu ke wajah Kris. Bagaimana bisa dia memberikan jawaban seperti itu? Itu sama sekali tidak membuat Luhan tahu di mana dirinya berada. Itu juga tidak membuatnya mengerti satu hal pun yang telah terjadi dan kenapa juga dunia membutuhkannya?

"Sekarang, kau akan menjalani beberapa tes."

Luhan menatapnya.

Apa Luhan tidak salah dengar?

Tes?

Setelah apa yang baru saja ia lalui?

Setelah apa yang baru saja ia lihat?

"Tes apa?" tanya Luhan dengan lemah dan salah satu pintu di ruangan terbuka dan memperlihatkan orang-orang dengan masker bedah di wajahnya berdiri di samping sebuah mesin treadmill.

"Pertama kita akan mengukur kecepatan." Kris menjelaskan, mengisyaratkan asistennya untuk memulai dan Luhan mendorong mereka menjauh dengan sisa kekuatannya.

"Aku tidak bisa! Aku terlalu lelah!" bantah Luhan dengan terus menghindar. Namun, Kris mengabaikannya dan mulai mempersiapkan mesin treadmill tersebut. Luhan menyerah untuk melawan mereka dan membiarkan mereka mempersiapkan dirinya untuk melakukan tes.

Tapi, kelihatannya ini bukanlah satu-satunya hal yang Kris rencanakan.

Luhan tidak tahu berapa banyak tes yang telah ia lakukan tapi ini benar-benar keterlaluan. Mereka membuatnya berlari di mesin treadmill tiga kali, menyuruhnya melempar benda dengan berat dan ukuran yang berbeda-beda, dan bahkan mereka mencoba menenggelamkannya untuk melihat seberapa lama ia bisa menahan napasnya. Dan ketika Luhan tidak menuruti kemauan mereka, mereka menyentaknya dengan menyalurkan listrik ke tubuhnya, mengejutkannya agar terjaga.

Ini kali keempat Luhan berlari di atas mesin treadmill hingga akhirnya tubuhnya menyerah. Ia berdarah di beberapa bagian tubuhnya dan kakinya yang lemah membuatnya terjatuh ke lantai. Luhan bisa merasakan listrik dialirkan ke kulitnya dan jika itu beberapa menit yang lalu ia akan tersentak bangun untuk kemudian kembali berlari. Namun tidak dengan sekarang, ia terlalu lelah, terlalu lelah untuk melakukan apapun.

Luhan terbaring di lantai, terengah-engah. Tidak ada yang menyentuhnya atau membangunkannya dan ia berterimakasih karena ditinggalkan sendirian. Ia belum pingsan tapi merasa seakan sudah tidak sadarkan diri. Ia masih bisa mendengar suara mesin berderu di sampingnya, mendengar denyut jantungnya sendiri yang pelan namun lemah. Setelah beberapa waktu ia melihat seseorang bergerak di atasnya dan ia tahu itu adalah Kris.

"Bawa dia ke kamarnya!" Luhan mendengar Kris berkata dan ia merasa tenang.

"Bawa dia kembali dalam keadaan hidup setelah 15 menit."

Luhan tidak menyukai waktu pendek yang diberikan padanya untuk beristirahat tapi, meskipun begitu ia tetap berterima kasih untuk 15 menit ini.

.

.

.

Luhan terbangun di ruangan lain, terhubung dengan sebuah mesin. Ia tidak tahu apakah waktu 15 menitnya sudah habis atau belum, tapi ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Otot-ototnya terasa nyeri karena tes yang ia lakukan dan ia meringis setiap kali bergerak.

Duduk, ia melihat kabel-kabel menancap di tubuhnya. Luhan merabanya dengan jari-jarinya dan melihat ke mana kabel ini berujung. Satu set mesin yang lain.

Luhan sudah akan mencabut kabel-kabel itu tepat ketika seseorang melarangnya.

Kris memasuki ruangan dan menatapnya. Luhan berusaha untuk tidak terlihat takut, tidak memberikan Kris kesempatan untuk melihat betapa rapuhnya ia tapi ia tahu Kris bisa melihatnya. Sang dokter menarik sebuah kursi dan duduk disampingnya, mengamatinya.

"Kulihat kau sekarang sudah beristirahat dengan baik." Kris berkata dan memberikannya sebuah bola.

"Gerakkan lagi."

Luhan menatap bola itu, rasa frustasi mulai terbangun dalam dirinya. Ia memandang bola itu, membencinya dan berharap bola itu meledak di wajah sang dokter. Ia menghela napas saat bola itu hanya balas memandang, tidak bergerak.

"Aku tidak bisa." Luhan bergumam, bahunya terjatuh lemas. "Aku tidak tahu caranya."

Ia mendengar Kris menghela napas berat dan Luhan menatapnya.

"Kenapa kita bahkan tidak bisa melewati tahap ini?" Kris menggelengkan kepalanya, sebuah kerutan terbentuk di wajah tampannya.

"Yang lainnya tampak mengalami kemajuan yang pesat."

Luhan memandangnya.

"Ada yang lain selain aku?"

Ia ingin tahu di mana mereka dan mengapa ia tak pernah melihat mereka. Apakah mereka ditahan dan dipaksa menggerakkan bola tanpa menyentuhnya juga?

"Kau tidak akan bertemu dengan mereka pada level ini." Kris mendekatinya.

"Hanya mereka yang bisa melewati tahap ini."

Luhan memandang bola itu lagi. Ia mengerti apa yang Kris katakan. Ia harus memberikan mereka hasil jika ia ingin mendapatkan jawaban, melihat orang lain, pindah dari kurungan apapun ini yang memenjarakannya.

Ke mana?

Luhan berpikir. Tapi yang terpikir olehnya hanya satu jawaban. Sebuah kurungan yang lebih besar.

Luhan memberikan seluruh perhatiannya pada bola itu, mencoba membuatnya bergerak. Ia butuh jawaban sekarang, sangat membutuhkannya dan kemudian ia merasa sakit kepala karena terlalu keras berkonsentrasi. Setelah beberapa saat, Luhan berhenti, terlalu lelah dan frustasi untuk bisa melanjutkan.

Kris terlihat kecewa, Luhan memperhatikannya, dan Kris mengisyaratkan asistennya untuk masuk. Orang-orang dengan jas laboratorium dan masker bedah. Mereka melepaskan kabel-kabel yang menghubungkan Luhan dengan mesin dan mengembalikannya ke kamarnya.

Luhan kembali tertidur.

.

.

.

Tidak ada satupun yang mengunjungi Luhan lagi dan ini membuatnya cemas. Tidak ada satupun yang membawanya keluar ruangan untuk melakukan tes lagi. Tidak ada satu pun yang memerintahnya untuk menggerakkan bola tanpa menyentuhnya meski ia tahu ia memang masih ditugaskan untuk mencobanya. Mereka memberinya sebuah rak dengan ratusan bola dan Luhan dengan putus asa terus mencoba menggerakkan salah satu dari mereka setiap harinya.

Kembali sendirian dan kebingungan membuatnya frustasi. Kembali ditahan dengan cara ini. Luhan merasa sudah cukup dengan semua ini dan menggedor dinding, meminta mereka untuk membiarkannya keluar. Ia tidak peduli kepalan tangannya terasa sakit karena terus menggedor dinding tebal dan suaranya parau karena terus berteriak. Ia ingin melelahkan dirinya sendiri dengan ini ketimbang menghabiskan waktunya untuk membuat bola-bola itu bergerak.

Tiba-tiba, dinding yang ia gedor terbuka dan Luhan melindungi pandangannya saat cahaya terang menyambutnya. Luhan menyipitkan matanya dan sudah akan berjalan masuk saat sesuatu didorong ke arahnya. Luhan menangkapnya dan terjatuh ke belakang sebelum pintu kembali menutup, membiarkan Luhan melihat apa yang ia pegang.

Ternyata seorang laki-laki. Seorang pemuda, terlihat seumuran dengannya, pikirnya. Dia tidak berpakaian dan lemah dan Luhan menggesernya sehingga ia bisa menggendongnya. Dan saat ia melakukan itu, tangan pemuda itu bergerak dengan sendirinya menuju tangan Luhan dan sesuatu dalam dirinya menunjukkan. Saat itulah, Luhan menyadari bahwa pemuda ini adalah orang yang memeluknya malam itu.

Bukan orang bermasker, bukan. Luhan tahu itu bukan dia. Dialah yang memperlakukannya dengan lembut kala itu.

Yang bercinta dengannya. Setidaknya, itulah yang Luhan rasakan pada saat itu.

Cinta.

Datang dengan caranya yang aneh.

Ia tahu ini adalah dia saat Luhan membelai wajahnya. Dia tampan. Kurus dan rapuh pada saat yang sama namun tampan. Luhan bertanya-tanya bagaimana bisa pemuda ini mengklaimnya malam itu dengan keadaan begini lemah tapi Luhan teralihkan saat ia ingat dirinya dibelai dan dipeluk kala itu. Ia menjauhkan pikiran itu dan menggendong pemuda itu dengan mudah ke tempat tidurnya. Ia mengambil pakaian lebih untuknya dan memakaikannya. Ia merawatnya, mengira-ngira kenapa mereka mengirimnya kemari. Luhan tidak benar-benar bisa merawatnya. Ia tidak tahu caranya. Yang ia punya hanyalah pakaian dan air. Namun ia tetap menggunakannya untuk merawat pemuda itu.

Luhan merawatnya setiap hari. Ia memeluknya setiap malam dan di pagi hari, berterimakasih karena ditemani meski dia hanya terbaring lemah di tempat tidur. Terkadang pemuda itu bergeser dan mengerang dalam kesakitan dan Luhan hanya bisa menggenggam tangannya erat dan membisikkan janji padanya bahwa ia akan baik-baik saja. Luhan tidak tahu apa yang terjadi padanya dan ia takut pemuda itu bisa saja mati di tangannya.

Suatu hari, Luhan dibawa keluar untuk melakukan tes lagi dan Luhan menentang mereka. Ia tidak mau meninggalkan pemuda itu sendirian. Ia takut jika ia kembali nanti, dia tidak lagi berada di sini dan Luhan akan ditinggalkan kebingungan, bertanya-tanya apa yang mungkin telah terjadi padanya. Tapi mereka tetap membawanya keluar, membuatnya berlari di mesin treadmill, menyuruhnya melemparkan benda, menenggelamkannya lagi dan menyuruhnya menggerakkan bola itu.

Ia masih tidak bisa dan Kris frustasi dibuatnya. Dia berteriak pada Luhan, menyuruhnya untuk menggerakkan bola itu.

"Aku. Tidak bisa." Kata Luhan, kelelahan.

"Aku tidak tahu caranya."

Kris menatapnya tajam dan Luhan ketakutan. Tiba-tiba, Kris menggenggam kasar lengannya dan menyeretnya ke suatu tempat, Luhan tersandung saat berusaha menyamai langkahnya.

Luhan didorong ke dalam kamarnya dan Kris masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Luhan segera memandang ke tempat tidurnya dan melihat pemuda itu masih di sana dan ia menghela napas lega. Tapi tidak lama setelah ia melakukan itu, Kris menghampiri pemuda itu dan menyeretnya dari tempat tidur.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Luhan, matanya terbelalak melihat Kris memperlakukan pemuda itu.

Kris mencengkeram leher pemuda itu lalu mengangkatnya dan pemuda itu dengan lemah melawan cengkeramannya.

"Hentikan!" Teriak Luhan, menghampiri Kris dan Kris mendorongnya ke samping. Luhan hanya menatap tidak berdaya saat Kris terus mencekik pemuda itu dan Luhan takut dia akan membunuhnya.

"Hentikan!" Luhan berteriak lagi, air matanya mulai mengalir saat ia melihat pemuda itu meronta untuk melepaskan cengkeraman Kris dari lehernya.

"Berikan aku kemajuan dan aku akan berhenti." Kris berkata, menggertaknya.

"Aku tidak tahu caranya!" Luhan menjerit dengan frustasi.

"Hentikan! Kumohon! Kau akan membunuhnya!"

Kris hanya menyeringai, mengeratkan cengkeramannya di leher pemuda itu.

Dan tiba-tiba Luhan merasa marah. Cara Kris yang tidak mau mendengarnya. Cara jemari Kris mencekik pemuda itu, satu-satunya teman yang ia punya di penjara ini.

Ia benci Kris. Benar. Ia benci karena dia begitu berkuasa akan diri Luhan. Ia benci karena dia memaksanya melakukan hal yang ia sendiri tidak kuasai.

Ia ingin dia berhenti dan Luhan menatapnya tidak berdaya dari lantai.

Kris balas menatapnya sambil mengencangkan cengkeramannya pada leher pemuda itu.

Dan ia tersenyum pada Luhan.

Luhan kaget menatapnya. Namun, Kris menjatuhkan pemuda itu ke lantai. Luhan menatap Kris, bingung. Namun, berterima kasih dan Kris mengisyaratkan di belakangnya.

"Berbalik!"

Luhan tidak mengerti kenapa tapi perlahan ia berbalik. Ia tercekat saat melihat apa yang membuat Kris tersenyum.

Bola-bola yang tadinya berada di rak di belakangnya kini mengambang di udara dan Luhan menatapnya tidak percaya.

"Kerja bagus, Eksperimen 4-2-0." Kris mengucapkan selamat padanya dan Luhan kembali berbalik padanya, kemudian menyadari pemuda itu gemetaran di lantai.

Luhan merangkak menghampirinya secepat yang ia bisa dan merangkulnya ke dalam pelukan. Pemuda itu terbatuk-batuk dan menggerutu dan Luhan memeluknya lebih erat, mengayunkannya dalam pelukan.

"Kumohon semoga kau baik-baik saja," bisik Luhan, untuk sesaat melupakan bola-bola yang masih mengambang di belakangnya, juga Kris yang terlihat senang.

"Kumohon ..." lirihnya.

Pemuda itu mendesah dan tersengal-sengal meraih udara dan Luhan memeluknya lebih erat dengan gemetar.

"Kau sudah menggerakkan bola itu lagi," kata Kris dari tempatnya berdiri.

"Kau diperbolehkan bertanya satu pertanyaan."

Luhan mendongak memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca pada Kris dan meskipun ia tahu seharusnya ia menanyakan sesuatu yang lebih penting, ia malah memilih satu pertanyaan yang paling penting baginya saat ini.

Pelukan Luhan mengerat di sekeliling pemuda itu,

"Akankah dia baik-baik saja?"

.

.

.

TBC

.

.

.

( Kalian bisa baca cerita aslinya yang berbahasa inggris disini http: story/view/285621/revolution-action-angst-romance-exo-luhan-sehun-hunhan dari author hebat purpleskies : http: profile/view/240589 )

.

.

.

A/N:: wow, menerjemahkan itu ternyata asik. Hahaha, okelah mumpung lagi ga males, Nyx langsung terjemahin chapter berikutnya ya?

Yang udah review di chapter sebelumnya, Nyx ucapkan banyak terima kasih karena sudah menghargai Nyx juga menghargai Author aslinya;

| TAO bbuingbbuingKimmieYunJae | hunstalhaters | rinie hun | Qhia503dinodeer

Apabila ada kesalahan nama itu adalah salah keyboard-nya XD

Sambil nunggu chapter selanjutnya, review yang ini dulu ya :D

Terima kasih~

.

.

.

D/n :

Mantab kannn ... mantab banget kannnnn ... buahahahaha saya sangat cinta mati sama cerita ini. 

Benar-benar salah satu fic awal perjuangan saya di ffn dan fandom ini. Ahhhh saya mengingat bagaimana perjuangan saya ke warnet dulu untuk nunggu kakak Nyx terjemahin ni fic ... ohh tuhan untunglah ini salah satu fic yang selamat dari pemusnahan masal. ahhhhh tuhann ... saya sangat sesak nafas sekarang. 

Oke semangat ... semangat!!

.

.

28817 21:20

Ru: 3120 4.42 PM

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro