Intermission 001: Yang Selalu Ada

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia bermaksud untuk mencari udara segar setelah penat membahas topik mengenai tugas, namun sepertinya ia melangkah di sebuah ladang ranjau.

Fiore Angelica Alba mundur teratur dari apa yang ia lihat di teras belakang rumah sewaan, menutup kedua telinganya dan berusaha tidak menguping apa yang tengah dua orang itu tengah bicarakan.

Baru saja sore ini Fiore membicarakan soal Karen dengan Gloria. Fiore sudah lama paham bahwa ada kesenjangan antara Gloria dan Karen, terutama di kala Karen membagi tentang dirinya dan sedikit tentang Spriggan. Fiore tidak menyangka ia dan Karen mungkin akan menjadi orang dekat, dan selama dua tahun ini, mereka menyempurnakan teknik agar Karen bisa memakai sihirnya secara optimal.

Mendengar Gloria, orang yang seharusnya paling dekat dengan Karen, tidak pernah mengetahui apa pun membuat Fiore sedih.

Ia mengerti kalau mungkin saja Karen tidak ingin membuat orang sekelilingnya khawatir atau celaka karena jalan yang diambilnya, tapi Fiore yakin Gloria pun tidak selemah itu.

Berbeda dengan mereka yang tidak punya pilihan selain Ann menyerahkan diri.

Fiore tersenyum melihat Gloria dan Karen dapat berbicara empat mata di waktu yang singkat ini, namun ketika hendak menjauhi teras, sesuatu terjadi.

"Fio."

Hampir saja Fiore berteriak keras ketika ada yang memanggil namanya. Ribuan sumpah serapah yang tidak pantas diucapkan wanita muda yang masih dalam masa pertumbuhan atau perwira yang masih dalam masa penangkaran nyaris saja meletus saat Fiore mengetahui siapa orang yang memanggilnya itu.

"... Hana," geramnya dengan suara rendah. "Jantungku hampir copot."

"Maaf, maaf," bisiknya. "Hana juga kebetulan sedang keluar dan melihat ... mereka berdua."

Hana menunjuk ke arah taman. Fiore mengerjap. Mereka berdua diam dalam hening yang aneh dan menggaruk batin.

"Bagaimana kalau kita jalan ke arah kota saja?" Fiore mengidekan. "Daripada kita berdua ... berdiri aneh begini."

"Boleh, Fio~"

"Ssst. Jangan keras-keras."

Hana menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia berjinjit mengekori Fiore yang memimpin jalan.

Waktu telah menunjukkan hampir lewat tengah malam, akan tetapi jalanan Kota Folia masih cenderung ramai. Fiore melirik ke arah Malus yang sudah tutup, lalu ke arah bar kota yang tentunya masih buka. Mereka masih di bawah umur untuk menyesap alkohol (dan juga Fiore tidak terlalu peduli soal alkohol), lagi rasanya akan aneh membawa Hana kesana hanya untuk sekedar duduk-duduk.

"Mau beli minum di mesin minuman sebelah stasiun saja, Fio? Harusnya ada minuman hangat, sih."

Seakan membaca pikirannya, Hana menunjuk pelataran stasiun. Fiore memandang Hana keheranan. Ia tahu Hana adalah seorang yang cukup peka, lagi Fiore tetap merasa aneh mendengar Hana begitu dekat dan perhatian.

"Baiklah," Fiore menyetujui ide itu. Di pelataran stasiun juga pasti ada bangku panjang untuk mereka duduk.

Mereka berdua menepi ke teras stasiun yang terang-benderang. Ada pemberangkatan malam sehingga di sekitar loket masih banyak penumpang berlalu-lalang. Fiore dan Hana mencari mesin minuman yang tidak digandrungi orang, Hana lalu mencari tempat untuk mereka duduk.

"Hana mau apa?"

"Apa saja yang manis, Fio!"

Fiore tertegun memerhatikan daftar minuman itu. Ia tidak tahu Hana suka kopi atau tidak, dan ada juga pilihan gurih semacam sup kaleng. Pada akhirnya Fiore membelikan kopi, yang pahit untuknya dan yang manis untuk Hana.

"Oh! Ini merek kesukaan Karen~" ucapnya senang. Deru napas mereka membumbung putih di tengah malam musim dingin. Hana memilin kaleng hangat itu di tangannya dengan bahagia.

"Hee, jadi Karen suka yang beginian, toh." Fiore membuka kaleng kopi miliknya dan mulai minum. Rasa pahit itu sekedar membuatnya terjaga sementara.

"Karen memang terlihat begitu, tapi dia sangat suka manis-manis," ujar Hana. "Kalau misal dia lelah dan tidak sedang demam, berikan saja yang manis, Fio."

Fiore mengerjap, "Eh?"

"Kamu juga khawatir dengan Karen, 'kan?"

Ya, benar-benar aneh mendapati Hana setajam ini—dan rasanya berbeda dengan ketika mereka masih bersekolah. Fiore tidak merasa Hana semenyebalkan yang dulu ia ingat, memanggil semua orang dengan riang dan lantang. Fiore juga sudah tidak keberatan dipanggil 'Fio' setelah sekian lama, teman-teman sekelasnya juga sekarang memanggilnya demikian.

Fiore jadi ingat ketika mereka semua kehilangan Hana saat dia absen karena terapi. Setelah terapi dan belum dinyatakan sembuh benar, Hana jadi salah satu yang aktif di medan perang. Tentara kecil itu memang gila.

"Kamu senang memerhatikan orang ya, Hana?"

"Banget!" sambarnya riang. "Kalian semua menyenangkan, sih. Masing-masing punya ... err, apa yang biasa Luce bilang ... oh, ciri khas!"

"Kadang aku merasa kamu paling kekanakan diantara kalian bertiga dari Spriggan, sekarang aku mengerti kalau aku salah."

"Hana paling muda, jadi wajar!"

"Hee, kamu sadar diri toh."

"Hana tidak sebodoh itu, Fio!"

Fiore berulas senyum. Hana memang tetap Hana—yang paling bersinar di Kelas Sembilan, matahari kecil mereka. Ia jadi teringat Lucia yang kadang terpengaruh oleh Hana karena mereka teman sekamar.

"Fio tenang saja, ya. Gloria dan Karen sering sekali begitu," Hana mengisyaratkan dengan tangan. "Tetapi mereka tidak melakukan hal buruk, kok! Mereka nantinya pasti akan lebih akur dan lebih saling percaya!"

"Kamu seyakin itu dengan mereka berdua?" Fiore bertanya, penasaran. Kalau yang bisa Fiore lihat di permukaan, mereka berdua memang dekat, walau hubungannya merenggang seiring waktu dan banyak sekali rahasia yang tak tersampaikan dan beban tanggung jawab yang masing-masing mereka pikul.

"Hana percaya dengan kalian semua," jelasnya. "Gloria dan Karen lebih spesial karena mereka membantu Hana bisa sekolah. Karen suka seenaknya sendiri, tapi Karen peduli dengan Hana, apalagi Gloria! Gloria juga sama!"

Sebuah tanda percaya yang terdengar begitu naif namun sederhana, sangat Hana, pikir Fiore. Lagi, Hana tidak seperti akan menyesali kata-katanya barusan. Sejenak Fiore merasa cemburu. Bagaimana bisa dengan mudah membuka diri dan percaya dengan orang lain?

Fiore tertunduk. Ia kemudian mencari kalung berlambang kupu-kupu yang selalu ia kenakan sejak saat itu. Dirinya pun mempercayai Kelas Sembilan, sama seperti Hana, akan tetapi mungkin belum bisa seperti Hana yang dapat memercayai mereka tanpa sedikit rasa ragu. Tentu, seperti Karen, mereka punya agenda masing-masing, walau semua dapat dibicarakan dan mereka semua akan mendengar segala masukan.

Mereka nantinya akan terpecah dan terpisah lebih jauh dibanding saat wajib militer. Kaldera, Aira, dan Pusara—apa yang akan menunggu mereka semua di tugas ini? Apa mereka bisa menemukan jawaban dari Progenitor?

"Ada apa, Fio?"

Fiore menggeleng, "Tidak, bukan apa-apa."

Ia menenggak kopinya habis dan segera membuang kalengnya. Fiore kembali ke mesin minuman untuk membeli kaleng kedua.

"Jangan banyak-banyak minum kopi, kata Riel nanti menghambat penyerapan kalsium!"

Fiore mendecak keras, "Kamu ngatain aku pendek, hah!?"

Untuk pertama kalinya sejak mereka berkumpul, Fiore merasa lebih lega. Tidak disangkanya kelegaan itu akan datang setelah berbicara dengan mereka yang kemungkinan paling tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi di luar sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro