03. The Tale of Rkhirkhin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


🎵Bermain di taman (duda dada) bertemu teman baru (duda dada)
Naik pinkar dan terbang tinggi ayo bergembira (wow) 🎵


"Lo ngapain di situ?"

Ursa menegur gadis itu. Beberapa jam setelah pesta ulang tahun, Ursa keluar kamar dan berniat ke dapur untuk menyeduh kopi, Ursa justru menemukan seonggok manusia di antara tumpukan konfeti di lantai. Rindang bergelung seperti kucing.

Berusaha tidak mendaratkan telapak kaki di konfeti yang berserakkan, Ursa memindahkan kakinya, nyaris menginjak Rindang. "Gue kira buntelan apa. Hampir aja gue buang."

Rindang tidak berpindah. Ia hanya berguling sedikit, sehingga bisa menatap Ursa. Tatapannya nampak minta dikasihani.

"Di sini adem, Cha," sahut Rindang. Gadis itu merasakan tekstur karpet tipis yang sejajar dengan pipi, lalu kembali memandang Ursa. "Dan gue galau."

"Lo kan belum nikah." Ursa berkomentar seraya mengedikkan bahu. Ia melangkah melewati Rindang. Sebagian tubuh Ursa menghilang di balik meja konter, hingga menyisakan tampak punggungnya ketika ia sedang menyeduh kopi.

Kopi. Rindang suka aromanya, namun bukan penikmat cita rasanya. Jika menurut Ursa kopi Java Mocha yang direbus dalam suhu 90 derajat dan diberi sedikit susu lebih enak daripada Janji Jiwa, Rindang tidak paham. Baginya sama saja.

Rindang meniup konfeti yang menempel di ujung hidungnya dan menatap langit-langit. Benar juga, sih, ucapan Ursa. Hidup sendiri saja sulit; Bagaimana orang-orang bisa bertahan menanggung hidup orang lain? Suami dan anak-anaknya? Mengurusi mereka 24/7 tanpa jeda. Sementara, mengurusi pribadinya sendiri saja dia suka keteteran. Makan kalau ingat. Mandi kalau gerah.

Rindang heran, kenapa setiap mamak-mamak di muka bumi ini ingin sekali melihatnya menikah. Bukan hanya mamanya saja, tapi juga Mama Randi, Mama Nia, Mama Ryan, dan berbagai jenis mama di lingkungan tetangganya. Selalu menanyakan kapan menikah. Seolah jika ia tidak menikah, dunia akan hancur. Dia, kan, bukan Avatar.

Rindang ingat Inang Ursula, induknya Ursa. Kalau Inang adu bacot dengan Melani Ricardo, Melanie Ricardo saja bakal tampak kalem. Jenis mama agresif yang akan menyeret anak muda mana saja agar mau dengan anak gadisnya. Jenis mama yang kalau ditolak, auto neraka bagi orang itu. Ibu Rindang berbeda. Beliau adalah wanita gemulai dan mendiktenya dengan cara sehalus siluman. Namun, seperti Arabika dan Robusta yang berbeda, mereka semua tetap kopi. Sama saja, sama pahitnya.

Dengan kalem, beliau memberikan komentar sama tiap bertemu Rindang."Kamu itu sebentar lagi dua lima, loh. Umur segitu, Kakakmu Rinai sudah punya anak tiga. Ridam punya anak dua, kembar. Nah kamu, pacar aja nggak keliatan. Makanya, jadi wanita jangan di rumah aja. Jalan-jalan, dong, cari laki-laki!"

Lalu satu waktu ibunya menyerahkan seplastik bunga agak layu. Kelopak-kelopak mawar merah menyatu, hingga membentuk jalinan erat berbentuk hati di atas pelepah daun pisang. Dilengkapi juntaian-juntaian melati.

"Ini bunga sanggul dari nikahannya si Marfu'ah, temen SD kamu. Buruan pake buat mandi, supaya kamu cepet nyusul. Nanti keburu perawan tua. Abis itu pake baju bagus, dandan cantik, terus duduk di teras rumah. Siapa tahu, anak ganteng lewat."

Sudah kayak barang jualan aja, digelar di depan rumah! Kalau bisa, Rindang dikasih papan nama bertuliskan 2000/kg. Persis seperti penjual semangka di pinggir jalan itu, pasti sudah dari dulu dilakukan.

Dengan cepat, Rindang menggeleng. Ia mengenyahkan pikiran melanturnya. Ia punya banyak masalah. Tapi, masalah pernikahan yang sejujurnya tidak begitu ia minati bisa dikesampingkan sekarang. Ada yang lebih mendesak.

Dengan perlahan, Rindang bangkit duduk. Berbaring di lantai berjam-jam membuat pola karpet tercetak di lengan dan pipinya. Belum lagi lembaran-lembaran konfeti ikut menempel. Satu-satu, Rindang menyingkirkannya.

Rindang menempelkan dagu di ujung sofa tepat ketika Ursa mengambil duduk di sana dengan kopi panas di tangan. "Cha."

Ursa tidak menyahut. Ia meletakkan mug kopi yang telah disesap sedikit di atas meja, lalu menyalakan televisi.

"Cha~" panggil Rindang lagi, sedikit lebih keras.

"Oi, Chaaaa~"

Akhirnya, Ursa menoleh. Kebiasaan, tiga kali baru menyahut.

"Oi, Chayo. Oi, Chayo, dia bis kecil ramah."

Seketika, melihat wajah datar Ursa, Rindang merapatkan bibir. Ia kemudian menarik cengiran tanpa dosa. "Candaaa. Eh, Cha. Lo masih inget Samud, nggak?"

"Samud?"

"Samudera. Anak IPS 2." Nama cowok itu susah sekali disebut. Huruf R-nya mengganggu.

"Samudrkha?" Ursa menirukan, dengan sengaja.

"Ish. Serius gue."

Mengambil waktu satu detik untuk terlihat berpikir, Ursa kemudian hanya mengedik. "Nggak inget. Kayak gue pernah masuk aja."

Rindang berdecak. Benar juga, sih. Kadang Ursa sampai tidak masuk sampai seminggu karena harus dirawat. Untung saja, sekarang dia lebih baik. "Emang kenapa?"

"Gue ketemu dia, masa. Si Hidung Jambu yang suka bully gue dulu itu, inget? Di tempat kerja baru. Ternyata, York itu kafe punya dia."

"Jadi, karena itu muka lo dari tadi kayak muka emak gue, kalo abis ketemu anggota paguyubannya?"

Muka emaknya Ursa gimana, memangnya? Muka biasanya aja sudah sangar. Muka sehabis ajang pamer anak? Entahlah.

"Ah, apa gue tolak aja, ya, kerjaannya? Balik ngegembel lagi aja daripada di-bully."

"Nggak usah macem-macem, deh!" sanggah Ursa. "Mau gue tendang, terus dapet voucher eksklusif nginap di bawah jembatan? Lagian, kenapa emang kalo dia suka bully? Bully balik aja."

Terkesiap, Rindang menatap Ursa yang bahkan tidak menatapnya balik. Binar kagum berpendar di mata Rindang yang tidak cukup besar. "Bener juga, sih."

***

"Nih," kata Mbak Fany. Ia menyerahkan sebuah kunci kecil begitu mereka memasuki dapur yang bersih dan cenderung kosong.

"Ini apa, Mbak?"

"Kunci loker kamu."

Tepat saat itu, Rindang berbelok dan membuka sebuah pintu cokelat. Sepertinya hanya diperuntukkan bagi staf. Rindang mengekor di belakang seperti anak ayam.

"Ini ruang istirahat," jelas Mbak Fany. Ia menunjuk selembar karpet di pojok ruangan, ada satu televisi kecil dan bantal-bantal. Di satu sisi dinding, ada dua lemari yaitu loker-loker yang tidak cukup besar. Muat untuk satu tas dan beberapa barang.

Rindang menatap loker itu satu persatu. Beberapa memiliki nama, sedangkan yang lain sudah terkoyak. Mbak Fany menunjuk satu loker tanpa nama dan membukanya.

"Kamu bisa nyimpan barang di sini. Dulunya ini milik salah satu anak sini, sih, tapi ditukar."

"Kok gitu?"

Mbak Fany mengangkat bahu. "Bos nyuruh. Lagian memang sudah sepantasnya. Di sini only for females. Di sebelah," jarinya menunjuk lemari lain. "for males."

Rindang mengangguk. Ia mendorong tasnya ke dalam loker, lalu buru-buru menguncinya dan menyimpan kunci tersebut di saku celana. Setengah berlari, Rindang mengejar Mbak Fany yang membimbing pengenalan hari ini. Wanita itu bergerak terlalu luwes. Terlalu cepat untuk Rindang.

Kurang dari satu menit, mereka kembali ke dalam kafe. Di salah satu sudut, semua karyawan telah berkumpul. Jumlahnya lebih banyak daripada saat Rindang datang tadi pagi untuk orientasi. Menurut kontrak, sampai tiga hari kedepan, Rindang tidak akan langsung bekerja. Hanya mengenali kafe dan sistem kerjanya, beradaptasi, dan mengambil contoh.

Mbak Fany membawanya duduk bersama yang lain. Mereka mengelilingi sebuah meja bundar. Sebagian duduk di sofa dan sebagian mengisi kursi-kursi kayu berpelitur. Ada sekitar sepuluh orang termasuk dirinya, minus si Hidung Jambu.

"Okay, because we are a team, we need to know each other and stay solid, alright?" Mbak Fany mulai bicara, dan kepada siapa ia coba mengobrol, lebih cenderung pada Rindang. "Let us introduce ourselves. My name is Stephanie, you can call me Fany."

Di sisi Mbak Fany, ada laki-laki yang menimbulkan kehebohan kemarin pagi. "Karena bukan lagi ngajar, gue bahasa Sunda aja, ya," ujarnya santai. Ia menyandarkan punggung pada sofa dan meletakkan satu kaki di atas lutut. "Kulo namae wa Rizky Perdana desu gomawoyo woyo-woyo. But just call me Dana."

Senyum Rindang pecah seketika, sementara gadis di sisi kanan Dana menggeplak laki-laki bertubuh gempal tersebut. Dari bunyi kerasnya, seperti cukup menyakitkan. Dana tergelak santai.

"Kita di sini manggilnya Bang Dana soalnya paling tuwir," kata gadis berhijab itu. "Nggak tua-tua banget, sih, 28 jalan 29. Makanya dia ngebet kawin. Nah, kadang dia juga biasa dipanggil Mr. Money atau Mr. Dana Umum."

"Mr. Money?"

"Iya, selamat!" jawab Dana cepat, lalu menarik tangan Rindang, dan menaruh sejumlah uang di sana. Ia kemudian menirukan gaya bicara host reality show Uang Terkejut. "Anda mendapatkan uang untuk Anda belanjakan senilai ... LIMA BELAS RIBU RUPIAH!"

Rindang terkekeh pelan. Ternyata namanya tidak nista sendirian di sini.

Gadis berkerudung yang bicara dengannya tadi memperkenalkan diri sebagai Oliv.

"Panggil Oliv aja. Nggak perlu Olivia Zalianty. Nanti orangnya minder saingan sama gue. Anak-anak les suka manggil gue Miss Oliv Ricis. Tapi, nggak, lah. Cantikan gue ke mana-mana, ya, kan? Lo tahu Nia Ramadhani aja konsultasi kecantikannya sama siapa?"

"Sama lo?" Bang Dana menyahut.

"Sama dokter kecantikannya, lah!"

Mereka tertawa ramai. Dengan dua orang itu, tampaknya kafe tidak pernah sepi. Di samping Oliv, Miss Yuni, atau Miss You. Dibanding Oliv, bicaranya lebih teratur, lembut dan feminim. Namun, kecepatannya mengingatkan Rindang sahabatnya, Sashi. Miss Yuni juga masih sempat-sempatnya menawarkan lipstik dan beberapa produk skincare karena ia salah satu agennya.

Lalu, sosok yang bermain Mobile Legend kemarin dan masih main hingga detik ini adalah Anan. Cowok itu paling muda karena baru lulus kuliah. Namanya indah; Yusuf Hasnan. Namun, Bang Dana semena-mena memanggilnya Ucup. Anan tidak banyak omong seperti tutor yang lain, namun sekali dia buka mulut, yang keluar adalah "Senjata! Senjata! Cover gue!" dan istilah-istilah game, hingga kadang bikin orang sekitar kaget. Tidak ada angin tidak ada hujan, Anan tiba-tiba berteriak.

"Mereka semua tutor di sini, sama kayak kamu." Mbak Fany menyerongkan kaki sedikit, menghadap Rindang. "We call ourselves Yorkers, dan para pengunjung, Yorkish."

"Yorkers?"

"Yup, and you're one of them now." Untuk pertama kali, Mbak Fany tersenyum, meskipun masih sangat pelit.

Selain itu ada juga beberapa wajah yang baru dilihat Rindang. Ada Mbak Indah, desainer kreatif. Mbak Indah memiliki ruangan kerja sendiri dan jarang terlihat di kafe. "Tugasnya, ya, update medsos kita. Sekalian promosi, bikin-bikin brosur," kata Mbak Fany.

Mbak Indah hanya tersenyum dan memperkenalkan diri dengan suara lembut. Satu-satunya sosok yang memiliki aura wanita di tempat itu.

Lalu ada lagi dua orang laki-laki bernama Emil dan Saufi. Emil merawat kumis tipis di wajahnya, sementara Saufi tipe-tipe ikhwan dengan sedikit janggut dan celana cingkrang.

"Mereka ini sebenarnya tim marketing," jelas Mbak Fany. "Kerjaannya ya promosi kafe dan program bahasa Inggris kita. Ngajak ngobrol pengunjung. Tapi, kadang mereka juga bantu-bantu Juan di bar. Jadi, kalo Juan nggak masuk, kafe kita nggak mendadak kacau."

Laki-laki dingin di balik meja bar itu ternyata bernama Juan. Dan tidak ada informasi lain.

"Juan." Ia mengenalkan diri. Hanya itu. Juan menatap Rindang tepat di mata, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.

Mbak Fany adalah manajer, admin, sekaligus penanggung jawab kafe. Dia seumuran dengan Bang Dana, dan satu-satunya yang sudah menikah. Ada lebih banyak informasi yang Rindang serap. Sebelum itu, Rindang harus melalui satu fase yang selalu dibencinya; mengenalkan diri.

"Saya Rkhindang Dawen Kaayat. Panggil aja Lilin."

"Hah? Kok dari Rindang ke Lilin?" Oliv bertanya penasaran. Mungkin sebegitu penasarannya, sampai ia mencondongkan tubuh ke arah Rindang.

"Lo lahir pas bapak lo ngepet dan emak lo jaga lilin atau gimana, dah?" Bang Dana nimbrung.

"Pas mati lampu kali," Emil menambahkan.

"Atau dulu ibu kamu ngidam ngemut lilin?" Mbak Yuni ikut-ikutan.

Pertanyaan ini lagi. Sepertinya semua orang selalu keheranan tiap Rindang menyebutkan nama panggilannya. Rindang menarik napas, bersiap mempersiapkan mental dan lidah untuk menjelaskan semuanya secara panjang lebar.

"Gini─"

"Karena Rkhindang. Rkhirkhin. Lilin."

Huruf R di sana melebur dengan kata 'kh' hingga terdengar seperti Rkhindang.

Tadi itu bukan suara Rindang. Gadis itu berbalik. Ia menemukan sebentuk wajah minta ditempeleng berada dalam jarak hitungan inci darinya. Samudera sedang membungkuk tepat di belakang tempat ia duduk. Dengan senyum tidak berdosa bertengger di bibirnya.

Dan senyum itu diarahkannya pada Rindang. "Iya kan, Rkhin?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro