III. | Yang Telah Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua tahun yang lalu, Gloria Wiseman hanyalah seorang murid yang berasal dari daerah asing.

Tidak seharusnya ia ikut dengan kemauan Karen atau Hana yang memang ingin mencoba bersekolah, ia bisa saja diam dan fokus dengan statusnya sebagai pewaris Perusahaan Wiseman. Nona kaya mana yang sampai harus menjadi bagian kemiliteran? Mungkin tidak ada yang berpikir ke arah sana. Belum lagi, Gloria pun tidak suka dianggap sebagai 'nona kaya', terlebih ketika ia memperkenalkan diri sebagai seorang Wiseman.

Gloria terbiasa mendengar cibiran itu di kalangan kolega, dan juga beberapa teman seangkatannya saat pertama kali ia datang dan memperkenalkan diri sebagai 'Gloria Wiseman'. Hal itu pun terulang lagi ketika masa pelatihan, semua akan menatapnya lain ketika ia memperkenalkan diri sebagai 'Gloria Wiseman'.

Ah, mengapa segalanya tidak bisa lebih sederhana? Gloria ada di sana bukan sebagai perwakilan perusahaan. Ia ada sebagai seorang perwira, sama seperti yang lainnya. Ia tidak bisa berkata ia 'cinta' tanah air dengan bergabung dengan militer, toh ia pun berasal dari tanah bekas jajahan Angia.

Apa yang menggerakkannya setelah menjadi murid adalah Kelas Sembilan ... juga mencari apa yang disembunyikan Karen.

Akan tetapi, Gloria menyadari bahwa Karen pun tidak akan bisa ia lindungi selamanya. Karen punya jalannya sendiri. Gloria tidak berhak menghentikannya atau menghakimi pilihannya.

Pertanyaannya sekarang: untuk apa sebenarnya Gloria 'memilih' ada di sini dan kini?

🛠

Instruktur Claudia Ars Bathory tidak pernah berubah. Beliau-lah yang menjadi statis ketika murid-muridnya berkembang melebihi apa yang ia dapat perkirakan. Gloria menemukan statisme sang guru sebagai sesuatu yang patut dihormati, dan keyakinan beliau untuk meminta bantuan pada mereka adalah sebuah bentuk rendah hati yang menurut Gloria luar biasa.

Saya tidak bisa sendiri, seberapapun orang kira saya adalah yang terkuat karena mampu memegang Kitab Kejayaan Hampa, ucapnya sebelum beliau melepas mereka pergi. Itulah saya. Saya hanya sekedar yang dipilih oleh Kitab—saya hanya bisa menyampaikan apa yang saya ketahui.

Malam itu, Instruktur Claudia menyewa sebuah rumah kosong yang dekat dengan stasiun Folia untuk mereka semua menginap. Beliau bilang itu adalah sedikit tanda maaf yang bisa beliau berikan karena sudah merepotkan mereka semua yang mungkin sudah punya rencana masing-masing setelah masa wajib militer berakhir. Gloria merasa malah mereka yang merepotkan sang Instruktur - yang lalu dengan mantap menjawab 'cuma ini yang bisa saya lakukan untuk kalian'.

Waktu yang singkat itu pun mereka bersebelas habiskan untuk menyatukan pikiran. Tentu saja, Muriel mengidekan untuk mereka makan malam besar di malam itu.

"Hitung-hitung reuni," ucap Muriel. "Tapi tolong bantu belanja, ya. Urusan dapur serahkan saja padaku."

Blair menengadah, "Rasanya aneh kamu bilang begitu dengan sosok besar berotot, Riel."

Alicia menyikut Blair, "Heh, jangan begitu. Kamu mau ditinju?"

"Kalian bisa saja, ah, bercandanya," Muriel tertawa ringan, dengan mudah ia mengacak rambut kedua temannya itu. Blair dan Alicia turut tertawa lepas. "Jadi siapa yang mau belanja?"

Gloria menyerahkan diri, kebetulan rasanya ia butuh jalan-jalan dan udara segar untuk melepas sedikit ketegangan, apalagi setelah ia bilang ke Karen untuk meminta sedikit waktunya malam ini.

Pemilik rambut merah itu tak kuasa menghela napas. Aneh, pikirnya. Biasanya ia akan dengan mudah 'mencari waktu' untuk bisa bicara dengan Karen yang tertutup. Sekarang, setelah dua tahun penuh mereka tidak pernah bertatap muka, Gloria merasa sungkan.

Sejak kecil, Gloria melihat dirinya sebagai seorang yang supel, hampir tidak tahu malu—bukan karena ia paham dia putri konglomerat yang 'mudah dapat segalanya'. Soal Karen pun, karena mereka dengan tidak sengaja bertemu dan Gloria dengan seenak jidat merawatnya ketika sang kakek sedang tidak di rumah, mungkin Gloria sudah terlanjur mengakui sepihak kalau mereka teman baik.

Ah, sedih juga rasanya ketika kebodohan-kebodohan di masa lalu kembali padanya sekarang bagaikan bumerang.

"Oh, aku lupa tanya Riel dia mau masak apa," ucap Fiore ketika mereka mampir di toko sayur.

"Dia kayaknya dikasih apa aja langsung bakal kepikiran menu-nya deh," pungkas Gloria. "Kamu masih ingat yang lain suka apa?"

"Hmm, kare mungkin enak ya, dan netral ..."

Turut bersama Gloria berbelanja ada Fiore, sementara yang lain merapikan ruang makan dan membantu Muriel mempersiapkan dapur. Rasanya familier sekali kondisi itu, seperti ketika mereka tengah melaksanakan Ekskursi Daerah. Kini, Kota Folia sudah punya sebuah gang khusus di mana para pedagang sembako dan petani lokal leluasa menjual hasil panen mereka sendiri.

"Ya sudah, kare saja kalau begitu? Mungkin kita harus beli banyak kentang dan sayur agar Riel bisa bikin sup." ujar Gloria.

"Ide bagus," Fiore menjentikkan jari. Ia menekan Cincin Peri-nya dan mulai mencatat. "Musim dingin begini memang lebih enak makan sup."

"Dan ... ah, coklat, bagaimana? Aku yakin Hilde atau Blair sih yang bakal pakai buat bikin coklat hangat."

"Boleh saja."

Selepas diskusi pendek itu, mereka berdua pun segera menyisir pasar dan membeli bahan-bahan yang diperlukan. Gloria menelpon ke dapur untuk memberitahukan kalau mereka akan membeli bahan untuk kare. Muriel tentu saja segera mengiyakan, dan Gloria bisa mendengar sayup-sayup suara menimpali untuk beli cemilan untuk dibagi-bagi. Fiore menyalak keras agar mereka tidak ribut, walau Gloria memutuskan untuk tetap membelikan cemilan.

Mereka berdua berjalan kembali menenteng beberapa tas besar bahan makanan. Fiore manyun dan mendengus, tapi ia membawa belanjaan itu tanpa banyak mengeluh.

"Kamu masih saja terlalu baik, Gloria."

Gloria mengerjap, "Iya kah? Kamu kira aku baik?"

Fiore mengerutkan dahi, "Hah? Kalau tipe sepertimu tidak bisa dibilang baik, apa sebentar lagi dunia akan runtuh?"

Gloria tertawa kering, "Bukan itu maksudku ..."

Si pirang itu tersenyum. "Aku mengerti sih, ini soal Karen 'kan?"

Langkah Gloria terhenti, "Apa aku semudah itu ditebak?"

"Nggak juga sih, tapi entah kenapa kalau kamu misuh-misuh, dari zaman sekolah juga, nggak jauh-jauh dari Karen ... atau Warden, atau Ann," kini, Fiore yang mendengus tidak nyaman. "Ann."

Gloria menatap Fiore lamat-lamat, "Gimana kalau kita berhenti dulu di Malus? Toh nggak buru-buru juga. Sekalian cek kalau ada yang belum kita beli."

Fiore melirik ke arah jam besar yang ada di taman kota dekat dengan mereka. Masih ada sekitar setengah jam sebelum Muriel bilang kalau dapur sudah siap dipakai. Fiore lalu mengangguk setuju.

🛠

Malus, satu-satunya kafe yang eksis di Kota Folia, dan kini menjadi kafe tertua di sana yang merupakan salah satu ikon wisata. Interior kafe tidak banyak berubah, hanya sekarang daftar menu kafe semakin banyak dengan variasi kue-kue dan minuman. Mereka berdua sama-sama memesan secangkir teh dan duduk di salah satu kursi yang terletak di teras kafe. Fiore sambil memeriksa daftar belanjaan mereka, turut bersama Gloria mengagumi kafe yang kini sudah berkembang pesat.

"Jadi ingat pas kita kesini bawa Ann buat baca surat dari kakaknya," Gloria menggeleng-geleng. "Oh, iya. Tugas terakhirku bareng sama kakaknya. Kita berdua macam orang bodoh mengenang gadis bodoh itu."

"Mengenang ... kayak dia gugur di medan perang saja," Fiore terkikik. "Memang, sih, kadang aku juga merasa bodoh kalau ingat-ingat Ann."

Gloria tersenyum lebar, "Bilang aja kamu kangen."

Fiore mendecak, "Ya. Kamu juga, 'kan?"

"Beda tipe kangen, kayaknya."

"Gloria."

Gloria pun tergelak. Fiore memeriksa daftar belanjaan sebanyak dua kali sebelum ia menyesap teh yang dia pesan. "Sebentar, ini semua kamu yang bayar? Belanjaan, termasuk teh-"

Gloria memutar bola matanya, "Perasaan kamu saja."

"Gloria, tadi Riel bilang buat patungan. Jangan begitu."

"Abaikan saja, toh cuma sekali-sekali," Gloria mengedikkan bahu. "Jarang juga kita semua bisa bertemu begini. Nanti aku yang bujuk Riel, kamu diam-diam saja."

Fiore melirik Gloria tajam, tapi akhirnya ia menyerah berpendapat. "... Oke, kembali ke topik awal."

Gloria bertopang dagu, merasa lidahnya sendiri getir. "Soal Karen, sebenarnya aku paham dia menyembunyikan sesuatu dariku, dan kamu-"

"Biarkan aku berbicara sebentar," sela Fiore. "Aku rasa mungkin kamu sempat ingin bertanya saat setelah kami berduel di saat sekolah, apa yang aku dan Karen diskusikan."

Gloria ingat saat itu, Karen yang umumnya tidak berusaha berbaur dengan orang lain, ternyata bisa dekat dengan teman sekelasnya. Blair yang merupakan teman sekamarnya pun bisa tahu kebiasaan-kebiasaan Karen yang selalu gadis itu tutup-tutupi. Gloria bisa menebak Karen bertanya pada Fiore soal sihir, terutama setelah tahu bahwa Fiore adalah keturunan klan sihir khas Angia, Titania.

"Mungkin ini tidak baik kalau kamu tahu dari aku, bukan dari Karen, tapi aku rasa kamu pantas tahu," Fiore mendesah pelan. "Karen lahir dengan sebuah sirkuit sihir spesial, kamu pernah dengar?"

Gloria mengangguk, "Pernah, Muspell Counter, 'kan?" tapi saat itu, Gloria tidak tahu-menahu sihir, ia hanya tahu nama itu dari kakek Karen.

"Lalu setelah mendengar kalau penduduk Spriggan adalah hasil asimilasi, kami berdua akhirnya mengerti kalau sirkuit sihir Karen berbahaya, walau sirkuit itu alamiah," jelas Fiore. "Jadi aku dan Karen mencoba untuk membuat sebuah 'sistem' agar Karen bisa menggunakan potensi sihirnya dengan leluasa sehingga ia tidak kehabisan tenaga di saat-saat genting."

Gloria menunggu Fiore selesai berbicara, dan ia sedikit lega kalau itu bukanlah perihal yang mengerikan. Malahan, itu adalah berita yang sangat bagus. Artinya, Karen mungkin tidak akan terus sakit-sakitan seperti dulu.

"Ini berita baik, bukan? Kenapa kamu seperti tengah membicarakan rahasia buruk?"

"Ada pihak lain yang mengetahui hal ini selain kami berdua," sergah Fiore. "Pihak itu adalah ..."

Mata merah Gloria menyipit.

"Weiss Schach."

Fiore tertegun, sementara Gloria tersenyum pahit. Weiss Schach, nama yang bagi mereka masing-masing tidak asing lagi.

"Kamu ... tahu sejauh itu?"

"Aku hanya tahu kalau dia punya koneksi tertentu. Aku tidak sampai tahu apa saja yang sudah dia korbankan demi organisasi itu," Gloria mengulum bibirnya. "Demi Spriggan."

Bagaimana pun juga, Karen adalah cucu si kakek—sosok yang berhasil mempersatukan Spriggan yang tercerai-berai, hingga pria karismatik itu mengakhiri hidupnya sendiri setelah gagal menghadapi Angia. Pastinya ia ingin memerdekakan Spriggan, walau dengan cara apa pun - termasuk bekerja sama dengan kongsi dagang yang sudah menurunkan 'personel' untuk sekedar 'mengamati' keadaan Angia saat itu. Kemungkinan Karen sudah lama berkontak dengan Weiss Schach, jauh sebelum ia memutuskan untuk menjadi duta Spriggan untuk Angia, Gloria tidak bisa membuktikan teori itu untuk saat ini.

Toh Karen tidak akan berbagi apa-apa dengannya.

"Berarti sampai saat ini, Karen tidak pernah bicara padamu soal ... soal apapun?"

Gloria menggeleng pelan, "Dia selalu bersikeras melakukan segalanya sendiri, Fio. Dia mungkin tidak ingin orang lain mengotori tangan demi kepentingannya. Aku pun yakin selain soal Muspell Counter, dia tidak bicara lain-lain denganmu, hm?"

Fiore terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Gloria menyesap tehnya, memberi jeda agar dirinya perlahan tenang.

"Kamu tidak salah, Fio. Aku senang kalau kamu bisa membantunya mengontrol kekuatan sihirnya," ucap Gloria. "Makanya malam ini aku ingin menjadi yang mulai berbicara dengannya."

"... Tuh, 'kan. Kamu memang terlalu baik."

Gloria memilih tidak menjawab sentimen itu dan sekedar menutup topik berat itu dengan tertawa lepas.

🛠

Mereka kembali tepat waktu ketika dapur sudah siap dan Muriel bersama dua orang asisten (baca: Hilde dan Blair) mulai menguasai area masak. Sembari menunggu mereka yang memasak, Gloria duduk-duduk bersama mereka yang tengah beristirahat setelah bersih-bersih, mengobrol ringan seputar pengalaman mereka selama digilir beberapa barak dan pos-pos pantau militer.

"Beda ya rasanya. Kalau dulu kalian susah banget diatur, sekarang kalian sudah bisa tahu diri." mulut pedas mantan ketua kelas berkumandang, diiringi pandangan matanya yang sinis.

"Ah ketua kelas, kalau mau muji yang tulus dong!" ujar Alicia. Kini si tahanan itu statusnya sudah bukan tahanan lagi, kata Eris dia bebas bersyarat.

"Saya senang melihat kalian semua kurang lebih sama seperti dulu, terkecuali mungkin perawakannya," komentar Lucia, anggun seperti biasa. "Mungkin akan lebih menyenangkan lagi kalau bisa sparing."

"Lucia, jangan ngide. Hilde lagi di dapur, kalau tuan putri-nya lepas nanti kamu kena damprat—ow! Putri!" cecar Alicia. Eris pun sontak menjewer telinga Alicia.

"Oh ya, bener gak ada karpet merah nih buat sang ratu?" Gloria menimpali.

"Belum sehari tapi aku mulai migrain," pungkas Eris. "Bercanda kalian nggak pakai rem. Kalian padahal sudah tahu dari awal kalau aku nantinya jadi ratu."

"Kapan lagi juga bisa bercandain ratu," Gloria membela diri. "Aku merasa upacara pemahkotaan itu sangat megah loh."

"Saya setuju soal itu," ungkap Lucia. "Saya kira Eris segera akan duduk di singgasana."

"Pemerintahan Bluebeard berubah setelah perang," Eris menjelaskan. "Kanselir diganti dengan pelaksana tugas. Aku yang harusnya nanti ikut dalam pemerintahan di usia 20, atau mungkin akan diundur ke usia 25 tahun sepertinya akan tetap menjadi perlambang saja selama situasi politik belum stabil."

"Dan tiba-tiba topiknya jadi berat," imbuh Val. "Eh, tapi aku penasaran juga. Apa Bluebeard jadi kacau sekali setelah itu?"

Eris bertopang dagu, "Kalau dibilang kacau sekali sih, tidak. Pemerintahan Bluebeard dan petinggi Norma yang masih dianggap bersih mampu mengendalikan keadaan ..."

Pembicaraan itu berlangsung seperti yang kurang lebih apa yang diberitakan di media secara luas: Bluebeard yang perlahan pulih, Norma yang membantu Bluebeard, lalu ada juga kelompok peneliti Norma yang mengatasi dampak dari perang. Seingat Gloria, kelompok peneliti ini dikepalai oleh kolega Instruktur Claudia, Diakon Yuri.

"Sejujurnya, aku merasa ada yang ganjil, tapi sampai saat ini aku masih belum bisa menemukan titik keganjilan itu." ucap Eris.

"Oh?" Gloria menelengkan kepala. "Apa itu?"

"Kayaknya ini topik lebih bagus dibahas nanti saat kita ngerekap, putri? Menurutmu gimana, Val?" tanya Alicia.

"Benar juga. Sekarang dengan komunikasi membaik, aku tidak perlu capek-capek ngerekap untuk kalian," imbuh ketua kelas. "Tapi nantinya kita akan terpisah, apa kita harus segera memikirkan metode baru untuk kita mengumpulkan informasi?"

"Kita juga perlu membahas lebih lanjut tentang Perang Megah Para Peri dan lain-lain," timpal Lucia. "Sepertinya memang ini bukan momen untuk istirahat, ya?"

Gloria menghela napas panjang, namun seperti yang lainnya, ia pun setuju. Waktu mereka sangat sedikit, informasi yang mereka terima melimpah-ruah dan perlu dipilah. Tugas besar ada di depan mata mereka dengan secercah harapan bisa menemukan jawaban mengenai Progenitor, namun terdapat banyak juga implikasi yang kurang menyenangkan.

"Kita selamat dari perang sipil, dan nantinya kita akan perang dengan peri karena turbulensi sihir yang datangnya ratusan tahun sekali?" Val mendecak. "Kok seperti sudah jatuh, tertimpa tangga?"

Alicia tertawa kering, "Aku juga terheran-heran, kenapa kita dihadapkan hal aneh-aneh begini. Tapi kita tidak punya banyak pilihan, ya 'kan? Cuma bisa mencoba, atau mati karena mencoba!"

"... Petuahmu nggak membantu, Alicia." cibir Eris, dan seisi ruangan itu meledak tertawa.

Apa yang sebenarnya menanti mereka di ujung usaha mereka, kebenaran yang nyata atau kepalsuan yang dapat mereka terima?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro