Intermission 007: Dosa dan Pembalasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka selalu mengatakan peristiwa itu adalah 'kecelakaan'.

Sejak kapan nyawa yang terbuang dibilang 'tanpa sengaja'? Tidak mungkin orang dibunuh tanpa alasan. Ya, memang saat itu Insinyur Sieg Rosengarten ada di sana sebagai pelindung 'properti' yang menjadi rebutan dua perusahaan yang tidak pernah berhenti berseteru di atas dan di bawah meja, lalu kenapa? Apa hak mereka untuk mengambil nyawa yang tidak salah apa-apa?

Belum setahun sejak ia berusaha mencari keadilan, ia menyerah—rasanya seperti berbicara pada tembok untuk meminta satu oknum dari perusahaan yang terkenal pengaruhnya di Kaldera sebagai raksasa ekonomi disidang dan dihukum. Toh mungkin ia sudah membuang banyak waktu yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan hal lain, seperti mendalami kerja teknisi dan melamar di perusahaan yang mengakuisisi apa yang telah diperebutkan.

Apakah ia ingin balas dendam? Tidak. Ia hanya membenci pemerintahan, dan mungkin orang yang bebas itu, atau mungkin juga semua orang yang ia jauhkan agar tidak terkena pengaruh amarahnya.

Apakah amarahnya bisa padam? Tidak. Ia sudah mencoba segala cara untuk mendistraksi dirinya dengan mengambil banyak pekerjaan, memulai banyak hobi baru, amarah itu tidak pernah hilang.

Tapi apakah ia ingin balas dendam? Sekali lagi, tidak. Ia tidak pernah diajarkan menjadi pendendam. Sieg Rosengarten sendiri pun sudah kerap mengingatkan bahwa pekerjaannya berbahaya dan ia harus siap kapan saja kehilangan sosok ayah.

Lalu, kenapa ia mewarisi Dosa dan Pembalasan, pistol kembar milik sang ayah bila bukan untuk membalas dendam?

Tidak. Sekali lagi. Ia tidak pernah berpikir untuk membalaskan dendam. Nyawa yang sudah diambil tidak akan mampu dibayar nyawa lain. Percuma kalau orang akan mengira sebuah perasaan akan sekejap hilang bila objeknya dihilangkan.

"Rosen, kalau kamu tidak ingin balas dendam, apa yang kamu ingin lakukan sekarang?"

"Kenapa, kamu kira aku tetap ada di dekatmu untuk memanfaatkan posisimu sebagai seorang agen Hitam?"

"Nggak, sih. Aku cuma kepikiran. Toh si brengsek itu masih sering menghubungimu, 'kan?"

"Dia mantan teman penelitian ayah sih," ia tertawa. "Wajar kalau dia mengira aku masih anak yang suka lari-larian di lab mereka."

"Terus, alasanmu tetap di sini, menjadi insinyur juga dan bekerja untuk Lysander apa? Aku tahu kamu bisa cari pekerjaan lain."

"Kalau aku bilang aku cuma ingin lihat Warden, apa kamu bakal percaya?"

"Nggak, lah."

"Aku sudah nggak semarah dulu kok. Maaf sudah mengata-ngatai kamu waktu itu."

Tangan itu kemudian mendekat untuk menyentil dahinya. "... Dasar."


🛠


Rosen mendecih, melompat mundur dan membiarkan terminal miliknya menjadi bulan-bulanan pisau yang melayang ke arahnya. Sudah diduganya ini adalah jebakan, tapi ia tidak menyangka akan diserang di tempat itu.

Pisau yang terpelanting ke tanah dibiarkan percuma oleh sang lawan yang tersenyum senang menanggapi refleks Rosen. Ia menarik pistol kembarnya keluar dan mengacungkannya pada wajah lawan yang mendekat.

Menanggapi Rosen yang merelakan terminal-nya rusak karena pisau, si lawan menarik tudung putihnya turun dari menyembunyikan separuh wajahnya dan menanggalkan topeng yang ia kenakan. Wanita itu masih sama seperti yang ia ingat, mata ambar dan rambut yang sekarang semakin abu-abu dengan variasi putih. Keriput wajahnya menandakan usia, namun penambahan usianya itu tidak menumpulkan keahliannya menggunakan pisau. Ia menendang pisau yang sudah tergeletak alih-alih tidak berguna, dan ia mengangkat kedua tangannya di hadapan pistol yang mengacung ke arah wajahnya.

Sekeliling pelataran yang semula agak ramai orang berlalu-lalang kini sepi total. Wanita itu pasti sudah membayar orang-orang di sana untuk kabur dan tutup mulut. Lahan permainan itu kini hanya diisi mereka berdua, rival yang tak lekang waktu.

"Dosa dan Pembalasan," wanita berambut abu-abu itu tertawa lepas. "Sudah lama aku tidak melihat pistol kembar itu eh, Illya?"

"Infantry," desis Rosen. "Mau apa kau memanggilku kemari? Dan kata siapa kau boleh memanggilku dengan nama depanku!?"

"Kenapa? Oh sesuai deskripsi pekerjaan yang kuberikan. Aku kesini mengajakmu bicara sebelum aku hendak memberimu pekerjaan," wanita itu—Infantry—bersiul. "Dan kenapa aku memanggilmu Illya? Kamu 'kan bukan Sieg."

Rosen menekan moncong pistol itu di dagu Infantry. Wanita itu bergeming, sama sekali tidak merasa terintimidasi walau Rosen bisa menekan pelatuk dan membolongi dagunya kapan saja. Rosen pun menggertakkan giginya geram. "Jangan sebut nama ayahku dengan mulut kotormu."

"Wah, wah, kasar sekali. Kukira di Perusahaan L diajarkan mengenai tata krama?" kekehnya. "Ayo kita duduk manis dan bicara bisnis."

"Bisnis apa ketika kamu melempar pisau duluan dan jelas-jelas menarget kepalaku, hah!?" Rosen kembali menyodok pistolnya. Tawa Infantry makin melengking. "Kalau kau masih mau berbicara bisnis, cepat katakan urusanmu. Aku muak melihat wajahmu!"

Saat Infantry menangkis pistolnya menjauh, Rosen melompat mundur. Infantry kini siap melempar dua pisau, dan ketika wanita itu mulai melempar, Rosen kembali mendekat dengan dua pistol teracung, menembak masing-masing satu peluru. Infantry mengelak masing-masing proyektil dengan lincah, seakan menari dan tak takut mati. Infantry kemudian mempersingkat jarak mereka, kembali mengambil sebuah pisau dan hendak menusuk dari arah atas. Rosen menggunakan badan pistolnya untuk menahan pisau itu dari menusuk wajahnya.

"Hmm, andai kepalamu sedingin Sieg, mungkin kamu sudah berkesempatan membolongi kepalaku dengan pistol favoritnya?" Infantry tersenyum.

"Diam!"

Perdebatan sengit mereka berjalan dengan pisau dan pistol sebagai wakil. Rosen mencari celah untuk memberi jarak antara mereka dan menembak, tapi Infantry dengan mudah menebak alurnya dan mendekat, entah dengan melemparkan pisau atau menerjang dengan pisau di tangannya. Menghitung jumlah peluru dan waktu yang diperlukan untuk mengganti magasin, Rosen mencari tempat untuk sekedar berlindung. Di sana hanya ada meja dan kursi kayu, bukan pilihan tepat melawan pisau tajam Infantry tetapi Rosen tidak punya banyak opsi.

Rosen menunduk ke arah kolong meja, mengisi kembali pelurunya sebelum Infantry sempat menendang mukanya. Ia mengarahkan tembakan ke arah kaki Infantry, membuat wanita itu harus melangkah mundur untuk menghindar.

"Hei, hei, dengar dulu," ucapnya santai, masih dengan mudah menghindari tembakan. "Aku punya sesuatu yang mungkin kamu butuhkan. Tapi kalau kamu tidak mau mendengar, bisa kukirimkan saja langsung ke terminal-mu."

"Siapa yang merusak terminal-ku, ya, omong-omong?" desis Rosen.

"Siapa suruh kamu menggunakan terminal-mu untuk menangkis, Illya bodoh." ejeknya. Rosen merasa alisnya berkedut, semakin sebal.

Mereka berdua saling bertatapan, namun tidak ada gencatan senjata. Rosen masih mengacungkan pistolnya garang sementara Infantry memain-mainkan dua pisau di kedua tangannya.

"Kalau kamu cuma cari teman bermain, bukannya E8 punya banyak personil?" Rosen mengambil kesempatan untuk menembak sekali, Infantry membalasnya dengan satu pisau. Rosen sangat benci dibuat main-main seperti ini.

"Hmm, mereka sedang sibuk sekarang, terutama Sang Ratu," Infantry manyun. "Mungkin beliau sedang membuat rencana dengan Raja Hitam? Entahlah~ tapi aku benar-benar kesini untuk memberimu se-su-a-tu asal kamu mau bekerja untukku."

"Kalau aku menolak?" Rosen menembak lagi, kali ini Infantry tidak membalasnya.

"Yah, paling kamu akan menyesal?"

Rosen rasanya semakin mual. Wanita ini benar-benar tidak bisa diajak serius, Rosen sudah menyesal kesini hanya untuk mendengarnya seperti menaruh pepesan kosong untuk memancingnya. Ia pun menurunkan dua pistolnya dan memutar badan.

"Cukup," sergahnya. "Kalau ini diteruskan rasanya aku hanya akan muntah pasir. Cari saja orang lain."

"Iya, iya. Sori. Ini aku serius," pungkas Infantry, sekarang ia terdengar seperti anak kucing yang mengeong saat ditelantarkan. "Habisnya jarang 'kan kamu mau ketemu aku."

"Mana ada orang yang mau ketemu pembunuh orang tuanya, hah!?" Rosen tetap menjaga jarak aman. Tangannya belum jauh dari pistolnya. "Jadi apa?"

"Ini soal benda yang kamu temukan di Sektor 6."

"Mei bukan benda." bantah Rosen.

"Baik, soal Mei," Infantry menangkup kedua tangannya. "Benda itu adalah properti milik E8. Aku meminta kalian mengembalikannya pada kami!"

"Atas dasar apa? Dan sekali lagi kubilang, Mei bukan benda."

Infantry memasang muka memelas, "Ayolah, Illya. Kamu tidak ingin aku mengambil benda itu secara paksa, 'kan?"

Rosen kembali menarik pistolnya, kali ini matanya nyalang tanpa ampun. "Sekali lagi kau bilang Mei benda, kulubangi kepalamu."


--

A/N: berhubung gak nemu picrew yang bisa settingan old woman

E8 - INFANTRY sebagai pemanis

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro