04. Chocolate & Oreo Milkshake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


🎵 Ya, Hamtaro berlari. Hamtaro tidur di mana saja
Apa yang paling dia senangi? biji bunga matahari~ 🎵

"Karena Rkhindang. Rkhirkhin. Lilin."

Dan senyum itu diarahkan Samudera pada Rindang. "Iya kan, Rkhin?"

Kalau saja Rindang tidak ingat laki-laki ini adalah satu-satunya orang yang akan memberinya gaji untuk bertahan hidup selama satu bulan, Rindang pasti sudah ... sudah ... tidak melakukan apa-apa. Logisnya, Samudera memiliki bobot nyaris dua kali lipat dirinya dan ia tidak punya kekuatan banyak untuk mematahkan hidung cowok itu sebelum mematahkan tangan sendiri. Menyemprot Samud dengan sumpah serapah berkuah di hadapan seluruh pegawai York juga bukan pilihan bijak. Jadi terpaksa, ia diam saja. Tidak peduli seberapapun kadar bencinya melonjak di ubun-ubun.

Saat ini, Rindang hanya dapat melengos dan bergeser. Ia tidak ingin berada dekat-dekat dengan Samud. Bahkan aroma sandalwood dan musk dari parfum cowok itu bagi Rindang baunya seperti tabung gas yang bocor. Ia bisa keracunan.

"Eh iya, bener juga, ya," Emil mengangguk-angguk. "Karena nggak nyampe R, jadi kepleset ke L, ya?"

"Enggak, kok!" Rindang tidak tahu kenapa ia menyanggah, tapi ia menyanggah. Mungkin karena ia tidak mau mengaminkan apapun yang keluar dari mulut Samud. "Itu ... biar lucu aja."

"Hm. Biarkh lucu," Samud menimpali. Lagi.

Tarik napas, Lin, tarik napas! Buang lewat bokong kalau bisa, mumpung Samud ada di belakang.

Rindang menarik napas begitu keras sampai hidungnya mengembang. Kalau baku hantam dengan Samud hanya akan membuatnya menjadi pihak yang lebih sakit, sepertinya santet bisa jadi pilihan alternatif. Jika setelah ini Samud tidak masuk kerja karena muntah paku, bisa dipastikan siapa pelakunya.

Untungnya, ternyata Bang Dana yang Rindang semula pikir gunanya di dunia hanya menambah polusi suara dengan menjadi komika gratisan, sekarang memiliki fungsi lain juga. Pengalih perhatian.

"Eh, Bos! Beli apaan, tuh?!" tegur Dana melihat kresek putih yang isinya dapat diterawang. Ada bulir-bulir embun menempel dan mencair ke lantai. "Menurut pengamatan mata batin saya, seger tuh nampaknya, bawaan Bos kita tercinta ini."

"Oh, ini?" Samud terkekeh pelan seraya mengangkat bungkusan di tangannya, lalu meletakkannya di meja. "Tadi, kan, saya mampir ke minimarket. Panas. Sekalian aja beli buat semua."

Bahkan sebelum plastik itu menyentuh meja, Bang Dana dan Oliv sudah nyaris berebut membukanya. Terpampanglah belasan es krim berbagai bentuk dengan rasa sama; cokelat mint.

"Eciee, ada apa, sih, hari ini? Ultah Pak Sam, ya?" Oliv mendongak demi menegur Samudera. Mata belonya berkilat menggoda, diikuti senyum lima jari.

"Told you not to call me Pak Sam," Samudera memperingatkan dengan nada ringan, pelototannya seperti main-main. "Dan nggak. Ultah saya, kan, masih lama."

Memangnya kenapa dengan Pak Sam? Lalu Rindang mulai mengucapkan panggilan itu dengan cepat dan berulang di kepalanya. Pak Saem Pak Saem Pak Saem Pak Saem Pak.... Sam Pak.

"Ultah pacarnya, ya, kalo gitu?" tanya cewek berhijab itu lagi.

Belum sempat Samudera membalas, Dana datang dengan pertanyaan baru. Suaranya mengatasi riuh para Yorkers lain yang berebut es krim berukuran paling jumbo. Suhu Jakarta Selatan yang mencapai 35 derajat siang ini sepertinya mampu membuat semua orang hilang ingatan tentang usia mereka.

"Eh, kok cokelat semua sih, Bos? Tambah besar, dong, kehamilan gue," protesnya sambil menyentuh perutnya yang agak menggembung. Namun tidak lupa, tangan satunya mengamankan dua bungkus es krim sekaligus.

"Udah dibeliin, protes! Nggak tahu terima kasih, nih, manusia." Bukan Samudera, tapi Mbak Yuni yang menyahut.

"Iya. Iya. Makasih, ya, Bosku sayang-ku~" kata Dana seraya memanyunkan bibir ke arah Samudera.

Sebagian yang melihat tertawa. Anan mengernyit jijik sembari memakai jurus seribu bayang saat mengambil alih es krim yang telah dipilih Oliv tanpa ketahuan orangnya. Mbak Yuni sibuk membaca keras-keras kandungan kalori per mililiter es krimnya. Sementara, Saufi memanjatkan doa makan dan Samudera sendiri mengernyit. Ia mencubit perut chubby Dana. "Jijik, Mas."

Sementara Rindang terpaku di tempatnya, nyaris tidak mempercayai penglihatannya sendiri.

Jadi, Samudera itu ...

Dering ponsel tidak menginterupsi kegiatan orang-orang yang sibuk merobek bungkus es krim masing-masing. Hanya Samudera sendiri yang terlihat memeriksa ponselnya, lalu dalam diam berjalan menjauh. Hingga, menghilang di balik tangga menuju lantai atas. Juan kemudian berdiri tanpa menyentuh apa-apa. Ia kembali ke balik meja bar, sementara Rindang hanya diam di sana. Rindang sedikit berjengit ketika Oliv menggamitnya.

"Lo nggak suka es krim, apa, Lin?"

Kemudian, tanpa menunggu jawaban, Oliv menambahkan, "Ambil buruan. Nanti keburu cair esnya. Udah nggak enak, ribet juga, belepotan. Ini aja tuh udah nempel di bungkusnya, sampai mau netes ke baju gue. Ribet banget nggak, sih." Oke, cukup, cukup. Rindang tak butuh Sashi kedua dalam hidupnya.

"Iya, nih, Lilin." Dana lagi-lagi melompat ke dalam pembicaran orang tanpa diundang. "Mau A'a Nana suapin?"

Oliv menggeplaknya, Saufi beristigfar, Rindang bergidik. Kadang, anak laki-laki suka sekali bercanda hal-hal yang membuatnya tidak nyaman. Ya, Rindang seringnya tidak nyaman berada dekat-dekat dengan laki-laki. Apapun bentuknya. Murid lesnya adalah pengecualian.

Rindang mengambil satu bungkus, merobeknya dan memperhatikan es krim cokelat yang sudah lumayan meleleh itu. Dengan perlahan, Rindang merasakan tekstur itu di lidahnya, mengecap kembali rasa yang tidak asing. Cokelat. Rasa favoritnya.

"Baik banget ya, bos kita itu," kata Oliv di sela suara mengemut es krim. "Udah ganteng, baik, ramah. Pacar-able banget, deh. Pokoknya, baik sama semua orang. Lo pasti betah kerja di sini."

"Baik? Orang itu?"

Baik biji mata lo ada lima?! Rindang berusaha mengingat-ingat kebaikan apa yang pernah dilakukan Samud dalam hidupnya. Jawabannya seperti √ 23187 x 35 2/57 : 0, 0047 x 0. Jawabannya nol. Kosong. Tidak ada.

Fungsi Samudera hanya menghabiskan oksigen di dunia ini dan menambah-nambah jumlah manusia yang kalau ditagih BPJS bakal menghujat pemerintah. Dari segi mana, baiknya?

Untungnya, sekarang Rindang tahu cara membalasnya. Sekarang dia punya sesuatu sebagai bahan balas dendam.

Tinggal menunggu tanggal mainnya.

***

"What is it?"

"It's ... worn by girls!"

"It's here! It's here!"

"Anin wears it!"

"Yes! Yes! Anin wears it! It's yellow!"

Fahri mengerutkan alis penuh konsentrasi. Fahri menatap cewek pendiam dengan rambut sebahu di hadapannya. Namanya Anin dari SMA Bucin. Mereka satu sekolah namun tidak sekelas dengannya. Petunjuknya adalah ... Anin ... yellow. Hah, tapi hampir semua yang dipakai Anin berwarna kuning. Sungguh, petunjuk yang sangat membantu.

"3o seconds!" Rindang mengumumkan. Dan segera, kelima anak yang mengelilinginya semakin panik. Apalagi Fahri. Terutama Fahri, sih, yang kata orang senyumnya bisa menyembuhkan kanker.

"Dress?!" Fahri menebak-nebak. "Skirt?"

"You wear it on the head!" Anin memberi tahu.

"Skirt?"

"Ogeb lo! Mana ada pake rok di kepala!" Satu-satunya cowok dalam kelompok itu selain Fahri, Sasmitha atau Mitha menoyor kepala Fahri.

"Makanya lo kasih tahu!"

"In English, please?"

"On the head, Fahri! Duh! On the head!" Cewek berambut panjang di samping Adis, Shanum, berseru tidak sabar. Ingin rasanya Shanum menyentil otak Fahri karena belum paham juga.

"Bando?"

"Yes, in English!"

"Headless? Head--headband!!!"

Fahri berdiri. Ia menyebabkan kursi yang diduduki terpental ke belakang dan detik bersamaan, alarm penanda batas dua menit telah berakhir berbunyi. Fahri bersorak karena berhasil selamat dari hukuman. Selebrasinya bahkan sampai sujud syukur di atas karpet.

Setelah mengobservasi kelas Miss Oliv sore itu, Rindang diberi kepercayaan untuk mengarahkan anak-anak pada game penutup. Pada sistem belajar York, yang diutamakan adalah kemampuan speaking para siswa, dikombinasi dengan berbagai game menarik untuk mengasahnya. Setelah setiap anak bergantian duduk di Hot Seat, permainan yang mengatur satu anak duduk di kursi membelakangi papan tulis dan menerka apa yang ditulis dan teman lain memberi petunjuk. Tapi, hanya Mitha yang mendapatkan hukuman. Anak itu tidak berhasil menjawab dalam dua menit.

"What is the punishment, Miss?" tanyanya dengan bibir dimanyunkan. Imut. Rindang nyaris tidak tega.

"Traktir mi ayam bapaknya Shanum aja!" Tama mengusulkan dengan semangat menggebu.

"Boleh, tapi lo masuk rumah sakit depannya dulu," balas Mitha dengan nada senggol-bacok.

"Mitha!" Rindang harus sedikit berteriak demi mendapatkan perhatian mereka. Dan bagi Rindang, itu hal yang cukup menguras tenaga. Untungnya, ia tidak perlu sampai memanggil dua kali. "Would you like to sing to all people down in the cafe?"

Ada beberapa tingkatan kelas di York yakni Regular, Silver, Gold, dan paling istimewa, Platinum. Dimulai dari Regular, kemudian siswa akan diberi ujian setiap tiga bulan untuk naik tingkat. Dan kelas yang sekarang Rindang pegang adalah Silver. Kelas ini tergolong sudah bagus, atau setidaknya Rindang tidak perlu menelan obat sakit kepala karena bahasa Inggris yang hanya mampu dipahami makhluk luar angkasa seperti pada kelas-kelas Regular.

Kelas hari ini dilaksanakan di lantai dua, tepatnya di ruangan Saltaire. Kadang, kelas juga digelar di kafe, jika Yorkish yang datang berjumlah sedikit. Namun jika banyak, jangan harap akan ada ketentraman. Hanya akan mengganggu pengunjung kafe lainnya.

Anak-anak berlarian turun lebih dulu ke kafe, sementara Rindang mengekor di belakang bersama Miss Oliv. Saat memperhatikan Mitha yang dengan serius menyanyikan lagu hits Shawn Mendes dan Camila Cabello, Senorita, berduet dengan Fahri yang sukarela ikut bernyanyi sambil menyawer, Rindang bergerak ke meja bar.

Tenggorokannya kering setelah mengajar selama ... lima belas menit. Ia meneliti dengan khusyuk menu yang terpampang saat teguran menyapa telinganya.

"Wanna order something?"

Rindang terkesiap. Terutama ketika tahu Juan telah berdiri di sisinya, menatapnya dengan mata setajam elang itu. Gosipnya, Juan ini bisa memotong-motong organ orang cukup dengan ketajaman tatapannya.

"I order this!" Refleks, jari Rindang menunjuk secara acak. Ia mengutuk diri melihat apa yang barusan ia pilih.

Juan menaikkan satu alis. "Americano?"

"Yes. Americano."

"It's bitter."

Ya, dan hidup saya sudah cukup pahit bahkan tanpa kopi. "Uhm... Can't you add more sugar into it?"

"It's americano. It's bitter. I'll make an oreo milkshake for you."

Di bawah tatapan Juan, Rindang mengangguk ragu. Kenapa ... ia seperti tidak punya pilihan?

"Sounds good," gumamnya pelan, akhirnya.

Sementara Miss Oliv telah melipir ke sudut, terlibat pembicaraan seru dengan salah satu Yorkish yakni Shanum, Rindang memutuskan untuk mengambil tempat di sudut yang kosong. Rindang mengeluarkan buku laporannya untuk melengkapi beberapa kalimat dari laporan observasi yang telah ditulis, hingga Miss Fany menghampiri.

"Since you haven't officially started working yet, you can go home early today. Please, give the report to me."

Pulang. Hari ini, Rindang belajar bahwa pulang adalah kata ajaib. Kata yang nyatanya telah ditunggu-tunggu sejak menginjakkan kaki di tempat kerja. Tidak memiliki pekerjaan selama nyaris tiga bulan dan menghabiskan waktu dengan rebahan sambil mengajak bicara kedua kaktus peliharaannya, sepertinya berkontribusi besar memupuk kadar kemalasan di diri Rindang.

Segera saja, gadis itu menjejalkan hasil laporan ke tangan Miss Fany dan berlari ke ruang loker. Rindang menarik tasnya dengan kuat hingga sesuatu ikut tertarik. Sesuatu terjatuh di belakangnya.

Benda itu berupa sebuah kotak segi empat kecil yang digantungi gembok kecil. Selama satu menit, Rindang menghabiskannya untuk mengamati benda itu. Punya siapa kira-kira? Kenapa ada di loker miliknya?

Rindang menyentuh gemboknya ketika pintu loker dibuka seseorang, mengejutkan Rindang. Dengan segera, Rindang memasukkan kotak itu dalam tas. Wajah Juan muncul di pintu. Jika ia merasa curiga dengan kegugupan Rindang, wajah datarnya tidak menunjukkan hal tersebut sama sekali.

"A--ada apa?" Rindang bertanya. Jika saja Oliv yang datang, ia pasti telah menyangka Rindang membunuh bos mereka, dan menyimpan potongan tangannya di dalam loker.

Ide yang kadang Rindang khayal-khayalkan.

Cowok itu tidak menjawab. Ia hanya berjalan masuk, menarik tangan Rindang, lalu menaruh oreo milkshake di sana. Dan tanpa berkata apapun lagi, Juan pergi begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro