Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tatkala itu, ayahnya sedang menyeruput teh hangat sebelum sarapan di kantornya. Ia memainkan jemarinya di meja ketika Hitam masuk ke ruangannya.

Hitam gugup, tetapi ayahnya juga tampak tak tenang. Pembicaraan basa-basi dengan nada amarah yang ditahan itu tiba-tiba mencapai klimaks. "Aku merasa kau tidak pantas di keluarga ini."

Begitu katanya, memang hanya seperti itu sampai tiba-tiba Hitam sudah berada di luar halaman rumahnya. Tanpa membawa apa pun.
Tidak terjadi perlawanan dan acara tangis menangis memohon maaf. Hitam hanya mematung saat itu. Ia tidak percaya ayahnya yang seperti itu. Tahu bila seperti itu, Hitam menyesal untuk tidak membawa makanan karena perutnya kini lapar. Kembali ke dalam saat ini sangatlah tidak mungkin.

Jadi, dia menunggu di sana hingga hari berganti besok dan tentunya ia kemudian tidak sadarkan diri.

Ketika ia terbangun, langit-langit kayu di atas membuatnya sadar kalau ini sangatlah asing. Namun, seseorang yang duduk di sampingnya dan tengah tertidur dengan sulaman di tangan tidak terasa asing.

"Bibi pengasuh?"

Bibi tersebut terlelap dengan nyenyak, Hitam ingat kalau pendengaran wanita itu sudah tidak cukup bagus maka dari itu ia sudah tidak berada di mansion lagi dan tidak terbangun ketika dipanggil.

Ia kemudian turun dari ranjang. Perutnya keroncongan dan ia tidak tahan untuk tidak memakan sesuatu. Ia pun memeriksa dapur dan tidak menenukan apapun kecuali sebongkah roti keras. Roti cukup keras itu sangat sulit untuknya makan sehingga ia menerka-nerka apakah ia memiliki susu yang bisa ia hangatkan. Namun, tidak ada apapun di dapur. Ia pun menemukan teko air dan menuangkannya di gelas. Dingin tetapi tidak ada cara lain untuk sedikit melembutkan rotinya. Tahu kondisi seperti ini membuat Hitam sadar ia juga tidak bisa melahap roti itu habis saking laparnya. Jadi, ia hanya memakan secuil dan meminum air lebih banyak.

"Tu-tuan muda?"

Bibi pengasuh bangun dari kursinya dan mencari tuan muda di hadapannya menghilang. Hitam mendatangi wanita tua itu yang nyatanya langsung dipeluk olehnya.

"Bibi," kata Hitam.

"Tuan, ikutlah saya. Mari kita pergi. Saya sudah dengar kabar tersebut. Ikutlah saya," katanya sembari menggerayangi pipi Hitam.

"Apakah boleh?" Tangis hitam yang ia tahan dari kemarin akhirnya pecah. Ia yang tak kuasa memeluk bibinya itu. Berangkatlah ia kemudian ke desa. Namun, naas. Ada bandit yang menyerang kereta mereka. Meniadakan bibi pengasuh. Menghancurkan hidup Hitam sekali lagi.

"Pergi kau pembunuh Ibu!" Seorang wanita paruh baya melempari beberapa koin pada Hitam.

Saat itu pemakaman baru saja dilakukan. Luka fisik yang belum sembuh itu sakitnya tidak seberapa dengan luka hati yang belakangan ini ia terima. Hitam hanya terdiam dan memunguti koin pemberian anak bibi pengasuhnya itu. Dengan lunglai, ia pun kemudian pergi meninggalkan desa kecil singgahnya sesaat untuk mengantar bibi pengasuhnya pulang. Ya pulang. Pulang dari dunia ini.

Setapak demi setapak menghantarkan Hitam pergi. Ia memutuskan tekat untuk pulang kembali pada ayahnya. Memohon ampun atas segalanya. Ia merasa ia masih belum sanggup berada di luar dunianya ini. Ilmu berpedang yang ia miliki masih belum cukup untuk melindungi orang. Terlebih ilmunya terhadap dunia ini. Bagaimana caranya ia bertahan hidup. Ia tidak tahu.

Beberapa kali ia menumpang pada kereta barang lewat untuk kembali ke kota. Beberapa kali pula ia mendengar sebuah rumor mengenai dirinya.

"Tuan muda penguasa sebenarnya bukanlah anak kandung tuan besar penguasa! Ia ditendang dari kediaman karena hampir mencemari puteri kandung yang baru saja ia temui!"

"Wah, apa benar? Sungguh tidak tahu diuntung sekali dia!"

Hitam menggertakkan giginya ketika dua orang yang duduk mengemudi bergosip demikian di depannya. Dalam hatinya ia berteriak. Itu tidak mungkin! Dia adalah anak kandung ayahnya ia pun juga tidak pernah sekalipun berpikiran kotor pada adik barunya.

"Apakah kau yakin?" Pertanyaan itu melintas di benaknya. Dan itu membuatnya tertegun. Ia tidak tahu apakah itu suara hatinya atau bukan. Hanya saja ia mulai menangis dalam diam tiap kali rumor tentang dirinya beredar.

Tibalah ia di kota dan langsung menuju ke mansion kediamannya dulu. Pengawal mencegatnya tetapi ia memohon dengan sangat untuk mereka memberitahu kedatangannya pada ayahnya. Dua pengawal yang berjaga merasa iba. Katanya ini bantuan terakhir yang dapat mereka berikan setelah membantu menggotongnya ke rumah bibi pengasuh--mereka mendapat perintah untuk tidak sekali-kali membantu Hitam.

"Bagaimana?" Hitam dengan wajah penuh harap menunggu jawaban dari salah satu pengawal yang muncul kembali usai berlari keluar dari mansion. Gelengannya membuat semangat Hitam merosot.

"Apakah benar aku bukan anak kandungnya? Kenapa ia tidak bicara apa pun?"

Pengawal-pengawal itu hanya menepuk bahu Hitam, menguatkannya. Hitam kemudian melangkah pergi. Ia tidak tahu ke mana tetapi kakinya membawanya ke sebuah toko. Toko topeng milik keluarganya.

Pelayan toko berbisik di sudut, membicarakan Hitam karena tidak tahu bagaimana status sahnya. Apakah ia pembeli, pemilik, atau orang yang perlu diusir. Namun, Hitam tidak memerdulikan itu. Ia pergi ke salah satu rak dan berhenti pada sebuah topeng sederhana berwarna Hitam.

Ia mengambilnya lalu membayar di kasir sesuai dengan harga yang tertera di sana. Tidak banyak bicara tetapi Hitam telah merencanakan sesuatu.

Malam itu, Hitam yang memakai topeng polos berwarna Hitam itu menyelinap masuk melompati pagar besi, menyusup sekitar taman dan masuk melewati pintu belakang dapur. Dapur tidak berpenghuni karena semua pelayan tengah terlelap. Ia pun pergi ke salah satu kamar dan mengetuknya. Cukup lama tidak ada sahutan yang membuat jantung Hitam bertalu-talu. Namun, akhirnya terbuka dan nampak seorang gadis dengan pakaian tidurnya setengah mengantuk dan tidak sadar siapa yang ia bukakan pintu. Ia merutuki kebodohan gadis itu tapi sekaligus bersyukur di saat yang sama.

"Isala. Apakah rumor itu benar?"

"Kakak?"

Matanya terbuka lebar seakan juga ingin berteriak. Namun, Hitam yang sadar mendorong Isala masuk ke dalam kamar.

"Isala...." Hitam memanggilnya dengan penuh duka melihat adiknya yang kini sudah beranjak tenang dan membeku itu.

"Apakah benar, aku bukan saudaramu atau bagian dari keluarga ini?"

Isala masih tetap diam tetapi tangannya mulai bergerak memegang bahu Hitam.

"Pergi kak. Pergilah...,"katanya. "Apakah kau akan mengambil lagi apa yang seharusnya menjadi milikku?"

Hitam kini yang terdiam.

"Apakah kau mengerti rasanya menunggu Ibu yang membohongi tengah memasak bubur gandum padahal hanyalah batu?"
Isala mulai menangis.

"Jujur, sejak awal kedatanganku ke sini. Aku membencimu kak. Kau bertingkah kita senasib. Namun, kau tahu sendiri bahwa kita berbeda. Hiks."

Hati Hitam terluka.

"Terlebih ketika ayah sendiri mengatakan. Bahwa sebenarnya kau tidak pernah memiliki darah keluarga ini."

"Kau harus pergi kak. Ini bukan milikmu. Ini milikku. Hiks."

Isala menangis. Namun, tangisan itu tidak sepantar dengan luka hati Hitam yang terdiam di depannya. Bahkan ketika ada beberapa penjaga yang mengetok pintu, membukanya, menangkap Hitam. Hitam hanya bergeming.

"Aku harus ke mana?"
Pertanyaan itu muncul di benak Hitam. Saat ayahnya datang menemuinya sembari menyumpah serapahi dirinya.

"Aku sudah berbesar hati membesarkanmu dan akan menjadikanmu pewaris. Tapi kau masih tak mengerti juga. Tidak hanya tak mengerti tetapi kau berani macam macam dengan anak kandung yang baru kutemukan ini!"

Tak hanya makian yang ia terima di pagi hari saat ia di penjara bawah tanah tetapi juga beberapa pukulan yang kemudian juga mengantarkannya keluar mansion. Kini ia juga dibekali sesuatu. Sesuatu yang menandakan ia sudah resmi bukan bagian dari keluarga baron itu lagi.

Sekantung koin cukup banyak dan sebuah syal hangat. Ya betul, Hitam melupakan musim gugur yang menantinya ini. Awalnya ia tinggal di penginapan yang sederhana. Namun, ia mulai kehabisan koin uang ketika hari terus berjalan. Ia tidak bisa makan dan tidur terus terusan seperti ini. Awalnya ia membantu di pandai besi. Namun, segera diusir ketika mereka ada yang memberitahu kalau Hitam adalah putera angkat Baron yang hendak berbuat jahat. Belum sempat ia menjelaskan ia sudah terusir.

Hingga akhirnya tibalah ia di sebuah tempat aneh dengan kumpulan anak-anak seusianya atau di bawahnya di sana.

"Bagaimana kau bisa menemukan base ini!" Seseorang berseru pada Hitam ketika ia mencoba membaur di anak-anak sana yang tengah sibuk masing-masing. Entah menjahit, makan, atau berkelompok.

"Kau bukan bagian dari kami," kata bocah laki-laki itu lagi yang membuat semua orang diam kemudian menoleh pada Hitam.

"Lalu, bagaimana caranya menjadi bagian dari kalian? Aku butuh tempat tinggal, makan, dan seseorang yang bisa menemaniku."

"Memangnya kau lansia hingga perlu ditemani? Kau pasti anak kaya sebelumnya. Namun, itu tidak masalah. Kami tidak memedulikan latar belakang. Hanya saja jawab pertanyaan ini dan kami akan menilai apa kau bisa bergabung dengan kami."

Bocah laki-laki yang barangkali beberapa senti lebih tinggi dari Hitam menyilangkan tangannya di dada dengan senyum miring menantang Hitam.

"Nah, apa yang kau benci? Dik?"

Hitam terdiam sesaat.

"Aku membenci dunia ini dan juga adikku," katanya yang mantap.

....

1382

Yeeee begitu kawan lalalala
Akhirnya saia bisa nulis setelah hampir setengah tahun gabisa nulis. Hiks. Tolong tunggu epic comeback saya yang ntah kapan ya T^T sambil menunggu mungkin saya mencoba nulis projek ini pelan-pelan sembari latihan nulis lagi. Mungkin tulisan ini terasa sangat acak-acakan. Mohon dimengerti :((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro