RS | Part 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

SETELAH membantu Haleeza mengganti pakaian, Hamna memilih untuk duduk tak jauh dari kolam renang. Di sana sudah tersedia kursi dan meja yang atasnya dilindungi oleh payung berukuran cukup lebar.

Kolam renang yang penuh sesak oleh pengunjung, sedikit membuat Hamna kurang nyaman, terlebih dia tidak begitu bisa berbaur dengan ibu-ibu lain. Lebih memilih untuk duduk seorang diri, mengawasi segala gerak-gerik putri sambungnya.

Hamna berjalan perlahan mendekat ke arah Haleeza yang duduk di tepi kolam. "Buna ke kamar mandi sebentar ya? Kebelet pipis. Za jangan ke mana-mana, nanti Buna pusing nyarinya. Oke?"

"Iya siap, Buna."

Hamna pun mengelus puncak kepala Haleeza yang kini tanpa penutup kepala. "Pintar, berenangnya di sini aja ya?" katanya lagi mengingatkan.

"Iya, Buna lama-lama sama kayak Papa. Bawel!"

Hamna meringis kecil. "Bukan bawel, Buna hanya mengingatkan supaya Za tetap dalam pengawasan Buna. Paham, Sayang?"

Anggukan mantap bocah kecil itu berikan. "Oh, ya Buna, minta tolong boleh?"

"Apa?"

"Za mau pop mie rasa bakso, Buna," katanya.

"Hanya itu?"

"Sama ice cream boleh?"

"Boleh atuh, mau rasa cokelat kayak biasa, kan?"

"Iya, maaf ngerepotin Buna ya."

Dicubitnya gemas pipi Haleeza. "Buna nggak repot, malah seneng. Tunggu sebentar, kalau mau minum di sana ya," katanya seraya menunjuk ke arah meja yang tadi dia tempati.

"Buna hati-hati jalannya, inget kata Papa."

"Masyaallah, perhatian sekali sama Buna. Makasih, lho."

Haleeza terkekeh pelan, lalu kembali turun ke kolam renang. Sedangkan Hamna berjalan mencari toilet.

Seiring dengan bertambahnya usia kehamilan, dia jadi sering sekali bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil. Bahkan pernah juga saking tidak tahannya, dia pipis di celana bak bocah dua tahun yang belum diajarkan untuk buang hajat di kamar mandi.

Beruntung suaminya memiliki tingkat kesabaran di atas rata-rata, yang kala itu malah menggoda serta menertawakannya. Tidak sedikitpun marah, padahal Hamzahlah yang membereskan kekacauan yang dibuat oleh Hamna. Sungguh, dia sangat amat bersyukur dan berterima kasih.

Masih teringat dengan jelas dalam ingatan Hamna apa yang justru dituturkan oleh sang suami.

"Besok-besok pake pampers ya, Na, daripada kamu repot bolak-balik ke kamar mandi terus."

"Emangnya saya bocah apa?!"

"Iya ih, kamu, kan bocah yang sebentar lagi punya bocah!" katanya diakhiri tawa yang cukup renyah.

Detik itu juga sebuah bantal sofa melayang apik di kepala Hamzah, tapi hal tersebut malah semakin membuat tawanya kian pecah tak terbendung.

Walaupun di awal-awal pernikahan cukup sulit menerima kenyataan. Terlebih harus diuji dengan sifat serta sikap sang mertua yang sampai sekarang pun masih sama, meski sudah tak separah dulu.

Namun, sekarang Hamna sudah benar-benar berdamai dengan takdir. Menikmati perannya sebagai istri sekaligus ibu.

"Teh pop mie-nya satu ya, rasa bakso," tutur Hamna saat dia sudah sampai di kantin kolam renang.

Tak menunggu lama pesanannya sudah jadi, dan dia pun mengambil satu bungkus ice cream kesukaan Haleeza, lantas membayarnya.

Langkah Hamna tertahan saat melihat ada sebuah kerumunan. Dia cukup kesulitan untuk melihatnya.

"Orang tuanya di mana?!"

Seruan itu terdengar serupa dengan bentakan.

"Maaf, permisi, ada apa ya, Bu?" tanya Hamna seraya berusaha untuk membelah kerumunan.

"Ada anak yang tenggelam, tapi orang tuanya entah di mana."

Jantung Hamna berdetak kencang seketika, tangannya pun bergetar hebat. Rasa takut dan cemas berpadu jadi satu, dia khawatir apa yang kini bersarang di pikirannya menjadi sebuah kenyataan.

"Hubungi Pak Hamzah, ibu tirinya Haleeza nggak tahu pergi ke mana!"

Deg!

Detik itu juga makanan yang tengah dibawanya luruh ke bawah, dia berusaha keras untuk mendapatkan akses jalan. Dan kakinya dibuat lemas bukan kepalang, saat melihat Haleeza sudah tak sadarkan diri.

"Haleeza ...," lirihnya berhasil membuat banyak pasang mata tertuju pada Hamna.

Dia berjongkok dengan susah payah dan memeluk Haleeza, berusaha untuk membangunkan putri sambungnya yang sudah menutup mata. Cairan bening meluruh begitu saja, bahkan dia tak bisa berpikir dengan jernih.

"Za ...., bangunnn ..., sayang ...," katanya di tengah isakan.

"Bangun, Bu, kita ke rumah sakit sekarang, ambulance-nya baru saja datang," tutur salah seorang wali murid seraya membantu Hamna.

Rasanya kaki Hamna tak kuasa untuk dilangkahkan, sekujur tubuhnya bergetar hebat, terlebih saat melihat Haleeza yang sudah sangat dingin dengan wajah pucat pasi.

"Insyaallah semua akan baik-baik saja, Bu. Ibu yang tenang," katanya saat membantu Hamna untuk naik ke dalam ambulance.

Hamna tak banyak bicara, fokusnya sudah terambil alih oleh Haleeza.

Dia mengambil gawai dalam tas, mencoba untuk menghubungi Hamzah berulang kali.

"Ya, Na ada apa?"

Bukannya menjawab, Hamna malah terisak dengan pandangan lurus menatap Haleeza.

"Kok nangis? Kenapa Nona?"

Hamna menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk meredam isakan. "Ha ..., lee ..., za ...,"

"Iya, Haleeza kenapa? Kalian baik-baik aja, kan?"

"Aa bisa ke Rumah Sakit Hermina sekarang?"

Tak ada sahutan apa pun di seberang sana, dan hal itu semakin membuat perasaan Hamna kian campur aduk.

"Saya ke sana sekarang!"

Panggilan terputus begitu saja, dan Hamna menatap nyalang gawainya dengan deru napas yang sudah naik turun.

Sesampainya di rumah sakit, Haleeza langsung dibawa ke ruang tindakan. Sedangkan Hamna menunggu dengan sangat resah di depan ruangan tersebut. Dia mondar-mandir tak jelas, dengan linangan air mata yang tak kunjung mengering.

Suara derap langkah seseorang, membuat Hamna spontan menoleh, dan dia mendapati wajah dingin Hamzah yang menatapnya dengan pandangan sulit terbaca. Dia hanya bisa menunduk dalam, seraya memilin ujung khimar.

"Apa yang terjadi sama Haleeza, Hamna?!"

Hamna mendongak, menarik napas panjang lalu mengembuskannya kasar. "Maafkan saya, A Hamzah. Maaf ..., Haleeza luput dari pengawasan saya, dia tenggelam," cicitnya.

Hamna beringsut mundur saat Hamzah kian mendekat ke arahnya. Jantung perempuan itu kian berulah di ambang batas wajar. Sungguh, dia memang bersalah dalam hal ini, tapi dia tak sanggup jika sekarang harus menghadapi amukan sang suami.

Tubuh Hamna menegang seketika, terlebih saat merasakan pelukan Hamzah yang begitu erat. Dia sama sekali tak bisa berkata-kata, tangis keduanya pecah tak terbendung saat itu juga.

"Haleeza akan baik-baik aja, kan, Na? Iya, kan?" rancau Hamzah.

Mendengar hal tersebut, rasa sakit yang menghujam dada justru kian menjadi-jadi.

"Haleeza sudah mahir berenang. Ini mimpi, kan, Na?! Cuma mimpi! Nggak mungkin Haleeza tenggelam!"

Tangan Hamna terulur untuk mengelus punggung Hamzah, berusaha untuk memberi sang suami ketenangan walau nyatanya mereka sama-sama berdebar, menunggu kabar dari dokter.

Hamna mengurai pelukannya, dia berusaha menampilkan senyum, dengan tangan bergetar dia menghapus air mata di sudut netra Hamzah.

"Insyaallah, Haleeza akan baik-baik aja, A," ujar Hamna.

BERSAMBUNG

Padalarang, 12 Februari 2024

Apa masih ada yang nunggu kelanjutannya?

Mau digasskeun?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro