19. Lalu, Siapa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mendaki gunung lewati lembah
Sungai mengalir indah ke Samudra
Bersama teman bertualang

Gozaru Gozaru itulah asalnya
Pembela kebenaran dan keadilan
Hai Ninja Gozaru

"So, we met, yesterday, on Wednesday"

"Wenzday," Dana, yang tengah sibuk memamah biak kentang goreng sembari menyimak cerita Emil tentang gebetan dunia mayanya, dengan cepat menginterupsi. Ia membenarkan pengucapan Emil yang masih Indonesia sekali. Wednesday tidak harus diucapkan dengan terlalu jujur /wed-nes-day/, tapi /wenzday/. Ada yang seolah hilang. Seperti family yang cukup diucapkan cukup dengan /femly/.

Emil mengerutkan hidung. Ia merasa gagal karena kesalahan yang lagi-lagi ia lakukan. Meskipun, dari awal ia meminta Dana untuk membantunya agar bisa berbicara bahasa Inggris dengan fasih. Serta mengoreksinya di tiap kesempatan, kenyataannya perlu dada selapang lapangan bola untuk menerima kritik. Sekarang Dana mengoreksinya dan Emil menahan diri untuk tidak menyumpalkan seluruh kentang goreng ke mulut Dana, beserta mangkuknya.

"So we met on /Wenzday/ in a coffee shop on Jagakarsa street. God! She's so cute! We talked about ... everything! We also made a vlog, it was so embarrassing."

"Imberezing!" Dana kembali menginterupsi.

"Iya, iya. Please, stop cutting mymy words, man. I can't fokyus."

"Fokes," ujar Dana lagi, tidak terima. "Napa, sih, ya orang-orang tuh pada demen banget bilang fokyus, padahal harusnya fokes. FOKES!"

Here we go. Dana dan sikap kritisnya tiap menyangkut pengetahuan dan pekerjaan.

"She sayI mean she said, she is a vlogger and a student. She also asked about my job."

"And you said that you're a salesman?"

"OF COURSE NOT!" Emil menyanggah dengan R begitu jelas sampai bergetar. "I told her I'm an enter entreaduh, gimana, sih, bilang enterperenewur?"

"Enterprenoor," Dana mengoreksi, tidak yakin, hingga menambahkan, "kali." Cepat-cepat, ia menoleh pada Anan, meminta persetujuan. "Nan?"

Anan, cowok yang kemarin beralasan sakit saat York sedang sibuk-sibuknya dan hari ini dengan segar bugarnya main game online, tidak mengalihkan tatap dari layar ponselnya.

"Nan! Oy!"

Sambil berdecak tidak sabar, Emil turun dari stool bar dan menghampiri Anan di sofa. Ia menggulung lengan kemejanya selama perjalanan. "Assalamualaikum! Yang nggak nyahut KPI!"

Anan menurunkan ponselnya setelah diteriaki di depan telinga dan dipanggil 23451 kali. Ia kemudian menatap Emil dan Dana bergantian. Raut wajahnya berubah serius, menandakan ia sedang berpikir.

"Hmm.... nggak tahu," jawab cowok itu setelah membuat semua orang menunggu.

Dana berdecap. Salah satu daftar cita-citanya setelah berhenti bekerja di York suatu saat nanti adalah menyleding ginjal rekan kerjanya sendiri satu persatu, dan orang pertama adalah Anan. Ia memanjangkan leher dan melambai pada Oliv dan Saufi yang sedang berdiskusi di sudut lainnya.

"Eh, woy! Entrepreneur dibacanya yang benar apa?"

"Nggak tahu," Oliv menjawab cepat tanpa berpikir dan mengibaskan tangan. Bibirnya sedang berkomat-kamit menghitung sesuatu di atas kertas. Cewek itu benar-benar sedang tidak bisa diganggu.

Sementara di sisinya, Saufi tersenyum meminta maaf sambil memilin janggut. "Maaf, Bang, saya nggak paham. Kalau tanya hadis qudsi, mungkin saya bisa bantu."

"Aduh, nggak makasih, dude. Gue kebanyakan dosa. Kalau dengar hadis, jadi hot-hot gimana bawaannya."

Jadi, ketika Rindang berjalan terburu-buru melewati pintu York, bahkan masih dengan helm di kepala dan langkah nyaris tersandung, Bang Dana segera memanggilnya.

"Lin! Entrepreneur bacanya gimana?"

Rindang berhenti di tengah-tengah kafe. Matanya horor ketika menatap Dana. Di belakangnya, dalam diam Juan mengekor masuk.

"Bang! Liat motor saya?"

"Kamu tahu entrepreneur bacanya gimana?"

"Bang! Motorkh saya?!"

Ini tidak akan berhasil. Rindang tahu Bang Dana tidak akan menjawab sebelum ia menjawab dulu. Maka lepas menghembuskan satu napas berat, otomatis membuat dirinya sedikit lebih rileks, Rindang menggali kembali ingatannya.

"Antruhpuhnoo;"

Dana mengulang, lalu mengangguk. "Di belakang, sama Bos!"

Hal yang membuat Rindang terkesiap. "Hah? Dia nggak bawa korkhek, kan?"

"Apaan?"

"KORKHEK!"

Dana meringis, lalu mengedikkan bahu. "Kenapa emangnya Li─"

Belum selesai Dana bertanya, Rindang segera mendorong helm miliknya ke perut buncit cowok itu. Dengan terburu-buru, ia berlari ke arah dapur. Di sana ada pintu yang terhubung langsung dengan halaman belakang.

Halaman belakang York tidak luas. Terhubung dengan lahan parkir, namun dibatasi pintu besi yang hampir selalu digembok, tempat itu dibuka hanya untuk karyawan. Dindingnya terdiri dari susunan bata setinggi kepala orang dewasa, diberi kawat di bagian atas. Di salah satu sudutnya ada tumpukan meja-kursi serta barang-barang tidak terpakai. Sementara di sudut lainnya, ditumbuhi pohon tanjung. Waktu siang, tempat ini menjadi salah satu tempat yang Rindang pilih untuk menyejukkan diri. Namun di malam hari seperti sekarang, semuanya terasa horor. Motor Rindang terparkir di tengah, dan di atasnya adalah Samudera.

Rupanya, Samud tidak main-main dengan ucapannya. Laki-laki itu duduk membelakanginya. Dan sementara ia menyeret langkah, Rindang berpikir keras bagaimana cara menyelamatkan motornya tanpa ketahuan Samudera. Hal mustahil. Opsi kedua, berapa besar kemungkinan lolos membawa motor jika ia mendorong Samudera sampai menabrak pohon?

Belum sampai Rindang pada satu kesimpulan, Samudera telah berbalik. Cowok itu menatapnya tajam.

"Kalian dari mana?" Samud bertanya dingin.

Dan Rindang merasa panas dingin mendapat tatapan itu. Kalian, ia sudah tahu. "Enggak dari mana-mana."

"Bohong."

Rindang menghembuskan napas keras. "Bapak kenapa, sih, kayaknya nggak suka banget saya deket-deket sama Juan?"

Lalu, pertanyaan itu hadir. Pertanyaan yang selalu ada di kepalanya, namun tidak pernah berani diucapkan lantang-lantang. Rindang tahu, hal ini begini tabu. Masih sedikit jumlah orang di Indonesia yang pikirannya cukup terbuka. Bagi Samud. Bagi Juan. Bagi mereka berdua.

"Bapak," bisiknya. Ia masih merasakan sedikit keraguan dalam suaranya ketika menatap Samudera, berusaha menyampaikan bahwa ... ia mengerti. Tidak apa-apa. Tidak ada yang salah dengan cinta bagaimanapun bentuknya. "Bapak cemburkhu?"

Seketika, Samud tersedak udara. "S-saya─"

Samudera mendadak tergagap. Wajahnya memerah dan seluruh bahasa tubuhnya menyatakan ia salah tingkah. Untuk menenangkannya, Rindang menepuk lengan cowok itu. "Enggak apa-apa, kok. Saya tahu."

"Kamu tahu?"

Kini, Samudera menunduk menatap Rindang. Raut bingung terlihat jelas di antara kerut keningnya. Dan tentu saja, rona merah di wajahnya akan terlihat semakin kentara jika bukan karena minimnya cahaya dari satu-satunya lampu di tempat itu.

Rindang terkekeh kecil. "Pak. Kalau Bapak khawatir, saya akan merebut Juan dari Bapak, Bapak salah besarkh! Kami nggak ada hubungan apa-apa k─"

"Tunggu! Apa maksud kamu dengan merebut Juan?"

"Kalau saya bilang saya suka kamu, bagaimana?" Rindang masih ingat perkataan cowok itu. Di taman. Hanya satu jam yang lalu.

"Kalau saya bilang saya suka kamu, kamu nggak akan sadar, kan?"

"Kalau," Rindang menggaris bawahi. Ia tidak ingin menyimpulkan apa-apa. Dari cara cowok di depannya ini menatapnya, kemudian dari cara dia bercerita soal Lily ... Rindang yakin, dia bukan apa-apa. Mungkin. Ia tidak tahu.

Satu hal yang pasti; tidak ada cowok dengan kecerdasan normal akan menyukai gadis sepertinya.

"Kamu nggak akan percaya?"

Rindang menggeleng. Kemudian, cowok itu mengacak rambutnya. Dan Rindang harus berjengit, berusaha keras untuk tidak menepis tangan itu, lalu kabur. Kali ini, ia berhasil membiarkan interaksi kecil ini.

"Jadi sedikit lebih peka, bisa?" tanya Juan.

Rindang mengerutkan alis. "Maksudnya?"

Senja makin temaram. Juan menghela napas dan menumpukan kedua tangannya ke belakang. Kepalanya mendongak, menatap daun yang jatuh di atasnya. "Kamu seperti daun yang jatuh ini," ujarnya setelah beberapa saat. Tangannya meraih daun kering dari atas bajunya, menunjukkannya pada Rindang. "Ketika saatnya tiba, ia akan jatuh juga. Dan ketika saatnya tiba, kamu akan tahu."

"Kamu ... ngomong apa?"

Namun lagi-lagi, Juan kembali ke dalam mode irit bicaranya. Ia hanya mengedik dan mengulurkan tangan. Tanpa kata-kata, ia mengajak Rindang pulang.

Kali ini pun, Rindang tidak menyambut uluran tangannya.

"Perasaan saya ke Juan itu sebatas teman dan kagum. Begitu juga sebaliknya, Pak. Saya nggak berusaha merebut─"

"Kamu salah!" Samudera memotong, lagi. "Yang saya suka itu bukan Juan!"

Rindang mengerjap. "Lalu ... siapa?"

Ada jeda karena tidak ada gumam jawaban. Samudera tampak terpatah-patah ketika ia akan mengungkapkan. Dan Rindang hanya dapat menekan penasarannya dalam penantian. Siapa gerangan? Bang Dana? Emil?

Sebelum pertanyaan itu terjawab, ponsel di saku celana Samud berdering. Nada Doraemon yang familier. Tapi bukan itu yang mengalihkan fokus Rindang secara tiba-tiba, melainkan... wajah wanita yang sekilas ia lihat ketika Samudera menariknya keluar.

Mentari.

Meskipun hanya diterangi sorot lampu redup dari dekat pintu dapur, Rindang dapat melihatnya. Wajah Samudera di depannya mengeras. Pria itu berubah serius.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro