RS | Part 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

HALEEZA terlihat begitu riang, bahkan sangat amat antusias saat tahu akan diantar berenang oleh Hamna. Bocah kecil itu sampai tidak nyenyak tidur, karena saking tidak sabarnya untuk menyambut hari esok.

"Yakin nggak ada yang ketinggalan, Na?" tanya Hamzah untuk yang ke sekian kalinya.

"Sudah, Aa, aman pokoknya."

"Za jangan buat Buna repot ya, jadi anak baik dan penurut. Kasihan Buna, Za paham, kan?" ungkap Hamzah seraya merendahkan tubuhnya agar setara dengan tinggi Haleeza.

Haleeza pun mengangguk patuh. "Iya, Papa."

Dengan gemas Hamzah mengacak puncak kepala Haleeza yang tertutup hijab berwarna merah muda. "Anak pintar, Za jangan terlalu lama main airnya, oke?"

"Iya ih, Papa bawel deh!"

Mendengar hal tersebut Hamna tertawa puas. "Papa kamu emang kelewat perhatian, Za. Saking perhatiannya sampai kayak orang paranoid."

Hamzah geleng-geleng dibuatnya. Sedangkan Hamna dan Haleeza kompak menampilkan cengiran.

Hamzah pun berdiri tegak lalu beralih pada sang istri. "Kamu hati-hati ya, Na, jangan grasak-grusuk kalau jalan. Harus pelan-pelan, jangan terlalu ke pinggir kolam, licin, Aa nggak mau kamu teledor."

Hamna menarik tangan Hamzah agar berada di atas perutnya. "Papa nggak usah khawatir, semua akan baik-baik aja," katanya menirukan suara anak kecil.

Dikecupnya lembut kening Hamna lantas berkata, "Kamu lagi hamil besar, Na, hal yang sangat amat wajar kalau saya mengkhawatirkan kalian. Apalagi kamu juga harus mengawasi Haleeza yang lagi aktif-aktifnya."

"Aa terlalu berlebihan. Kita akan aman, kan, Za?" sahutnya meminta pembelaan.

Haleeza mengacungkan dua jempolnya tanda setuju.

"Kabari kalau sudah mau pulang," titahnya.

"Oke siap, Pak Suami," sahutnya seraya hormat.

"Apa petuahnya ada lagi?" sambung perempuan hamil tersebut.

Hamzah terkekeh kecil, lantas menggeleng pelan. "Nggak ada, selain fii amanillah."

Hamna pun mengangguk patuh.

"Nanti pulangnya kita mampir ke rumah Mama dulu," ujar Hamzah saat mereka sudah berjalan beriringan keluar rumah.

Secara spontan Hamna tertawa puas. "Dalam rangka membujuk Mama yang tengah merajuk ya, A?"

"Kamu ini, Na, suka banget ceng-cengin Mama. Beliau itu cemburu, cucunya nempel banget sama kamu, apa-apa harus sama kamu terus," ungkapnya lalu membukakan pintu mobil untuk Hamna.

"Bukan hanya cucunya yang nempel ke saya, anak kesayangannya juga nempel banget udah kayak perangko," cetus Hamna diakhiri senyum penuh kebanggaan.

"Kalau itu nggak usah dibahas, lemnya kebanyakan sampai susah banget dipisahkan."

Dicoleknya salah satu pipi Hamzah. "Bucin nih ceritanya, hm?"

Hamzah menaikan satu alisnya. "Sudah berani mulai pegang-pegang duluan kayaknya nih, hm?"

Refleks Hamna pun menarik kembali tangannya, tapi dengan cepat ditahan Hamzah.

"Pipinya jangan sekadar dicolek dong, dicium kalau bisa," godanya.

"Apaan sih! Ada Haleeza itu di belakang, lihatin kita."

"Za tutup mata dulu, Sayang," pinta Hamzah tanpa dosa.

Dengan patuhnya bocah kecil itu menurut tanpa banyak tanya.

"A udah ya, masih pagi ini, jangan mesum!"

Hamzah geleng-geleng kepala, lalu mencium kening serta kedua pipi Hamna secara bergantian.

"Pak Hamzah!" teriak Hamna histeris.

Hamzah tak merasa bersalah sedikitpun, dia justru tertawa terpingkal-pingkal, lantas berlari cepat untuk duduk di balik kursi kemudi.

Hamna menghadiahi pelototan tajam saat sang suami sudah duduk manis di sampingnya, bahkan dia pun menunjukkan kepalan tangan di depan wajah Hamzah.

"Sampai kapan Za harus tutup mata, Pa?" cetus Haleeza merasa kesal.

Spontan keduanya pun melihat ke arah belakang.

"Buka mata, Za, kamu ini jangan mau-mau aja kalau disuruh sama Papa. Jangan nurut-nurut banget, bisa?" tutur Hamna.

Hamzah menjalankan mobilnya. "Kamu jangan coba-coba racuni pikiran polos Haleeza ya, Na."

"Emang kapan Buna kasih kamu racun, Za? Aneh-aneh aja Papa kamu ini!"

"Papa sama Buna hobi banget sih adu mulut. Heran, apa orang dewasa kayak gitu semua?"

Hamna meringis kecil. "Nggak semua tapi rata-rata begitu, Za."

"Iya, kah?"

"Nanti juga kamu paham, Za kalau sudah dewasa. Tapi, Papa nggak mau sih kamu cepet-cepet dewasa," katanya seraya melirik ke belakang.

"Emangnya kenapa kalau Haleeza dewasa?"

"Saya belum siap kalau tiba-tiba ada yang ngapelin anak gadis saya. Ah, jangan dulu pokoknya!"

"Bapak Hamzah Wiratama yang terhormat, Haleeza aja masih TK, baru mau tujuh tahun lho. Jauh banget itu pikiran!"

"Kamu nggak akan paham gimana was-wasnya seorang ayah saat punya anak gadis, Na."

"Keinget dosa dan kelakuan masa lalu, hm?"

"Bisa dibilang begitu, tapi lebih khawatir lagi kalau sampai anak gadis saya jatuh ke tangan laki-laki yang tidak tepat. Surga dan neraka dia yang jadi taruhan, dan saya nggak mau kehancuran menimpanya."

"Kalau semisal Haleeza dipinang lelaki spek Aa gimana?"

"Kalau bisa lebih baik dari saya, Na."

"Tapi saya merasa Aa yang terbaik."

"Maksud kamu?"

"Saya mengenal Aa sudah dalam versi terbaik, dan saya nggak merasa khawatir jika kelak memiliki anak perempuan. Saya ingin mereka mendapat pasangan serupa ayahnya. Terlebih dalam hal kesabaran, pelayanan, dan juga kasih sayang."

"Mereka kamu bilang? Jadi maksud kamu, mau punya anak lebih dari satu dari saya, hm?"

Hamna memutar bola mata malas. "Nggak ingat ini yang di perut aja udah ada dua, belum lagi ditambah Haleeza. Bapak itu udah mau jadi bapak-bapak anak tiga kalau perlu saya perjelas!"

"Meskipun bapak anak tiga, masih kelihatan muda, kan?"

"Dihh, inget umur bentar lagi 37 tahun!"

Hamzah pun meringis. "Belum kepala empat, masih muda hitungannya."

Rasa hati ingin sekali Hamna menampol mulut sang suami. "Lihat tuh rambut, mulai tumbuh uban."

Secara refleks Hamzah pun mengarahkan kaca yang menggantung di mobil. "Sejak kapan saya ubanan, Na? Kamu jangan buat panik saya dong!"

Hamna tertawa terbahak-bahak. "Tenang, A, tumbuh uban bukan pertanda satu-satunya akan meninggal kok."

"Ish, itu mulut sembarangan banget perasaan."

"Bercanda, A, bercanda. Saya juga belum siap kali kalau harus menyandang status janda anak tiga. Ahh, mimpi buruk itu, kecuali hak waris jatuh ke tangan saya semua," katanya asal diakhiri cengiran.

Hamzah mendelik tajam. "Dasar!"

Hamna menunjukkan dua jarinya tanda damai. "Dianggap serius banget sih, bercanda saya."

"Bercanda kamu nggak lucu!"

"Za lihat Za, Papa kamu lagi merajuk," ujar Hamna.

Haleeza berdiri di belakang kursi yang diduduki Hamzah, lalu mengecup pipi sang ayah singkat. "Papa jangan ngambek lagi ya? Kan udah Za kiss."

Melihat hal tersebut Hamna merinding seketika. "Biasa aja matanya. Nggak usah ngode biar saya melakukan hal yang sama seperti Haleeza. Nggak ada ya!"

"Za lihat Za, Buna kamu nggak mau kiss Papa."

Haleeza pun melihat ke arah Hamna. "Buna mau, kan? Iya, kan?"

"Hah?!"

Haleeza bergerak cepat mendaratkan kecupan singkat di pipi Hamna. "Za, kan udah kiss Buna, sekarang giliran Buna kiss Papa."

Hamna meneguk ludahnya susah payah. "Za, Sayang, kamu jangan kemakan tipu muslihat Papa kamu."

"Kenapa Buna nggak mau cium Papa?"

"Bukannya nggak mau, tapi nggak baik lho kalau anak kecil lihat orang dewasa ciuman. Nggak boleh."

"Ya udah kalau gitu Za tutup mata, Buna," katanya seraya menutup kedua mata dengan telapak tangan.

Detik itu juga Hamzah tertawa terpingkal-pingkal. "Ayo, Na mau cium yang mana?"

BERSAMBUNG—

Padalarang, 11 Februari 2024

Update lagi nih guys, jangan lupa ah diramaikan dulu lapaknya ☺️ ... Oh, ya mau ingetin aja, di Instagram aku lagi buat GA berhadiah Novel Banafsha. Siapa tahu, kan kalian ada yang mau ikutan, hehe 🤭

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro