12. Pada Bulan, Dengan Malu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayo berani jangan berhenti, kita raih mimpi
Semua tantangan menjadi ringan karena persahabatan
Hebatnya persahabatan

Seperti sekarang, hujan turun deras malam itu. Sembilan tahun lalu.

Semuanya berkumpul di ruang tengah. Mereka habis belajar kelompok di rumah Ursa, hingga hujan datang dan memaksa mereka tinggal lebih lama.

"Yah, hujannya langsung deras gini. Gimana kita pulangnya, dong?" Sashi melemparkan kedua tangan di sisi tubuh.

Krik. Krik. Tidak ada sahutan. Ursa sibuk memilih posisi duduk yang nyaman di sofa. Sementara, Rindang sibuk memilih biskuit cokelat di satu kaleng di atas meja. Disodorkan Inang menyambut kedatangan mereka.

"Woy! Gue, tuh, ngomong sama kalian, bukan sama titisan petir!" Sashi mengomel sembari meletakkan Blackberry Gemini-nya di atas karpet. Ia baru selesai bertelepon ria dengan sang pacar, Rafid. Ia memberi laporan tentang keberadaannya saat ini, bersama siapa, apa yang dilakukan. Biasa, mungkin Rafid cita-citanya jadi Pak RT. Jadi wajib lapor 24 kali 24 jam berlaku dalam hubungan mereka. "Gue nanya nggak ada yang jawab. Kita mau pulang gimana?! Ini udah malam!"

"Nginep aja."

Itu bukan Ursa. Gadis itu sedang duduk tenang di atas sofa sambil pura-pura jadi patung sementara teman-temannya menempati karpet di lantai dalam pola acak.

Rindang lah yang memberikan ide. Matanya berbinar antusias seolah ia telah merencanakan ini sejak lama. "Lagian besok Sabtu," tambahnya seolah mempertegas omongan sebelumnya.

"Betah ya, lo?"

Sashi sudah bangkit terduduk, dari posisinya yang berbaring tengkurap dengan dagu disangga siku beralas bantal sofa. Ia merebut kaleng biskuit dari tangan Rindang. Ia tahu pasti alasan anak itu betah berlama-lama di rumah Ursa. Kue sebanyak itu. Lebaran di rumah keduanya pun tidak akan bisa menyaingi. Ia pun tampak mempertimbangkan.

"Tapi kita, kan, belum izin. Pulsa gue abis juga mau SMS. Adanya paket BBM doang dan emak gue pakenya Nokia. Kalo nggak izin, ntar bisa keselek senapan bapak gue."

Kemudian ia menatap Rindang. Sosok itu merasa risih ditatap demikian, lantas mengangkat wajah yang nyaris tenggelam dalam sebuah kaleng besar oreo. Kenapa sih dia? Hilang satu tumbuh seribu? Baru Sashi merebut kaleng biskuit, dia sudah mengambil yang baru.

"Hah?" tanyanya, menatap Sashi kebingungan. Perlu satu menit penuh baginya untuk memproses antara pertanyaan yang diajukan dan pikirannya sendiri yang masih galau untuk memilih oreo yang mana.

"O-oh. Gue paket BBM aja nggak diisi. Ada orang yang rajin ping ping nggak jelas. Jadi males."

"Ya lo blokir aja, kok repot," komentar Ursa. Gadis itu mengulurkan tangan untuk mematikan televisi yang dari tadi menyala tanpa dilihat.

Gadis itu tersenyum penuh terima kasih. "Bener juga, ya. Hehe."

Sashi mendengkus. "Eh, sumpah! Lo bukan tas aja ya yang suka ketinggalan ya, Lin. Otak jangan lupa bawa."

"Apa, sih," Rindang (berusaha) melotot, lalu mengulurkan tangan untuk mengambil biskuit dari kaleng jarahannya di tangan Sashi. Ia menatap gadis itu, yang sekarang berguling untuk berbaring di atas perutnya dan Ursa, yang menatap mereka semua dari atas sofa, seperti seorang ratu pada rakyat jelatanya. "Eh, udah ngerjain PR, belum? Buat hari Senin?"

"PR Bahasa Indonesia itu, bukan?" Sashi segera terduduk kembali. "Yang disuruh bikin puisi."

"Hm. Gue belum," jawab Rindang.

"Gue juga belum," Sashi membeo.

Tapi tiba-tiba saja, Ursa menawarkan, "Mau nyontek punya gue?"

Mungkin, jika keajaiban dunia ada delapan, momen kali ini akan menjadi yang kedelapan itu. Sashi dan Rindang segera berbaris di dekat lutut Ursa, meminta belas kasih contekan. Mereka sabar menunggu dengan binar-binar di mata ketika Ursa menggeledah tas sekolahnya, lalu memberikan buku tulis dengan kertas tebal dan bersih pada Sashi. Sementara Rindang sudah siap menggeledah tas untuk mengambil pulpen dan buku tulis setipis kulit bawang. Berbeda sekali dengan buku Ursa.

Ursa memang terlalu SiDu untuk mereka yang Mirage.

Namun, beberapa detik setelah membuka buku Ursa, membolak-baliknya, bahkan menerawangnya, Sashi tidak menemukan apa-apa. Buku dengan judul Bahasa Indonesia pada bagian sampul itu kosong melompong.

"Kok, kosong, Cha? Apa yang bisa dicontek?"

Ursa tersenyum sembari menjentikkan jarinya. "Tepat!"

"Eeehhh! Sialan!!!"

Satu jam berikutnya, hujan itu telah berhenti sepenuhnya. Pesta piyama resmi diadakan. Tentu saja dengan meminjam isi lemari empunya rumah. Sashi, Rindang, termasuk Ursa berdempetan di atas kasur lantai besar yang digelar di sisi tempat tidur Ursa dengan selimut tebal di kaki mereka. Ia mengabaikan kasur empuk yang sekarang kosong.

"Eh, Lin? Lin, woy! Lilin Kundang!"

Rindang mengerjap-ngerjap. Ia menyadari Sashi memanggilnya sejak tadi sambil mengguncang-guncang bahu. Hanya saja ia terlambat untuk memproses respon.

"Dah kelar PR lo?" Cewek dengan rambut sebahu dan sedikit bergelombang yang sekarang digulung di atas kepala itu bertanya.

"Belum. Puisi tentang kaleng Khong Guan boleh nggak, ya?"

"Sumpah lo! Dah ah, buruan kerjain. Mumpung ngumpul bareng, nih, enaknya tuh kita curhat-curhatan kek, atau cerita-cerita horor apa gitu. Nih gue ada cerita─"

Berdengung. Rindang menutup sebentuk bulan sabit di sampul belakang bukunya kemudian merebahkan diri di sisi Sashi. PR-nya ... nanti saja, kalau ingat.

***

Malam ini, hujan turun lagi. Rindang yang kebagian jadwal kelas terakhir hanya bisa melipat lengan di atas meja sambil matanya menatap kosong pada hujan di luar. Ia melewati pintu kaca kafe yang sedikit berembun terkena tempias hujan ribut di luar. Menatap miris ponselnya yang kehabisan daya, benar-benar saat yang tepat.

Curah hujan di luar sana seperti tawuran antar STM─saling meninju dan saling beradu dalam kekacauan. Lima menit berdiri di luar dan bisa dipastikan ia akan basah kuyup sampai dalaman. Badai ini seolah mengurungnya di sini. Miss Yuni, Miss Indah, Emil, Saufi serta Bang Dana sudah pulang sejak sore, ketika hujan masih rintik-rintik dan belum sederas sekarang. Sementara Oliv dan Anan memutuskan untuk menerobos hujan saja sejak setengah jam yang lalu. Mereka tahu hujan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Tersisa Rindang di sini, sendirian. Kecuali jika bongkahan bernama Juan yang tidak lebih reaktif dari bar stool di depannya bisa dihitung.

Cowok itu sudah berhenti mengelap gelas-gelas hingga kinclong. Sekarang ia berdiri di depan coffee maker. Desing mesin penggiling kopi bersaing dengan riuh hujan di luar dan samar, Rindang dapat mencium aroma kopi yang khas. Enak. Hangat.

Aroma yang mengingatkannya pada rumah. Pada apartemen. Jam segini, mungkin Ursa sedang menyeduh kopinya juga, lalu menetap di dekat jendela dengan wajah disendukan. Oke, atau mungkin itu Rindang ketika hujan sedang turun. Bedanya, yang diseduh biasanya bukan kopi tapi segelas milo.

Kemudian, karena ponsel yang mati, ia tidak punya pilihan lain selain mengingat kejadian di otaknya. Ia mencoba memanggil kembali memori tentang rasa dan aroma milo hangat, ditemani fanfiksi romantis tentang HaYoon. Tidak jarang juga, ide tentang cerita Pinwheel akan mengalir deras. Cerita dua cowok yang berbeda tinggi dan sifat, irisan apel di piring dan ... bicara soal apel, kenapa yang muncul di otaknya adalah wajah menyebalkan Samudera?

Apa belum cukup ia mengganggu Rindang sampai-sampai sekarang pun harus muncul juga?!

Hari ini ia tidak menemukan Samudera. Bukannya ia sengaja mencari, hanya ... sedikit heran. Ia terbiasa menemukan satu hari tenang tanpa cowok itu dan hidung jambunya. Sesuatu yang bagus, kalau begitu. Squidward Tentacle akhirnya terbebas dari Spongebob Squarepants, hurray!

"Eh, lo pada mau liat foto gebetan gue, nggak?"

Ingatan Rindang melayang pada pembicaraan yang ia tangkap sore tadi. Rindang duduk tenang di salah satu sofa yang saling membelakangi, mendadak telinganya bergerak naik. Ia tahu pertanyaan itu tidak ditujukan untuknya, namun ia mengenali suara Alma di belakang, kemudian gumaman Shanum dan Fara. Satu paket berisi tiga murid SMA di kelas Silver.

"Yang mana lagi, sih?" Shanum menyahut sambil mengunyah kentang goreng. "Yang ojol itu?"

"Atau yang Kang Parkir Indomaret kemarin?" Fara menambahkan, lalu ia dan Shanum cekikikan.

"Enak aja! Yang ini ganteeeng, pake banget."

Di belakang mereka, Rindang menahan diri untuk tidak menolehkan kepala. Ia penasaran dengan ekspresi wajah keduanya saat ini mendengar penuturan Alma yang begitu menggebu-gebu. Berani bertaruh, pasti ada bintang-bintang tercetak di matanya sekarang.

"Yang mana? Sini liat."

"Tapi inget ini gebetan gue, ya. Lo pada jangan ikutan naksir!"

Mungkin Shanum tengah memutar bola mata dan Fara tengah menggeleng-gelengkan kepala seraya membenarkan kacamatanya. Sesaat, terdengar gerasak-gerusuk sepatu yang digeser, tubuh yang didekatkan, lalu kesiap kaget secara serentak.

"Ini, kan, Mr. Juan!" Fara menegaskan. Seolah mengumpani rasa penasaran Rindang sebagai tukang menguping.

"Ya, emang."

Dari sudut mata, Rindang dapat melihat mereka beramai-ramai menengokkan kepala ke arah bar. Juan sedang sibuk membuat minuman dalam diam.

"Ih, dia itu bukannya sudah dua puluh enam, ya?" Fara berbisik-bisik. "Ketuaan, dong! Elo aja baru enam belas, Al!"

"Ya, nggak papa. Cinta nggak mengenal umur, beb."

"Cinta lobang idung lo nambah!"

"Lo berdua, ya. Nggak bisa liat temen bahagia, apa? Gue, tuh, udah bahagia tau bisa memandangi wajah gantengnya Mr. Juan dari jauh kayak gini aja. Dukung gue, dong!"

Oke. Cukup. Mereka sudah terlalu berisik, and please, this is English zone! Coba saja Miss Fany tidak cuti sakit hari ini, pasti mereka sudah dipelintir ginjalnya. Rindang bangkit. Sebagai salah seorang Yorkers, sudah menjadi tugasnya untuk menegur dan membimbing anak-anak ini─

"Lo seperempat ceweknya aja nggak bisa deh, Al."

Dan bomnya meledak. Pernyataan santai dari Shanum itu membuat Alma dan Fara serentak meneriakkan; 'APA?!' seperti di sinetron-sinetron. Rindang terpaku di tempatnya. Bokongnya telah terangkat sedikit ke udara meski belum berdiri sempurna.

"Dia punya cewek?"

"Gue pernah liat dulu."

"Mr. Juan yang kalo ngomong pake es batu itu? Punya cewek? Yah... emang ganteng, sih. Wajar. Tapi patah hati dong gue."

Juan ... apa?

Dan mungkin, Rindang tidak sadar berapa menit yang ia habiskan dalam lamunannya yang kemana-mana. Mendadak segelas kopi telah mendarat di hadapannya.

Rindang seketika mendongak. Ia menatap Juan segan. Apakah ini kopi untuknya? Atau cowok itu hanya kebetulan ingin minum dua gelas kopi dan kebetulan menaruhnya agak terlalu dekat ke hadapan Rindang? Namun setelah beberapa menit Juan menempati sofa kosong di hadapannya. Rindang mulai khawatir kopi itu dingin tanpa tersentuh, ia memberanikan diri bertanya, dengan risiko dibentak dan dikemplang, tentunya.

"Ini ... buat saya?"

Juan yang sedang sibuk mengutak-atik ponsel sekarang menyimpan benda itu di bawah meja dan memberi tatap penuh pada Rindang. Tanpa bicara selama setidaknya tiga puluh detik pertama. Aduh, tau gini mending nggak usah ditegur, bikin ketar-ketir aja.

"Menurut kamu?"

"Siapa tahu buat ... sesajen, gitu?" Ia buru-buru menambahkan kekehan kikuk ketika tidak ada respon dari cowok itu. "Saya nggak minum kopi, omong-omong, takut ngantuk."

"Hah?"

"Saya kalau minum kopi suka ngantuk," ujarnya, kemudian lagi-lagi menutupnya dengan satu senyum canggung. Juan masih menatapnya tanpa ekspresi.

"Ya udah, kalau nggak mau."

Juan nyaris menarik cangkir kopinya, namun Rindang buru-buru menarik tangan cowok itu. Hanya sesaat. Ia buru-buru melepasnya. Seaneh itu, rasanya, menggenggam tangan cowok.

"Kamu mau buang?"

"Ya, saya nggak bisa minum dua gelas, bisa-bisa nggak tidur sama sekali malam ini."

"Mubazir. Saya minum aja. Gratis, kan? Kalau bayar nggak jadi."

Tebak hari ini apa yang ia lupa bawa? Dompet. Dan setelah sore ini bersabar hanya dengan minum air putih sampai perutnya kembung, tawaran kopi kental terlalu sayang untuk dilewatkan.

Buru-buru ia meraih kopinya, lalu menjulurkan lidah satu detik setelahnya. "Hanhas," gumamnya sambil mengipasi mulut.

Juan terkekeh. Rindang terpana. Rasa panas untuk sementara menyingkir, sebab untuk pertama kalinya, ia melihat gembok di bibir Juan pecah.

"Nggak pulang? Sekarang sudah larut."

"Masih banyak petirnya. Saya nggak mau mati gosong. Kamu sendiri?"

Juan mengangkat bahu.

Satu menit. Dua menit. Rindang menunggu, namun jawaban itu tidak pernah datang. Mungkin, sampai pagi pun tidak akan ada. Juan kembali sibuk dengan ponselnya dan Rindang, tidak punya pilihan lain selain meneliti sisa ukiran daun yang belum hancur pada mug lattenya.

Seperti daun ... maple?

Cantik. Jadi sayang meminumnya.

"Kamu beneran pacaran sama Samudera?"

Seharusnya Rindang tidak tersedak. Ia tidak sedang minum sekarang, hanya memegangi gelasnya. Tapi tetap saja, ia tersedak mendengar pernyataan itu.

"A-Apa?"

"You heard me."

Alis pria itu sedikit naik. Tatapannya berekspektasi. Sebelum Rindang menjawab, fokus perhatiannya teralih pada ponsel yang baru Juan letakkan di atas meja. Layarnya menyala. Foto seorang gadis di wallpaper-nya. Senyum yang cantik.

Menyadari arah tatap Rindang, Juan buka suara.

"Namanya Lily."

"Hah?"

"Dia orang yang saya bilang mirip sama kamu."

***

Tidak banyak lanjutan obrolan mereka. Hujan reda lebih cepat dari yang diduga. Ketika sibuk membungkus diri dengan jas hujan plastik dengan motif polkadot kuning, Juan muncul di sisinya dengan motor sport dan jaket kulit. Persis seperti yang Rindang lihat di lampu merah waktu itu.

Rindang mendadak merasa terintimidasi dengan kehadirannya. Tatapannya juga.

"Kamu ... mau pinjam jas hujan?" tanyanya hati-hati. Rindang membayangkan Juan dalam jas hujan polkadot kuning cerah.

"Buruan, saya antar pulang."

"Saya bawa motor, kok."

"Daerah sini katanya banyak begal."

Oke, ancamannya menakutkan.

Maka, Rindang tidak punya banyak pilihan. Walaupun dompetnya ketinggalan, tapi ponsel dan motornya kan lumayan. Belum lagi organ dalam, bisa dijual. Ia pulang masih dengan motornya, sedangkan Juan yang mengawal di belakang.

Sepanjang perjalanan, ia masih belum dapat menyingkirkan kata-kata Juan tadi. Cowok itu ... hanya menceritakan apa yang disampaikan. Tidak kurang, tidak lebih.

"Lily dan Lilin. Mirip, ya?"

"Karena itu ... kamu bilang kami mirip? Lily siapa?"

Hening lagi. Juan menutup pembicaraan sepihak. Seenaknya sekali memang.

Dalam kecepatan motor yang tergolong lambat, aspal yang basah dan tergenang di beberapa tempat, serta udara yang bersih, Rindang menghirup napas dalam-dalam. Langit masih gelap, namun satu-dua bintang kecil mulai muncul. Mereka gemerlapan di arah utara. Bulan mengintip samar nan malu-malu.

Dan Rindang kembali teringat surat yang ditemukan di malam sebelumnya.

Pada tumpukan yang paling bawah. Amplop telah menguning dan bernoda di ujungnya, Rindang menemukan selembar kertas dengan barisan puisi di dalamnya.

Sebuah puisi. Empat stanza.

Pada Bulan, dengan Malu.

Pada pendar bulan yang mengintip malu,
k

utitip rindu, dengan malu,
dengan detak yang menggebu, dengan malu.


Pada alas langit yang kelam,
k

utitip salam, dalam diam,
dalam hati yang tak henti-henti coba meredam, dalam diam.


Pada kerling bintang-bintang, pada hembus angin musim,
p

ada tipisnya awan, pada riak danau, pada semesta,
Kutitipkan hati, rindu dendam, rasa yang menggelepar ... cinta


Pada kamu.

Untuk kamu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro