Intermission 004: Senjakala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perjalanan dengan pesawat jet itu terasa cukup lama, mengingat tidak banyak yang bisa mereka lakukan ketika mengudara. Perhentian untuk mengisi bahan bakar dan mengistirahatkan mesin di Spriggan pun berjalan singkat, mereka pun fokus untuk membantu kru pesawat untuk melakukan maintenis dibandingkan melihat-lihat sekitar tempat jet mendarat.

Lucia terkadang mengamati Gloria, kini pimpinan skuadron mereka, dan kembali merenungkan tentang pembicaraan mereka yang belum lama berlalu.

Mereka adalah tim. Konsentrasi tim ini lebih terpusat karena anggota mereka yang lebih sedikit dibandingkan ketika dahulu masih sekelas, sehingga sedikit saja ada yang ganjil, siapa saja pasti akan segera merasakannya.

Gloria Wiseman sendiri adalah pilihan yang tepat untuk memimpin skuadron Ignis, Lucia yakin, karena Gloria yang memiliki latar belakang sebagai pewaris Perusahaan Wiseman dan melek perkembangan teknologi. Selain itu, Gloria termasuk satu dari beberapa anggota Kelas Sembilan yang cukup berkepala dingin dan mampu diandalkan.

Akan tetapi, Gloria memiliki 'kelemahan' yang begitu jelas - terutama apa pun berkaitan dengan Spriggan dan teman kecilnya Karen Ray Spriggan. Gloria sendiri paham mengenai hal ini karena kerap kali yang lain mengingatkannya, juga mencoba menjaga agar Gloria tidak gegabah. Walau demikian, Lucia bisa merasakan Gloria pastinya tidak akan tinggal diam ketika melihat peluang.

Lucia tidak bisa menyalahkannya, tentu saja. Karena siapa pun mungkin akan berperilaku sama saat dihadapkan dengan pilihan. Apa yang menjadi pilihan Gloria nantinya, Lucia berikrar, ia akan menjadi orang yang membantu Gloria.

"Luce?"

Lucia menurunkan kotak kosong yang tadinya dipakai untuk menaruh perkakas yang sekarang tengah digunakan untuk melakukan maintenis pesawat di luar. Ia hendak kembali ke bagian kargo dan menaruh kotak kayu itu di tumpukan benda habis pakai. Muriel memanggilnya dari arah dapur, wanita yang kini lebih besar, tinggi, dan kekar tengah memakai celemek. Ia melambaikan tangan mengisyaratkan Lucia untuk mendekat.

"Apa kotak itu dipakai?"

"Tidak, sepertinya. Kamu ingin menggunakannya?"

"Kalau boleh," ucapnya. "Aku hendak memisahkan beberapa bahan makanan yang tidak bisa masuk ke kulkas."

Lucia pun menuju dapur kecil yang ada di pesawat itu, yang kini sudah menjadi markas kedua Muriel. Muriel sudah menyiapkan empat gelas tinggi di atas meja yang berisi kopi dingin. Musim dingin belum berakhir di Angia, namun semakin dekat dengan Kaldera, mereka merasa seperti mendekati musim panas.

Katanya, musim di Kaldera cuma dua, musim kering dan musim basah, terutama karena Kaldera memiliki banyak sekali gunung api dan pegunungan api yang nonaktif. Menurut catatan, hal itu tidak terlalu berpengaruh di iklim Pulau Melayang lagi karena Pulau Melayang berada jauh di ketinggian dari permukaan yang sudah tidak lagi ditinggali, hanya saja musim basah menjadi lebih panjang.

"Boleh saya bantu?" Lucia menawarkan diri.

"Kamu tidak sibuk ikut bantu di luar?"

"Blair dan Gloria sudah cukup, saya rasa," Lucia terkekeh sendiri. "Mereka paling ribut kalau sudah masalah mesin dan buat-membuat."

Muriel turut tersenyum. "Memang ya mereka kalau sudah soal itu rasanya seperti kakak-adik yang gak bisa akur."

Lucia membantu Muriel merapikan dapur. Ia menyusun bahan-bahan makanan di kotak kayu sesuai arahan Muriel, memberi sekat antara bahan makanan yang mudah busuk sesuai dengan tanggal yang disebutkan, lalu pelan-pelan menyusun telur-telur.

"Bagaimana perkembangan berpedangmu? Apa ada hal-hal aneh di Leanan sejak terakhir kamu ke sana?"

Lucia menoleh, "Eh?" ia jadi bingung dari mana mulai menjawab. "Yah, kadang Eris meminta saya untuk mengajar di Bluebeard, tapi karena kita sama-sama sibuk, saya belum bisa memenuhi permintaannya."

Lucia ingat sekali ketika Eris—sekarang dia ratu, lho! Ratu!—dengan menggebu-gebu ingin Lucia punya dojo latihan ilmu pedang Leanan di Bluebeard. Lucia tidak merasa dirinya adalah seorang pengajar yang baik atau guru yang mampu memberi nasihat. Memang separuh hidupnya habis mengasah perpedangan dan bertahan di tengah didikan keluarga yang tak kenal ampun dengan 'ketidakmampuan'. Antusiasme Eris dengan perpedangan sangat patut dipuji, walau Lucia kadang terperangah saking Eris sangat berbinar-binar kalau sudah berbicara soal pedang.

"Aku sempat kaget lho, pas kamu datang bawa tiga pedang," Muriel tengah mencuci sayur yang baru didatangkan ke pesawat. "Kamu benar-benar bisa pegang tiga?"

Lucia tersipu, "Latihan keras mengharuskan saya bisa memegang Tiga," ia tidak akan pernah berkata kalau ia 'bisa', tentu saja. Ia tidak suka merasa mendekati angkuh. "Tapi mengingat peta Pulau Melayang, saya rasa pertarungan dengan pedang malah akan menghambat pergerakan."

"Hmm, benar juga ya. Pulau Melayang jalanannya sempit sekali. Kepadatan penduduk dan pembangunan jadinya memangkas lahan-lahan kosong."

Kaldera masih terasa asing bagi mereka, sebanyak mereka mencoba belajar selama penerbangan, tapi Lucia menemukan citra gedung-gedung pencakar langit dan jalanan yang cenderung lebih kecil dan sempit sebuah nuansa baru ketika mereka memerhatikan peta Pulau Melayang.

Melihat peta dan persebaran sektor, Lucia selalu memikirkan soal bagaimana mereka menghadapi musuh bila diperlukan. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan sihir (walau diantara mereka tidak ada yang sangat pandai dengan sihir), dan senjata yang mereka gunakan cukup besar untuk wilayah tarung terbatas. Lucia membawa tiga pedangnya untuk berjaga-jaga, tapi sepertinya ia hanya akan bisa membawa satu pedang saja.

Selepas menyusun bahan-bahan makanan dan membantu Muriel merapikan sekitaran dapur, Lucia melihat satu-satunya pedang yang kini tersemat di pinggangnya. Pedang itu adalah senjata yang selalu ia bawa, bahkan saat ia memutuskan untuk tidak menunjukkan ia bisa berpedang di masa sekolah. Citranya sebagai 'monster' melekat di benak Lucia sejak dulu. Tidak ada murid ayahnya yang berani melakukan sparring dengannya karena kemampuannya yang dianggap menakutkan. Paling-paling murid ayahnya itu akan bertarung dengan kakaknya saja kalau-kalau mereka ditunjuk untuk berlatih dengan serius di dojo.

"Soal Leanan, Muriel," Lucia menyarungkan kembali pedangnya. "Saya akhirnya bertemu dengan kakak saya."

"Hah? Kakakmu?" Muriel mengerling. "Bukannya waktu itu kamu bilang kakakmu sudah ..."

Lucia menarik sebuah foto dari kantong seragamnya, foto yang diambil dengannya dan sang kakak di ibukota Leanan sehari setelah mereka dikumpulkan di Folia.

"Sebelum kita semua bertemu, ketua kelas dan Alicia berbicara dengan saya perihal mereka bertemu dengan seseorang mencari saya sejak dua tahun lalu," pungkas Lucia. "Mereka baru sempat menyampaikan soal itu saat ini, setelah mereka merasa segalanya lebih stabil."

Muriel memerhatikan foto itu, "Ini ... Wali Provinsi Caelia, yang waktu itu kita temui di Redcrosse?"

Lucia menatap foto itu dengan sedikit haru. Setelah pembantaian keluarganya dan kakaknya yang diasingkan untuk dieksekusi, Lucia tidak merasa memiliki keluarga, hingga akhirnya ia bersama Kelas Sembilan. Pedang yang tadinya ia ingin selamanya kubur setelah segala yang terjadi pun kembali memiliki arti karena Kelas Sembilan. Tidak lagi ada orang yang menyebutnya sebagai monster, atau menganggapnya sebagai mesin yang hanya tahu soal berpedang dan membunuh. Tidak ada yang mengomentari soal tangannya yang lecet dan penuh luka dan tidak mencerminkan seorang 'bangsawan'. Lucia bahkan sekarang sudah lebih nyaman memperlihatkan bahwa ia adalah pengguna pedang, dan tidak lagi perlu ia menyembunyikan kedua tangannya yang jelek itu dibalik sarung tangan.

Saat Val dan Alicia menceritakan tentang kakaknya yang ternyata masih hidup, hingga akhirnya Lucia bertemu lagi dengan sang kakak yang sudah tidak bisa memegang pegang karena tangannya yang diamputasi pun terasa seperti semu. Kakaknya yang dulu merupakan rekan berpedangnya kini adalah orang asing di kehidupannya, dan bahkan sang kakak menyatakan kalau tidak masalah bila Lucia menganggapnya bukan sebagai seorang kakak.

Muriel menyodorkan satu gelas kopi ke arah Alicia sembari mendengarkan cerita itu.

"Tidak apa-apa saya minum duluan?"

Muriel menarik sebuah teko besar transparan dari balik konter, "Tenang, masih banyak kalau kamu mau nunggu minum bareng Blair dan Gloria. Lagipula, yang manis-manis sambil cerita yang berat-berat akan membuat hati lebih ringan."

"Ah! Maaf saya sudah bercerita begini pada kamu yang—tinggal di panti."

Muriel sekedar tersenyum, "Tidak masalah, Luce. Aku paham semua memiliki cara pandang mereka masing-masing, soal teman, soal keluarga ..."

Seperti biasanya, Muriel tidak pernah berubah—selalu menjadi pendengar tanpa permisi dan tanpa disuruh, lagi mereka juga tidak akan menolak kehadirannya. Lucia meneguk habis kopi dingin itu dan mengembus asap dingin.

Kopi itu dingin sekali tapi rasanya pikirannya menjadi lebih jernih.

"Pendapatmu soal Gloria, Luce?"

Ah, pertanyaan yang ingin sekali Lucia tanyakan pada Muriel. Lucia merasa lega bahwa Muriel juga sama bimbangnya dengan dia.

Atau, Muriel tidak pernah bimbang; Muriel hanya ingin mendengar pendapat masing-masing mereka.

"Saya tidak akan menghalanginya, terkecuali ketua membahayakan dirinya sendiri."

Muriel mengisi kembali gelas kopi Lucia, senyumnya merekah. Ia lalu mendekatkan gelasnya dan membiarkan dua gelas itu saling mendenting.

"Sama, kalau begitu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro