IV. | Sebuah Firasat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pembicaraan mereka di tengah makan malam bersama setelah dua tahun lamanya tidak bersua itu bisa dibilang cukup berat, walau Gloria sudah menduga mereka semua akan berfokus ke sana.

Kata kunci pertama: Perang Megah Para Peri. Kata kunci kedua: Y.1344, dua tahun dari sekarang. Kata kunci ketiga: Instruktur Claudia yang secara khusus memilih mereka bersebelas.

Dari informasi singkat yang mereka dapat, 'Perang Megah Para Peri' ini sepenuhnya adalah dampak dari turbulensi sihir.

'Turbulensi sihir' adalah kondisi dimana konsentrasi energi di garis ley - tempat dimana segala energi alam terkumpul - mencapai titik tertingginya. 'Turbulensi sihir' ini pernah terjadi di Endia ratusan tahun silam, di sebuah era yang dikenal dengan 'Era Kekuatan'. Konon, di era tersebut pecah banyak sekali peperangan, termasuk diantaranya Perang Seratus Hari antara manusia dengan Sylph di Angia, juga kejadian yang membuat penduduk Kaldera kehilangan kontinen mereka.

"Apa selama ini Para Peri tidak pernah menyukai manusia? Mengapa sampai perang terpicu lagi?" pertanyaan Lucia terdengar polos.

"Kurasa kita tidak akan tahu jawabannya, terkecuali kita bisa menanyakan itu ke peri," pungkas Eris. "Artinya mungkin ... skuadron Glacialis bisa bertanya pada Nymph?"

"Rasanya nggak mungkin semudah itu deh, tapi aku yakin pasti Instruktur Claudia ada rencana condong ke arah sana," imbuh Fiore. "Daftar tugas ini cukup ambigu, skuadron kami disuruh mengawasi pemilik Kitab Harapan Palsu? Kenapa harus seperti itu?"

"Atau Instruktur Claudia curiga kalau-kalau manusia-lah yang akan jadi dalang perang ..." gumaman Val mengundang lirik mata semua orang di ruangan. "Hei, hei. Jangan menatapku begitu! Mana mungkin, 'kan? Yang bisa mengontrol kinerja sihir besar bukan manusia, tapi para peri."

"Bisa saja, lho? Coba ingat Perang Sipil Angia. Ada yang berusaha menghimpun kekuatan untuk menjadi pemenang perang," Blair menimpali. Tangannya yang memegang sendok untuk menyuap kare buyar. "Yah, tapi ini sekedar teori, sih. Kita mana akan tahu sebelum kita mengevaluasi sendiri."

Mereka semua tampak telah menerima tugas yang diberikan, walau keraguan sedikit banyak muncul. Seperti kata guru mereka, 'tidak ada salahnya mencoba cara ini, dibanding kita memilih untuk diam setelah mengetahui akan ada sesuatu yang terjadi'. Keyakinan beliau tidak salah, dan mereka sebagai murid dan perwira tidak akan semudah itu mengingkari kepercayaan yang sudah beliau berikan.

Di tengah kebingungan mereka yang menerima tugas 'besar' itu dan masih berusaha mencerna informasi banyak dalam waktu singkat, Gloria bisa menangkap antusiasme dari beberapa temannya.

"Eris, kira-kira perlu berapa lama kah kita berusaha mengontak Pusara?" tanya Hana. "Hana tidak paham hal-hal seperti itu."

"Sesuai penjelasan Matron Thalia sih, mungkin satu tahun saja tidak cukup. Skuadron kita kemungkinan yang akan mengentaskan tugas paling mepet," Eris menghela napas panjang. "Kita juga tidak bisa seenaknya menuju Pusara, bisa-bisa diganjar oleh hukum antarkontinen kalau gegabah."

Hana merajuk, kembali fokus ke piring karenya. Gloria tak pelak tersenyum, Hana pastinya menantikan banyak kegiatan yang perlu bergerak, sama sekali ia tidak ingin ikut-ikut perihal diplomasi.

Sementara, di bagian skuadron Ignis, Gloria ada bersama dengan mereka yang melek teknologi, Muriel sebagai komandan, dan Lucia yang paling kuat di antara mereka. Instruktur Lysander yang menjadi pembimbing mereka bilang kalau pembagian ini sudah sesuai dan berimbang, Gloria sepaham dengan beliau.

Instruktur Lysander akan memberitahukan detail tugas mereka seminggu dari sekarang, yang juga merupakan tanggal keberangkatan mereka dari Angia ke Kaldera. Selama seminggu ini, Instruktur Lysander mengharapkan mereka berempat untuk bersiap-siap dan menyelesaikan problem apa pun di Angia pra-keberangkatan karena beliau tidak bisa menjamin tugas mereka akan selesai dengan cepat.

"Kaldera ya ... teknologi berarti terkait dengan pembuatan benda-benda, 'kan? Mungkin di sana ada juga yang akrab dengan alkemi!" seru Blair.

"Saya tidak terlalu banyak tahu tentang Kaldera jadi saya akan mengikuti bimbingan kalian semua." Lucia menunduk santun.

Seiring percakapan yang terus mengalir itu, Karen yang merupakan bagian dari skuadron Glacialis membisu. Ia sekedar memerhatikan, menghabiskan makanannya, dan tidak mengimbuh sebelum Fiore yang mengerucutkan topik. Muriel pun lebih banyak diam, tapi Muriel seperti menikmati tingkah laku teman-teman sekelasnya seraya tersenyum penuh arti.

"Oh ya, kenapa Alicia masuk Glacialis? Sisaan, kah?" Gloria bertanya pada Fiore. Eris yang duduk di samping Gloria nyaris tersedak.

"Jahat!" pekik Alicia. Pemilik rambut agak kehijauan itu manyun, Gloria tidak bisa lagi menahan tawanya.

"Kamu jelasin sendiri, gih, aku malas." imbuh Fiore, sekarang separuh kelas pun turut tergelak.

"Kok pada jahat semua sih!" balas Alicia. "Intinya sih, ternyata ibuku itu orang Aira."

"Hah?" Blair mendongak. "Tapi kok kamu nggak ada sihir-sihirnya?"

"Maaf ya, saudari Blair, tapi bukan berarti semua yang berdarah Aira bisa sihir!" Alicia menyilangkan tangan di depan dada. "Aku juga kurang tahu persis kecuali yang tertulis di catatan milik Kepala Sipir, tapi mungkin korelasi ini akan berguna nanti di Cosmo Ostina."

Gloria turut menggelengkan kepala, kelas mereka ini memang isinya kelewat unik. Hampir tidak bisa segalanya - mulai dari asal-usul hingga pertemuan mereka semua di sini - dibilang sebagai sekedar 'sebuah kebetulan'.

🛠

Pembicaraan yang tidak ada habisnya dan mereka yang mengobati kerinduan setelah dua tahun lamanya tidak berjumpa, Kelas Sembilan terus bercengkerama hingga cukup larut.

Sesuai janji, Karen menemui Gloria di teras rumah sewaan itu. Bukan taman yang besar dan tidak ada kursi di sana, tetapi teras itu cukup jauh dari ruang utama sehingga mereka bisa berbicara privat.

Malam itu tidak terlalu dingin, tapi Gloria sengaja membawa jaket lebih ketika keluar. Karen bersandar di salah satu tiang, ia tengah membuka sebuah surat di layar antarmuka Cincin Peri-nya. Mendapati Gloria mendekat, ia tidak menutup layar itu, membiarkan Gloria menunduk membaca isinya.

"Dari orang tuamu?"

Karen mengangguk, "Aneh, ya. Padahal mereka biasanya tidak terlalu peduli untuk mengirim surat."

"Khawatir?"

"Tidak juga, cuma membicarakan soal pasca perang." ujarnya dengan nada datar.

Berbeda dengan Gloria yang menganggap orang tuanya sebagai atasan, Karen sama sekali tak acuh dengan keluarga selain kakeknya. Sejauh yang ia tahu, kakek Karen-lah satu-satunya yang mau merawatnya saat itu, hingga akhirnya beliau wafat. Orang tua Karen bisa dibilang 'pemimpin' Spriggan ketika sang pemersatu tiada, dan kemudian mereka menjadi bagian pemerintahan provinsi dan menyetujui pendudukan Angia di sana.

Tidak ada tanda-tanda akur di sana, dan Gloria tidak ingin ikut campur.

"Jadi, ada apa?"

Karen menatapnya lurus. Gloria mengambil jarak selangkah mundur. Di hadapannya kini Karen Ray Spriggan seorang diri, tapi Gloria tidak bisa melihatnya sebagai teman kecilnya lagi. Bibir Gloria terasa kelu, dia tidak tahu dari mana ia harus memulai.

"Sudah dua tahun kamu menyimpan kebohongan itu, bukankah sudah saatnya kamu berterus terang?"

Karen yang mendengar itu pun tertegun, Gloria yang mengucapnya merasa itu bukan suaranya sendiri. Getir. Dingin. Sekeliling mereka sejenak sunyi. "Kebohongan?"

"Kamu pikir aku tidak tahu seberapa banyak kamu berbohong, hanya demi Spriggan?"

Untuk pertama kalinya, mata merah itu terbelalak kaget, alih-alih baru pertama kalinya Karen Ray Spriggan melihat teman kecilnya itu memasang raut wajah penuh amarah.

Seperti yang Gloria bilang pada Fiore sore tadi, ia bukan orang 'baik'. Tangannya mengepal. Segala emosi membuncah di benaknya. Mungkin, mungkin emosi ini tidak bisa disebut geram, karena Gloria terlihat terlalu lembut dan penyabar untuk itu.

Tidak. Bukan. 'Aku' bukan orang baik.

"Atau selama ini kamu kira aku sudah tahu segalanya dan kamu bisa terus-terusan berjalan sendiri, begitu?" tangis mulai meleleh dari ujung matanya. "Kamu—kamu kira kamu harus melakukan segalanya sendiri, tidak mempercayai orang lain selain dirimu, karena kamu anggap selain dirimu tidak ada yang mampu?"

"Glo ... ria?"

"Jawab aku!" lolong Gloria. "Weiss Schach, Spriggan, E8 ... apa sebenarnya maumu!? Apa sebenarnya rencanamu!? Kenapa—kenapa kamu tidak pernah mempercayaiku, Karen!?"

Gloria sudah tidak bisa lagi peduli seberapa kencang suaranya menggema, atau seberapa banyak ia sudah berbicara. Pandangannya mengabur seiring dengan air mata yang tidak terbendung, tangannya sempurna mengepal dan tubuhnya bergetar hebat.

Pengecut, ingin rasanya Gloria berkata pada dirinya sendiri, pengecut, mana ada orang kesal malah menangis.

"Gloria, aku-" derit langkah, Karen membentangkan tangannya mendekat. Gloria membiarkan tangan itu menangkup wajahnya. Tangan Karen selalu, selalu terasa lebih hangat. "Aku tidak ingin kamu terluka."

"Terlambat kalau kamu masih berpikir begitu," isaknya. "Kamu pastinya paham sudah sejauh mana aku—kita semua terlibat."

Mereka berdua berdiri dalam diam cukup lama. Gloria mencoba menghapus air matanya, mencoba memandang Karen tanpa mengedip. Karen masih menangkup wajahnya, matanya melirik ke arah bawah, sejenak berputar, ia terlihat ragu dan enggan.

"Aku ... menukar keahlianku untuk E8. Sebagai gantinya, mereka menjanjikan peluang."

"Peluang," desis Gloria. Keahlian, Gloria berpikir sejenak. Ia segera berpikir bahwa itu adalah piawai Karen dalam meramu rencana. Otaknya yang brilian. Kemudian, pemandangan itu berubah saat Ekskursi Daerah Redcrosse, ketika para 'agen' E8 menembak jatuh Hana.

"Apa peluang itu sangat berharga, sampai kamu bertaruh segalanya ... di belakangku, di belakang kami?"

"Dengar, aku—saat itu aku tidak punya pilihan lain, Gloria," Karen menghela napas berat. "Mereka datang di saat Spriggan ada di titik terendah. Mereka memberikanku-"

"Lalu kenapa kamu tidak pernah bicara padaku soal itu?" gigi Gloria bergemeletuk. Tangannya mencengkeram lengan kemeja Karen. "Kenapa kamu mengemban semuanya sendiri? Kamu yang biasanya punya seribu satu cara, kenapa kamu tidak-"

"Kamu tidak tahu apa-apa-"

"Karena itu aku ingin mendengarnya langsung darimu, Karen!"

Karen tersentak. Gloria merasa tenggorokannya sendiri seperti terbakar.

"Kamu bisa bilang kalau kamu tidak ingin aku terluka, tapi... kamu ... tidak pernah mempercayaiku, ya?"

Karen menunduk, genggaman Gloria di lengan itu pupus. Akan tetapi, di malam itu, Gloria tidak akan membiarkan kesempatan–dan Karen–pergi begitu saja.

Gloria kini menarik Karen, melingkarkan lengannya di tubuh yang kini lebih kuat dibandingkan gadis kecil lemah yang selalu ada di memorinya dalam peluk. Karen sedikit lebih tinggi dari Gloria, dan kalau Gloria memeluknya, Karen akan selalu tegang seperti patung. Hal itu tidak pernah berubah dari waktu ke waktu, dulu hingga sekarang. Di antara mereka pun, Gloria yang berterus terang. Gloria yang akan mulai memeluknya.

"Kalau begitu," bisiknya. "Apa yang harus kulakukan agar kamu percaya padaku?"

Tidak disangka Gloria, tubuh dalam rengkuhannya itu rileks. Karen mendorongnya sedikit, Gloria balas menatap Karen yang matanya turut berkaca-kaca.

"Kamu bodoh," ujarnya.

"... Eh?"

"Kukira akan ... mudah membuatmu tidak memikirkan ini," Karen memejamkan matanya. "Kamu benar-benar—"

Hari itu, Karen memeluknya kembali. Karen membenamkan wajahnya di relung leher Gloria dan Gloria tidak mampu berkata-kata. Mereka tetap berada sedekat itu dalam beberapa saat yang terasa lama, hingga Karen menarik diri. Tangan hangat itu membelai pipinya, menghapus jejak tangis yang ada di sana, lalu Karen menarik senyum.

"Di waktu yang singkat ini, belum saatnya aku bisa bercerita segalanya padamu, dan aku yakin kamu akan melihat jawabannya nanti di Kaldera," ibu jari Karen terhenti di ujung mata Gloria. "Paling tidak, aku akan memberitahukanmu sebuah ... rahasia."

Gloria membiarkan Karen terus berbicara. Sesekali ia membalas tatapan Karen dengan penuh arti.

Sejauh ini, yang bisa ia lakukan hanya sekedar meyakinkan Karen bahwa ia akan selalu ada bagi Karen, apa pun yang terjadi, dan apa pun yang akan menjadi pilihan Karen nantinya.

Karen mendekat, berbisik tepat di telinga Gloria,

"E8 punya salah satu 'kunci' yang akan mengguncang Endia."

Gloria terkesiap, lagi sekarang segalanya terasa lebih jelas, lebih nyata. Ia paham apa yang harus ia cari dan dari mana ia harus mulai mencari.

"Itu saja yang bisa kuberitahukan, selebihnya-"

"Karen."

Sebelum Karen sempat menarik dirinya, Gloria memegang pergelangan tangan itu, menarik tangan Karen untuk menangkupnya erat di depan dadanya. Matanya menatap lurus teman kecilnya itu yang mulai membuka diri, mulai berusaha untuk percaya.

"Aku akan menunggumu, kapan pun kamu siap," tukas Gloria. "Jadi, jaga dirimu baik-baik di Aira, ya."

Gloria dapat melihat semu merah merona di pipi pucat itu, dan Gloria membalasnya dengan seulas senyum, penuh harap dan bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro