18. Lily

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


You're my Honeybunch, Sugarplum
Pumpy-umpy-umpkin, You're my Sweetie Pie
You're my Cuppycake, Gumdrop
Snoogums-Boogums, You're the Apple of my Eye
And I love you so and I want you to know
That I'll always be right here
And I love to sing sweet songs to you
Because you are so dear

Taman Tabebuya kala senja terlihat seperti replika dongeng, nyaris magis. Setelah beberapa langkah menjejakkan kaki di sana, Rindang dapat melihatnya. Pohon tabebuya yang menjadi ikon taman tersebut sedang mekar-mekarnya di penghujung musim hujan seperti sekarang. Kelopak bunganya berwarna merah muda lembut mengisi setiap ujung ranting. Nampak berdesakan. Sebagian lain jatuh berhamburan ke tanah di sekitarnya. Sekilas, tampak seperti sakura.

Rindang mempercepat langkah. Tangannya terulur untuk menggapai kelopak tabebuya yang melayang di udara. Gadis itu menempatkannya jatuh di telapak tangan dan bukannya tanah. Ia mendongak dan sedikit menyipit karena matahari berada persis di sisi pohon. Bersiap-siap untuk tenggelam.

"Cantik," gumamnya. Rindang membuka telapak tangan dan menatap kelopak di sana.

"Sepertinya, nggak ada cewek yang nggak akan setuju."

Ucapan itu membuat Rindang menoleh dan tersadar alasan ia berada di sini. Juan, alasannya. Sudah cukup lama Rindang berangan-angan pergi ke taman ini. Namun meskipun masih berada di wilayah Jakarta Selatan, kemampuan navigasi Rindang yang kelewat payah dan rasa malas yang parah, membuatnya tidak pernah beranjak kemana-mana. Sampai Juan mengabulkan salah satu keinginan kecil tersebut.

Ah ya, Juan. Pertanyaannya; untuk apa Juan membawanya kemari?

"Katanya kamu mau bawa saya ke tempat Lily?"

Juan diam sesaat. Tangannya terulur untuk meraih satu kelopak merah muda yang jatuh dan tersangkut di antara helai rambut Rindang, membuat gadis itu sedikit beringsut mundur. "Bukan begitu, persisnya. Saya mau bawa kamu mengenal Lily."

"Ya sama aja, kan?"

"Beda."

Juan diam. Tidak ada tanda-tanda ia mau menjelaskan. Dan Rindang tidak sedang ingin berdebat. Rindang mengedarkan pandang. Ia berharap menemukan sosok gadis yang Juan maksud. Barangkali, mereka memiliki janji jumpa di sini?

Dan seperti membaca pertanyaan yang tak disuarakan Rindang, Juan kembali menyahut, "Dia nggak di sini. Tapi kamu bakal mengenalnya." Selanjutnya, Juan mengulurkan tangan. "Ikut saya."

Dalam skala persen, kemungkinan Rindang menyambut uluran tangan Juan hanya dua per seratus. Ketika ia akan jatuh dan berpegangan pada tangan Juan bisa menyelamatkan hidupnya, atau ketika ia sudah jatuh dan berpegangan pada Juan juga bisa menyelamatkan hidupnya. Tapi sekarang Rindang sedang dalam keadaan normal. Bersentuhan dengan orang lain yang ia tidak akrab akan membuatnya begitu risih. Jadi ia hanya mengangguk dan mulai melangkah di sisi cowok itu.

Juan berjalan memimpin, lalu melewati petak jalanan berpaving yang berkelok, bersisian dengan rimbunnya taman dan rumput teki yang dipotong rapi. Ketika jalanan mulai terbuka, mereka tiba di sebuah kolam memanjang dengan teratai yang mengambang di atasnya. Cowok itu berhenti pada sebuah pohon trembesi dengan pokok paling besar di sisi danau. Dengan penasaran, Rindang menjejakkan kaki di bawahnya, lalu menatap ke atas. Tidak ada rumah pohon atau apa di sana.

"Lily ini," Ia menoleh seraya menunggu, hingga Juan berjalan lebih dekat, "... bukan monyet atau kukang, kan?"

Siapa tahu tebakannya selama ini salah? Alih-alih wajah cantik, rambut panjang dan senyum elegan seperti yang selama ini Rindang bayangkan, Lily bisa saja berbulu. Tangannya lebih panjang dari kaki dan seorang penggemar militan buah pisang.

Juan terkekeh kecil. "Bukan. Ini tempat kenangan saya dan Lily."

Rindang mengangguk. Itu masuk akal sekarang. Apalagi, begitu ia melangkah mendekat, ia bisa melihat gurat samar pada batang pohon itu. Nama Lily pernah terukir di sana, meski mulai memudar oleh hujan dan pelapukan. Rindang menyentuhkan jemarinya di atas tulisan itu lantas merasakan tekstur kayu di bawah epidermis kulitnya.

"Dulu, Lily paling suka tempat ini. Dia suka mengumpulkan kelopak tabebuya atau berdiri di bawahnya, minta dihujani bunga. Dia suka berjalan duduk bermain ayunan di sebelah sana. Tapi, dia paling sering ke sini, duduk di bawah pohon ini sambil menatap danau."

Rindang mengangguk. Semua yang dilakukan Lily ... terdengar menarik baginya. Terdengar seperti hal yang juga ingin dilakukan olehnya. Matanya mengekor pada Juan. Cowok itu duduk di atas rerumputan. Rindang mengikuti, kemudian dengan jelas-jelas menatap samping wajah cowok itu.

"Kamu sering ke sini? Sama Lily?"

Perlu setidaknya sepuluh detik yang Juan perlukan sebelum mengangguk atas jawaban. "Dulu iya."

"Sekarang?"

"Saya masih sering ke sini. Sendirian."

"Lily ke mana?"

Terdengar gesekan rumput dengan celana jins yang Juan pakai saat cowok itu bergeser. Tubuhnya sekarang berhadapan dengan Rindang. Matanya menatap gadis itu lurus-lurus. "Pergi."

"Pergi?" Rindang bertanya pelan. "Ke luar kota? Ke luar negeri? Kuliah?" Atau sudah menikah dengan orang lain?

Rindang sudah mempersiapkannya. Skenario terburuk kalau ada drama Lily yang pergi bersama pria lain lantas meninggalkan Juan di sini. Lily memutuskannya di bawah ini, lalu pergi begitu saja. Namun, tidak ada yang menyiapkan Rindang untuk skenario yang lebih buruk ini.

"Ke tempat yang enggak terjangkau."

Angin dingin mendadak berhembus, hingga meniup helai rambut Rindang sampai menutupi mata. Sejenak ia bersyukur. Hembusan itu memberikannya sedikit waktu untuk melakukan hal lain selain bicara. Karena pernyataan barusan membuat Rindang merasa serba salah, membuat kata penghibur yang disiapkan menguap begitu saja. Ia menatap cowok itu, melihat berbagai ekspresi bercampur baur di wajah Juan. Ucapan maaf tersekat di tenggorokannya, tergantung di ujung lidah. Ketika ia membuka mulut untuk mengutarakannya, Juan kembali buka suara.

"Saya udah nggak pa-pa. Tapi kalau mau menghibur, silakan."

Rindang merengut. "Tadinya iya, tapi setelah kamu potong, jadinya lupa, kan."

Juan tersenyum, dan itu membuat sebagian beban rasanya diangkat dari pundak Rindang. Ia tidak tahu harus apa jika tiba-tiba cowok di sampingnya ini menangis.

"Jika saya harus mengurutkan orang-orang yang paling saya sayang di dunia, maka Lily akan selalu berada di tempat pertama. Jika semua orang memanggil saya dan saya hanya bisa pergi ke satu orang, maka Lily akan selalu menjadi orang yang saya datangi lebih dulu."

"Sepenting itu," Rindang berucap lirih, dan itu bukan satu pertanyaan.

"Sepenting itu," Juan mengangguk. Jemari panjangnya menyapu helai rambut yang sedikit gondrong ke belakang. Namun angin yang berhembus terus-terusan membuatnya kembali dan kembali berantakan. Ucapan cowok itu selanjutnya, bagaimanapun, membuat Rindang tertegun.

"Lily itu seperti angin, sejuk, tidak tergapai, pergi ketika ia ingin."

Lily dan angin. Familier. Surat itu.

Dugaannya tidak salah lagi. Juan yang menulis surat itu. Untuk Lily. Dan ia, menemukannya.

"Kamu kangen Lily?"

Dengan mantap, dengan mata yang teduh, Juan menatap Rindang dan mengangguk. "Setiap hari," bisiknya.

Tidak ada lagi kata yang terdengar selama beberapa menit berikutnya. Masing-masing dari mereka menatap pada permukaan danau yang tenang dan menatap cahaya matahari senja yang membiaskan riak-riak emas di antara gerombol daun teratai.

Ketika matahari telah turun sepenuhnya dan gelap mulai membayang, Rindang menjadi orang pertama yang memecah keheningan itu.

"Terus, kenapa kamu bilang Lily mirip saya?"

You're my honey bunch, sugar plump, pumpy umpy umpkin. You're my sweety pie~

Tepat ketika Juan menatapnya, begitu intens sampai Rindang merasa terekspos. Nyanyian Cuppycake Song terdengar nyaring beserta derit ponsel. Nyaring dan salah tempat di suasana yang mulai temaram.

Sesaat, Rindang membiarkannya. Lupa dengan nada dering yang baru-baru ia ganti. Sampai kesadaran bahwa tidak mungkin Juan mengisi nada dering dengan suara anak kecil bernyanyi membuatnya mengecek ponsel sendiri di dalam ransel.

Sempak is calling.

Rindang segera menekan tombol tolak. Sekali. Dua kali. Hingga panggilan menuntut yang ketiga, dan telepon itu tidak mau mengalah untuk berhenti. Dengan asap keluar dari hidung, ia mengangkatnya.

"Apa?" tanyanya sebagai ganti kata sapa.

"Kamu di mana?"

"Pulang."

"Bohong. Motor kamu masih di sini. Kamu di mana?"

"Bukan urkhusan Bapak."

"Balik ke sini."

"Ogah."

"Balik atau motor kamu saya bakar."

Astaga! Ada apa dengan orang ini! Dia cenayang? Pasti ia tahu sekali Rindang pergi dengan Juannya, lalu cemburu menguras hati.

"Kenapa kamu mirip Lily?" Juan menjawab segera setelah Rindang menutup teleponnya. Dan cepat-cepat mematikan ponsel agar Samud tidak menerornya lagi.

Rindang menoleh.

Lalu, cowok itu melanjutkan, "Sama-sama polos. Sama-sama bebas, seperti angin. Sama-sama tidak tergenggam."

"Saya kayak gitu?" Ia mengerjap. Pikirannya masih berusaha ia seret dari bayangan motor kesayangannya yang dibalut kobaran api, beserta Samud yang tertawa antagonis.

Sebagai jawaban, Juan mencabut rumput di sisi lututnya, kemudian mendekat dengan tiba-tiba, membuat Rindang mundur seketika. Cowok itu terkekeh, lalu mencolek ujung hidung gadis itu dengan rumput di tangannya.

"Kalau seseorang suka sama kamu, kamu tidak akan pernah sadar, kan?"

"Eh?"

Apa ... maksudnya?

Lalu, seperti mengerti pertanyaan yang bergemuruh dalam kepala Rindang, Juan memperjelasnya. Cowok itu tersenyum, samar semburat jingga berada di belakang kepalanya, membuatnya magis kala ia mengucapkan kata-kata itu.

"Kalau saya bilang saya suka kamu, bagaimana?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro