11. Harta Karun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Fumikomu ze akuseru
Kakehiki wa nai sa sou dayo
Yoru wo nukeru
Nejikomu sa saigo ni
Sashihiki zero sa sou dayo
Hibi wo kezuru

[Naruto Opening - Haruka Kanata]


"Alright! Let's close our meeting today with a big clap for yourself!"

Dengan senyum lima jari dan tangan di udara, Rindang bertepuk tangan keras-keras, hingga semua Yorkish di ruangan itu menyambut. Gegap gempita selama satu menit, dari sepuluh murid yang rasanya kayak seratus orang. Ketika tepukan itu reda, ia mengepak buku-buku dan peralatan ajarnya. Dengan badan tegap, sekali lagi Rindang menatap mereka. "See ya and have a nice day!" Ia melambai bersemangat.

Sayang, semangat dan senyum itu luruh, kala Rindang melewati pintu keluar. Meninggalkan anak-anak bimbingannya, topeng ceria yang dipakai Rindang segera dilepas. Ia berjalan menuruni anak tangga kafe dengan langkah lunglai. Embusan napas terdengar cepat.

Seperti habis bertemu Dementor, seluruh energi dan kebahagiaan Rindang terhisap dan menguap. Ia butuh udara segar! Dan mungkin segelas besar oreo milkshake.

"Lin! Join us here!" Suara cempreng Oliv membuatnya nyaris terjungkal di tangga karena kaget. Gadis berhijab itu seperti memiliki senyum permanen yang disulam di bibir. Ia pun melambai dengan sesuatu yang terlihat menggiurkan di tangan. "Want some?"

Memaksakan bibirnya yang sudah pegal untuk tersenyum, Rindang harus mati-matian meneguk ludah. Ia berusaha untuk tidak lama-lama menatap martabak keju di hadapan Oliv. Martabak keju! Perutnya dan seluruh warga di dalamnya meronta-ronta ingin Rindang pergi ke sana demi sesuap martabak tebal berlapis keju mozarella itu! Namun, seluruh bagian tubuhnya yang lain mengatakan sebaliknya.

"Ah, no, thanks," jawabnya. Mendadak, warga perut berunjuk rasa.

Gadis itu punya prioritas lain sekarang. Sebelum mengambil langkah panjang, Oliv kembali menegur, "Where are you going?"

"Kitchen?" Sebenarnya ruang loker, tapi rencananya ia juga membutuhkan air minum. Atau kalau ada jus kotak di kulkas, boleh lah ia memungutnya, daripada mubazir.

"Tapi kan di sana─" Ucapan Yuni terpotong oleh bekapan Oliv di mulut. Sempat, Rindang membelalakkan mata. Lipstik mahal Mbak Yuni yang sering ia tawar-tawarkan itu pada semua orang termasuk Bang Dana, sekarang belepotan dibekap tangan bekas martabak kejunya Oliv.

"Sudah, ke sana saja, Lin. Gue paham, kok!"

Aneh, pikir Rindang. Ia memperhatikan senyum janggal cewek itu, dan Mbak Yuni yang masih meronta-ronta. Namun ia malas bertanya. Bertanya membuatnya harus bicara, sementara bicara mengeluarkan tenaga ekstra. Dan setelah lebih dari dua jam bicara nonstop keras-keras di depan kelas, Rindang kehabisan energi untuk bicara beberapa jam kedepan.

Dengan sisa tenaga yang dikumpulkan di kaki, Rindang berjalan ke dapur. Ia berniat mengambil charger di loker, mengingat daya baterai ponselnya mendekati sakaratul maut.

Sesaat membuka aplikasi obrolan, satu pesan masuk. Mbak Fany.

Lin, you're in the kitchen, right? I wanna ask a favor.

Terlambat untuk pura-pura tidak tahu. Ia terlanjur membukanya. Lilin mengetik, mencoba menyangkal. Enggak, saya di kel

Ting! Satu pesan kembali masuk dari orang yang sama, memotongnya.

Can you bring all the HVS papers in the locker room? I left it there. And one more, the ink on top of the cupboard.

Maaf, Miss, saya lagi

Saya tunggu sekarang di Leeds. Cepat, ya.

Thanks.

Allahu kenapa, sih, semua orang seperti memiliki hobi menindasnya?!

Ogah-ogahan, Rindang menyimpan kembali ponselnya di saku skinny jeans hitamnya yang tertutupi sweater dress warna beige longgar. Tangannya kembali meraih kenop pintu. Ia bersiap menariknya, ketika pintu itu ditarik ke arah yang berbeda.

Di depan Rindang, nampak pemandangan yang membuat bola mata Rindang melebar. Seakan akan melompat jatuh dari kantongnya. Rindang memekik sepersekian detik. Ia cepat-cepat menutup wajah dengan kedua tangan.

Kalau boleh jujur, Rindang pernah khilaf membawa manga dengan tokoh tidak memakai baju. Kadang di TV juga lihat. Tapi, melihat versi nyata dari jarak terlalu dekat? Rindang butuh tetes mata air zam-zam sekarang!

"Kamu abis ngintip, ya?" Samudera menarik tangan Rindang dari wajahnya, seolah memaksa cewek itu untuk kembali menatap ... dada telanjangnya.

Astagfirullah. Astagfirullah.

"Nggak! Enak aja!"

"Ngintip aja, nggak papa. Jadwal saya olahraga di sini tiap Selasa dan Sabtu."

Ndasmu!

Rasanya, Rindang ingin menyundul Samudera sampai pingsan. Namun menatap ke depan, yang ada hanyalah dada penuh keringat sejauh mata memandang, dan ... pentil. Astagfirullah. Kenapa ia hanya bisa bertumbuh setinggi dada, sih? Kalau menyundul dada rasanya, jadi ... ambigu. Dan mungkin agak asin karena keringat. Apa rasanya mirip keju yang tadi dimakan Oliv?

Fokus, Lin!

"Bapak kenapa olahraga di dalam sini? Nggak punya uang buat gym, apa?!"

Saat Rindang meninggikan suaranya demikian, sampai sedikit parau karena kebanyakan dipakai, Samudera bergerak masuk kembali ke dalam. Lelaki itu mengelap keringat di badannya dan meraih kaus tanpa lengan dari satu loker. Rindang bisa bernapas lega.

"Saya nggak tahan sama macetnya. Buang-buang waktu. Kamu sendiri lagi apa?"

Rindang memilih untuk tidak menanggapi. Ia tidak berteman dengan Samud, tidak pernah, tidak akan, jadi ia tidak punya kewajiban untuk bertukar obrolan dengannya. Mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan, ia akhirnya menemukan apa yang dicari. Pak-pak kertas HVS bertumpuk di dekat loker. Setidaknya lima tumpukan di sana.

Kenapa tadi Miss Fany tidak bilang ia harus membawa sebanyak ini? Berapa kilo, beratnya? Kira-kira, ada jaminan, tidak? Setelah ia menyerahkannya di lantai dua, lengannya tidak akan putus?

"Butuh bantuan?"

Di tengah perjuangannya, meraup semua pak di kedua lengan, tawaran Samudera seperti segelas air di tengah-tengah gurun sahara; tentu saja tidak akan ia minum, lebih baik mati kering, daripada mati keracunan karena air Samudera.

"Nggak usah!"

Satu pak. Dua pak. Lengan gadis itu mulai menangis. Ia jelas perlu bantuan.

"Yakin nggak mau dibantu?" Samudera kembali menawarkan. Kali ini sambil berjongkok di sisi Rindang.

"Nggak usah."

Bantuin, kumohon.

Ketika Samudera pada akhirnya meletakkan botol air mineral dingin di tangannya ke sisi dan meraih pak-pak itu, mata Rindang berbinar-binar. Dengan sukarela, ia menarik tangannya tanpa diminta. Namun, belum satu pak yang diangkat, cowok itu mengembalikannya ke tumpukan.

"Ah, tapi saya kan cowok lemah gemulai, ya. Nggak kuat. Lagian nanti kuku saya yang cantik jadi patah."

Anjir!

"Kamu ... bisa bawa semuanya sendiri, kan?" godanya.

Ingin rasanya Rindang melempar semua pak buku ini ke mukanya. Alih-alih, ia meletakkan kedua pak di tangannya dengan kasar kembali ke tempat semula. Ia melupakan tinta! Harus mengambil tinta lebih dulu. Dan berhubung sedang emosi berat, tenggorokannya menjelma menjadi gurun sahara sekarang. Rindang memutuskan untuk air mineral bersegel milik Samud tanpa izin, lalu berdiri.

Kesalahan fatal, sebenarnya. Dia lupa satu hal; sehaus apapun itu, seharusnya ia hanya setiap pada teh kotak atau minuman gelas. Membuka botol plastik bersegel adalah satu hal yang sejak jaman purba tidak mampu ia kuasai.

Rindang melirik sekitar. Ia ingat ada pisau kecil di samping kompor di dapur. Ia mempertimbangkan apakah harus ke sana dan membuka segelnya satu persatu dulu dengan pisau? Samudera akan tertawa, tentu saja, dan ia tidak bisa membiarkan cowok itu menang lagi. Kali ini, ia harus bisa membuka tutup botol!

Rindang menarik napas dalam-dalam. Kumpulkan tenaga di tangan, lalu putar. Hyaaa.

Masih belum terbuka. Rindang melakukan nyaris berbagai cara, memakai segenap kekuatan, melapisi tangan dengan baju, mengapitnya di antara kedua kaki, sambil menggunakan gigi. Botol itu tetap saja keras kepala, tidak mau terbuka.

Samar-samar, ia mendengar kekehan di belakangnya. Samudera meraih botol itu dan membukanya dengan sekali putar. Terlihat tanpa usaha.

"Padahal cuma perlu bilang 'tolong', loh," sindirnya saat Rindang merebut botol itu dan meneguknya banyak-banyak.

Rasanya malu, marah, dipermainkan oleh orang yang paling ia benci di dunia.

"Mau minta tolong bawain barangnya juga?"

Rindang mengangguk kalah. Tatapannya tidak mengarah pada Samudera.

"Bilang apa?"

"Tolong." Singkat. Padat. Sekilas.

"Nggak denger. Apa?"

"Tolong."

"Minta tolong ke siapa? Harus lengkap. Tolong, ya, Samudera?"

Setelah ini, Rindang mau pulang kampung, mengambil mandau sakti kakek moyangnya, lalu mengirimkannya saat Samudera sedang tidur. "Tolong, ya, Samuderkha."

"Iya, Rkhirkhin~" balas Samudera girang seraya mengacak-acak rambut Rindang.

Tunggu mandaunya, Samuderkha!

Cowok itu mengambil botol minum Rindang, kemudian tanpa sungkan meminumnya, dan mengembalikannya tanpa rasa bersalah. Ia mengancang-ancangkan lengannya dulu, sampai akhirnya mengambil buku. Seolah sengaja menarik perhatian Rindang pada lengannya yang ... oke, sebenarnya sama sekali tidak terlihat gemulai.

Ada lekukan-lekukan otot yang tidak bisa diabaikan. Mengkilap dilapisi keringat.

"Ini aja?" Dengan enteng, ia mengangkut semua buku di satu lengan.

"Tinta juga."

Rindang berjalan ke arah lemari. Sengaja berjingkat untuk meraih kotak tinta yang diletakkan di atas, terlalu tinggi. Ia melompat-lompat kecil, memanjangkan tangan sampai ujung jari untuk meraihnya. Ketika mempertimbangkan untuk menarik bangku dari dapur dan berbalik untuk melakukannya, untuk kali kedua, gadis itu nyaris menabrak dada Samudera.

Familier. Seperti pernah lihat entah di drama mana.

Samudera menjangkau tinta itu tanpa banyak usaha. Dan selama lengannya yang bebas terangkat di udara, perhatian Rindang terfokus pada satu hal.

Samudera habis olahraga. Berkeringat. Dan dia punya ... bulu ketek. Akhirnya ia paham kesimpulannya. Semua rentet kejadian aneh dari tadi.

Samudera ... ingin membuatnya keracunan bau ketek.

***

Lepas slipper dan ... Rindang melempar dirinya ke kasur.

Lemah, letih, lesu, semua menjadi satu. Ia menutup wajah dengan bantal, sementara ponsel masih tertempel di telinga, masih berdengung-dengung oleh suara ibunya.

"Pea ikau hendak bulik, Rin? (Kapan kamu mau pulang?) Mina Tata (Tante Tata) sekeluarga mau ke sini juga tilu atau epa minggu lagi, ikau (kamu) ditawari ikut. Umai (Ibu) baru saja dapat lamaran dari adiknya Pak Lurah. Orangnya mapan, udah pergi haji."

Sebentar. Sudah pergi haji?

"Haji?"

"Iya, sedikit lebih tua dari ikau, sih. Tahun ini baru ... empat puluh tahun."

Bunuh aja gue!

"Bulik, ya. Kenalan."

"Umai, pakai pulsa Kak Idam? Nanti dia ngomel, lho pulsanya habis. Udah, ya. Rkhirkhin juga udah ngantuk, mau tidur."

"Tapi ikau nanti pulang, ya? Janji, ya?"

"Geh... Insya Allah."

Lalu gadis itu menutupnya sebelum ibunya berhasil membuka mulut lagi. Bukannya Rindang ingin durhaka. Tapi ibunya selalu menelepon dengan maksud dan tujuan yang sama. Kapan pulang? Kapan bawa calon mantu?

Dan khusus hari ini, kabarnya lebih parah dari itu.

Dulu, konflik paling berat dalam hidup Rindang adalah kegalauan apakah Naruto berhasil membujuk Sasuke kembali ke Desa Konoha atau tidak. Atau perkara kaus kaki beda sebelah. Atau lupa bawa tas ke sekolah. Dulu, ia ingin cepat lulus agar bisa bekerja dan dapat banyak uang.

Tidak ada yang memberitahunya bahwa bekerja dan menjadi orang dewasa adalah hal yang rumit. Menjadi dewasa artinya tidak hanya harus bekerja, tapi juga berkeluarga, membangun hidup baru yang berbeda dengan yang ia miliki dengan orangtua. Dan Rindang ... tidak tahu kapan ia bisa siap untuk hal itu.

Bergulingan di atas kasur, Rindang kemudian berhenti dalam posisi tengkurap. Ia menyangga dagu pada bantal, lalu menatap sepasang kaktus di meja nakas. Bahkan ia membeli Chacha dan Bibi berbarengan, berpasangan─kenapa ia tidak bersedia memiliki pasangan untuk diri sendiri? Jangan sampai Umai yang bertindak lalu pasangannya nanti Haji Mansur atau Haji Dulah. Atau ... Bue Adul.

"Cha," ujarnya. Ia tidak memanggil Ursa, melainkan kaktus di hadapannya. "Kita boleh tukeran, nggak? Kamu aja yang cari pacar, aku jadi kaktus, boleh?"

"Kok nggak nyahut?"

"Enak, ya, Cha, jadi kamu. Nggak perlu ngomong, dikasih air dikit aja bisa hidup."

Ada cukup banyak kejadian hari ini, membuat kepalanya berdenyut. Malam ini saja, contohnya. Ia menemukan Ursa sudah berhasil menggaet pacar, yang warna rambutnya sama nyentriknya pula. Tinggal menunggu waktu sampai Inang Ursula mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam dengan memotong tujuh ekor kerbau. Sashi juga punya progres dengan mantannya, Rafid, meski entah mengapa ia masih sebegitu kepo dengan Pak Ayas, papanya Aru. Bahkan Aru, yang baru lima tahun itu, kemarin bilang dia punya pacar di TK. Anak perempuan yang giginya ompong itu.

Sementara di sini, semua yang Rindang inginkan adalah makan martabak keju dan menonton anime.

Ponselnya yang sudah senyap kemudian berdentang lagi. Ada pesan masuk, sepertinya. Dan tidak mungkin ibunya yang menulis.

Kamu lupa bilang makasih deh tadi, kayaknya. Kalau gitu, ditunggu traktirannya.

Samudera.

Siapa sih yang menciptakan ponsel? Kenapa hari ini semua hal menyebalkan berawal dari ponsel?! Ia menutupnya tanpa membalas. Dan mempertimbangkan apakah memblok atasan rese bisa berpengaruh pada karirnya.

Ponselnya berdenting lagi. Kali ini, pemberitahuan baru dari Twitter. Utas ceritanya telah di-retweet lebih dari dua ribu kali sekarang, dan Rindang berniat melanjutkannya. Mungkin menambahkan Juan sebagai orang ketiga, mengingat sikap aneh cowok itu yakni mengatakan Rindang mirip seseorang, lalu pergi begitu saja. Kalau perlu sampai Samudera ceritanya mengandung anak Dana, mpreg alias male-pregnant alias cowok hamil, seperti Hyesung dalam manga Love Is An Illusion.

Bagus! Ide brilian tercetus di otaknya. Begitu bersemangatnya Rindang sampai-sampai ia berguling lagi di kasur, menyebabkan kakinya tanpa sengaja menendang Chacha jatuh dari tempatnya. Pot kecilnya bergulingan di atas lantai.

Setelah mengumpulkan energi selama sepuluh detik, Rindang bangkit, meringis begitu melihat ceceran tanah di lantai kamarnya. Kaktusnya menggelinding jauh ke kolong ranjang. Sambil ia menggapai-gapai, tangannya menyentuh sesuatu yang dingin.

Ia menariknya keluar.

Sebuah kotak. Kotak yang ia temukan di loker waktu itu, yang tidak dibuka sekian lama sampai-sampai Rindang melupakan keberadaannya. Kali ini, ia membukanya.

Dan di dalamnya adalah ... harta karun! Bukan, bukan. Bukan harta karun, melainkan─tangannya menyentuh isi kotak, mengeluarkannya─tumpukan surat?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro