10. Worst Memory

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hei baling-baling bambu!


Kenangan baik tentang Samudera? Tidak ada. Jika mendengar nama, yang sebenarnya terlalu indah untuk orang itu, Rindang hanya ingat kelakuan Samudera. Hal yang menyebabkan Rindang darah tinggi. Terbayang senyum menyebalkan, dan semua keburukan di dunia.

Rindang tidak ingat kapan semua bermula. Termasuk, kapan bertemu dan kenapa dirinya jadi objek rundungan pria itu. Demi Tuhan! Apa salah Rindang? Namun, Rindang paling ingat pagi itu. Kejadian yang membuat Rindang bersumpah. Sepelupa apapun dirinya, Rindang tidak akan pernah lupa Samudera. Tidak pernah!

"Kok bisa dia mendadak nggak hadir?!" Pak Rahmadi berdiri berkacak pinggang di depan anak-anak kelas IPA 1, kelas Rindang.

Seharusnya, ia berdiri di sana bersama Sashi dan yang lain karena minggu ini adalah tugas kelasnya untuk melaksanakan apel upacara bendera. Faisal sudah berdiri tegap di tengah lapangan sebagai pemimpin, anak-anak pengibar bendera sudah berbaris di pinggir, sementara pembawa acara dan petugas lain seperti pembaca doa, berbaris di depan, tepat di samping barisan guru.

Sashi berdiri di depan anak-anak paduan suara yang sedang mencoba membentuk barisan. Rindang seharusnya di sana. Ia mengambil tempat di belakang di samping Ursa karena tidak punya keahlian apa-apa. Seharusnya begitu.

Namun, hari ini ia terpaksa terlambat karena kakaknya. Si Rindam keparat itu sengaja berlama-lama di kamar mandi lantas mengambil jatuh waktu Rindang mandi. Jika ada predikat kakak durhaka, maka gelar itu patut tersemat pada Rindam.

Sekarang Rindang berdiri bersama baris anak-anak lain yang terlambat, yang masih akan dijemur di lapangan usai upacara selesai nanti.

"Nadine sakit perut, katanya, Pak. Diare karena kebanyakan ngemil nanas pake micin." Sashi terlihat putus asa menjelaskan. Sekarang Rindang mengerti mengapa upacara belum juga dilaksanakan. Nadine seharusnya di depan sana membacakan Undang-Undang Dasar 1945 nantinya. Namun, batang hidungnya tidak terlihat di manapun.

Pak Rahmadi mendengkus. "Kok, bisa dadakan begitu? Terus, siapa yang menggantikan?!"

Rindang memindahkan tumpuan pada satu kaki. Ia menormalkan napasnya tidak beraturan berkat berlari dari parkiran sampai sini seraya menunggu upacara dimulai. Ia tidak punya firasat buruk apapun. Namun tiba-tiba saja, neraka di sodorkan ke tangannya.

"Ini aja, Pak." Seseorang bersuara. Hal yang awalnya tidak mengejutkan, sampai Rindang menoleh dan menemukan dirinya yang sedang ditunjuk. Ya, dirinya menjadi objek tatapan Pak Rahmadi dan semua orang di lapangan. "Bukannya dia bagian dari kelas itu, ya?"

A-apa?!

"Tunggu!" Sashi buru-buru menyanggah, "Maksudnya, dia ... harus gantiin Nadine bacain Undang-Undang Dasar?"

"Anggap saja sebagai hukuman, Pak."

Tunggu! Tunggu! Saya? Menggantikan Nadine? Membacakan Undang-Undang?!

Rindang ingin menyanggah. Ingin sekali. Namun, di bawah tatapan Pak Rahmadi yang mengintimidasi, ia kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada yang bisa diucapkan.

"Siapa nama kamu?" tanya Pak Rahmadi, seperti menanyai penjahat.

"Rkhindang, Pak. Rkhindang Dawen Kaayat," gumamnya.

"Siapa?!"

"RKHINDANG, PAK!"

Beberapa kekehan terdengar. Rindang memerah. Sebelum mengikuti Pak Rahmadi, ia menyempatkan diri menoleh. Tatapannya menghujam pada cowok yang membawakannya segala bencana hari ini. Mengingat baik-baik senyum itu dalam otaknya. Melafalkan baik-baik namanya dalam hati.

Samuderkha.

Cowok itu berdiri di sana. Dia di depan semua orang seraya membacakan teks yang paling ingin ia hindari di seluruh dunia.

"Undang-Undang Dasarkh Negarkha Rkhepublik Indonesia. Tahun serkhibu sembilan rkhatus empat puluh lima..."

Dan ketika hampir seantero sekolah menahan tawa karena pengucapan itu, gadis itu kembali menatap cowok yang sama dengan tajam. Dalam hati Rindang berjanji tidak akan pernah melupakan Samudera, meski seumur hidup.

***

Oliv terkesiap di tempat duduknya. Sama seperti Rindang yang memelototkan mata. Atau setidaknya mencoba begitu. Di hadapannya, Samudera memasang tampang tak berdosa usai mengacak-acak rambutnya dan kalimat yang menggegerkan seisi kafe.

Sebentar. Sebentar! Rindang mengerjap-ngerjap. Apa-apaan ini?!

"Aku pergi dulu, ya. Kerja yang rajin, Rkhirkhin~"

Lalu ia berlalu. Begitu saja... seenak jidatnya! Sementara Rindang harus terpaku di tempat. Ia ditahan Oliv dan seluruh pasang mata yang tidak mau meninggalkannya.

"Lin, jadi lo pacaran sama Pak Bos?!" Dan seolah semua tatapan itu belum cukup, Oliv yang waktu kecilnya sempat tertelan toa Masjid Al-Mukkaramah mengumumkannya pada seluruh penjuru dunia.

"HAH?! E-enggak, lah! Nggak mungkin!"

Namun pembelaan tidak berguna. Oliv telah memeluknya penuh haru. "Ya ampun selamat, ya! Maafin gue yang udah bilang pengen kelelep di lengan cowok lo."

"Liv, gue nggak─"

"Ya ampun! Pantes ya, kemarin belanja berdua terus lama banget baliknya! Jangan-jangan lo kencan berdua?!"

"Tapi gue nggak─"

"Nggak nyangka gue! Mana gue udah ngomongin cowok lo pula. Duh, gue nggak maksud apa-apa ya, Lin!"

"Liv, gue─"

"Tapi emang, sih, gue pernah liat ototnya itu woo─"

Begini aja terus sampe bego. Bagaimanapun Rindang berusaha membuka mulut, selalu ketutupan oleh toa masjid Al-Mukarramah. Kemudian, Mbak Fany datang seraya mendiamkan Oliv hanya melalui tatapannya.

"English," ujarnya. Semudah itu.

***

The York masih sama seperti sore-sore biasanya--selalu ramai. Pengunjung didominasi anak-anak SMA dan mahasiswa baru yang mengambil paket bimbingan belajar bahasa Inggris pada kelas sore dan petang. Namun, kadang ada juga pengunjung yang hanya datang untuk minum, atau menjajal kemampuan berkomunikasi bahasa asing mereka. Atau hanya penasaran.

Dan sama seperti sore biasanya, kedua tangan Juan nyaris tidak bisa berhenti mengolah pesanan minuman. Emil yang jabatannya multifungsi harus turun tangan.

"He, lo udah denger soal pacarnya Samudera Oppa?"

"Siapa? Bang Dana?"

"Homo emang otak lo! Cewek, lah. Katanya kerja di sini."

"Miss Lilin, katanya!"

"Hah? Masa, sih? Calon masa depan gue direbut cewek kayak gitu?!"

"Terus, di mana Miss Lilinnya?"

"Nah itu, dari tadi kita semua juga nyari."

Juan meletakkan iced vanilla latte dengan topping krim dan bubuk cokelat di atas meja dengan cukup keras. Tapi, ia tidak segera beranjak pergi dari sekumpulan anak-anak SMA itu. Ia mencondongkan tubuh sedikit, membuka mulut, kemudian mulai bicara, "Y'all don't have a class?"

Orang bicara seharusnya biasa saja. Semua orang bicara dengan cara masing-masing bahkan sejak bayi. Tapi ini Mr. Juan, yang terkenal lebih dingin dari es batu. Yang, mungkin, kalau seluruh es di dunia mencair ,lalu umat manusia kepanasan, Juan hanya perlu mencelupkan jarinya ke dalam air danau untuk membekukannya lagi. Jadi tidak heran, setiap mulut di meja itu terpana.

"No-no, Sir." Seseorang memberanikan diri menjawab, "Our class just finished."

"Then go home."

Mereka diusir. Dengan telak. Tapi bahkan, tidak ada waktu untuk tersinggung. Sebab, sekali lagi, Mr. Juan yang bicara. Apapun yang diucapkan ialah anugerah. Maka ketika Juan berbalik santai, dan agak ketus, sih, menyuruh mereka pulang, cewek-cewek itu justru cekikikan sendiri.

Cowok itu meletakkan baki kayu kosong di atas meja bar, melepaskan celemek, lalu berjongkok menghadap bagian bawah dalam bar yang tidak akan terlihat dari luar.

"Mereka pulang. Kamu bisa berhenti ngumpet di sini," Juan menegur.

Iris gelapnya yang dingin menatap lurus-lurus sepasang mata yang terkejut melihatnya. Rindang pikir ... cowok itu tidak menyadarinya semenjak tadi, semenjak ia dikejar-kejar rentetan pertanyaan dan memutuskan untuk sembunyi saat semua orang lengah.

"Oh? O-oke..."

Tapi, tidak ada yang terjadi. Mereka sama-sama masih berjongkok di sana. Dalam pencahayaan yang tidak cukup banyak. Dalam satu rongga senyap di antara kebisingan.

"Minggir? Tolong," Rindang mencicit akhirnya. Gadis itu seolah takut Juan akan menempelengnya dengan baki minuman kapan saja ia mau. Tatapan tajam Juan seolah memberitahu begitu.

Lagi, Juan masih berjongkok di sana. Tidak berpindah kemana-mana.

"Kamu," Tatapan tajamnya mengunci Rindang, "mirip seseorang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro