Intermission 015: Pedang Bicara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Lucia yang terbiasa dengan keterbatasan penggunaan pedang di Kaldera merasa takjub ketika Nona Alkaid—Leiria Alkaid—mengundang Gloria dan Lucia ke kapal perusak (kalau kata Gloria, ini destroyer gubahan perusahaan Lysander) miliknya untuk melihat bagaimana biasanya Nona Alkaid 'berlatih' di Kaldera.

Kala itu, Muriel dan Blair tengah berurusan dengan pihak 0027 seputar Lianna, dan melihat kesempatan itu, Lucia mengiyakan ajakan Nona Alkaid yang ingin berkesempatan berbicara dengan pihak Angia lagi. Muriel dan Blair tidak masalah bila mereka berpisah dulu dan mereka akan segera menyusul bila sempat.

Kapal yang katanya hadiah dari Raja Hitam itu sudah dipiloti oleh Leiria selama dia menjadi agen D1. Mereka mendarat di bagian Sektor 3 yang menjorok ke arah sisi terluar Pulau Melayang, salah satu tempat yang menurut beliau sengaja dibiarkan menjadi gudang cadangan oleh Perusahaan Schwarz yang memiliki izin atas tanah itu.

"Karena tempat ini biasanya kosong dan hanya ada penjaga di bagian luar gerbang, saya tinggal di salah satu mess di sini kalau sedang tidak bertugas di kapal."

Beliau berkata demikian, tapi tempat itu benar-benar kosong selain kamar beliau, juga bagian lapangan yang beliau sudah sulap untuk tempat latihan berpedang. Seperti lapangan dan segala isinya itu adalah milik pribadi beliau.

Ketika Gloria mencoba menggoda Nona Alkaid soal ini, beliau hanya sekedar tersenyum. 'Makanya gabung yuk sama Schwarz', ucapnya balik.

"Oh ya, mumpung ada teman seperguruan sekarang," Nona Alkaid menarik pedangnya. Dia lalu menunjuk sisi lapang yang agak jauh dari mess hunian. "Bagaimana kalau kita sparing, Lucia?"

"Eh?" Lucia sontak menaikkan alis. Gloria pucat pasi.

"Kalian berdua tidak perlu aku yang jadi wasit, 'kan? Aku nggak mau terpotong ..." ucap Gloria.

Leiria terkekeh, "Tenang saja, Wiseman. Kamu bisa duduk manis di pinggir sana dan sekedar menandai waktu kami."

Gloria mengancungkan jempol dan segera mengambil langkah seribu menuju tempat yang dituju. Lucia dan Nona Alkaid pun tak pelak tertawa. Mereka sengaja untuk memberi jarak lagi antara tempat Gloria menepi dengan tempat mereka sparing untuk meminimalisasi kejadian yang tidak diinginkan.

Lucia membawa hanya dua pedang sesuai perjanjiannya dengan Madam Morgana, tapi dia bisa saja meminjam pedang dari koleksi Leiria bila dibutuhkan. Walau demikian, dia memutuskan untuk tetap memakai Dua.

"Saya akan pakai Dua." seru Lucia. Leiria berulas senyum kecil, Lucia sudah menduga apa yang tengah beliau pikirkan. "Bukan berarti saya bermaksud meremehkan anda, saya ingin sparing ini adil."

"Fufu. Baik, baik." Beliau sama sekali tidak terlihat tersinggung, menghormati keputusan Lucia dan sudah mengambil kuda-kuda di posisi kanan.

Lucia memulai dari kiri, jarak awal mereka sekitar dua setengah meter. Wilayah yang mereka pilih tidak dekat dengan benda apa pun. Jarak pandang mereka sama-sama luas. Nona Alkaid meminta waktu lima menit pertama, selebihnya akan disesuaikan bila diperlukan.

Gloria pun menaikkan tangan sambil menghitung mundur aba-aba mulai.

Dua pedang bertemu secepat kilat di tengah-tengah. Lucia sedikit tersentak menanggapi kekuatan yang Nona Alkaid tekan pada pedang. Ia pun segera mundur, menjejak kuat dan mencari arah Nona Alkaid akan menyerang.

Kanan. Kiri. Kanan. Kanan. Kiri.

Lucia bisa melihat walau Nona Alkaid terlihat sangat menguasai pedang yang dipegangnya, beliau tidak memegang pedang terlalu lama. Ada saat di mana beliau akan melepas pedang dan menukar tangan, itu dilakukan dengan sangat cepat sehingga beliau bisa menangkis tebasan melebar Lucia.

Lima menit terasa begitu lama untuk Lucia menganalisis sekaligus melakukan serangan balik.

"Yak, cukup!" teriakan Gloria segera membuat mereka berdua mundur ke posisi awal. Nona Alkaid tampak puas, terlihat dari seringai lebarnya, dia menyarungkan dua pedang dengan percaya diri.

"Anda ..." Lucia tertegun. "Anda masih memilih berpedang dengan situasi seperti itu?"

"Memang saya tidak bisa membohongi praktisi yang sudah ahli." kekeh Leiria.

Gloria tergopoh-gopoh mendekati mereka, memastikan Lucia sudah menyarungkan pedangnya sebelum berdiri menatap mereka berdua dengan raut bingung. "Maaf kalau kalian minta penilaian, aku nggak ngedip tapi aku nggak bisa lihat sama sekali kalian lagi ngapain, cuma sat-set-sat-set."

Leiria mengacak rambut Gloria, "Tenang saja, Nak. Saya nggak butuh ada evaluasi kok, kecuali Lucia punya pendapat."

"Sejauh yang saya ingat, anda tidak bisa lagi menggunakan sihir karena penggunaan yang berlebihan," Lucia terkesiap. "Apa itu juga berpengaruh pada tangan anda?"

Leiria sekedar menyingsingkan lengan jaketnya, memperlihatkan kedua lengannya. Tato berupa garis-garis membujur tidak beraturan yang tampak menyala merah seperti darah menjalar dari pangkal lengan hingga pergelangan tangan. Lucia terbeliak, sementara Gloria terlihat seperti sudah mengetahui hal ini dari beliau sebelumnya.

"Ini adalah sirkuit sihir saya," pungkasnya. "Mengutip dari Nona Nibelungen yang berusaha menyelamatkan saya ketika itu, harusnya memang saya sudah mati."

"... karena kalau sirkuit sihirnya terlihat seperti ini, tandanya anda akan mengeluarkan dan menerima sihir terus-menerus seperti pemancar sinyal?" Lucia memastikan.

"Oh, jadi Claud sempat mengajarkan itu ke kalian, ya." Leiria manggut-manggut.

"Ah saya ... sempat diajar intensif oleh beliau soal sihir."

"Yah, bisa dibilang ini keajaiban ... tentu itu berkat Nona Nibelungen dan kehebatannya."

"Pantas anda begitu berhutang pada Hitam." ia menyimpulkan. "Oh—bukan maksud saya merasa Hitam atau Putih itu jelek ..."

"Tidak masalah, Nak." Leiria nyengir sambil dia merapikan lengan jaketnya lagi. "Sulit memahami bahwa dunia ini tidak sempurna hitam dan putih."

Leiria pun menyudahi sesi itu dan mengajak mereka berdua untuk berbincang di mess beliau. Ia menyuguhkan mereka berdua teh kalengan, katanya tidak sempat stok teh asli karena dia sibuk dengan urusan di Pulau Melayang.

"Sudah lama sekali saya tidak mendengar dan melihat Claud," ucapnya. "Jadi seperti itu dia sekarang. Pantas ketika kalian cerita, saya jadi pangling."

Lucia bersedekap. "Apa itu adalah hal buruk, Nona Alkaid?"

"Tidak juga sih, lucu lihatnya," ia berseloroh. "Tapi ... sangat disayangkan."

Gloria dan Lucia saling bertatapan ketika Leiria memasang senyum miris.

"Sebagai Pemegang Kitab, beban yang diembannya sangat besar." lanjutnya. "Bayang-bayang kejadian di Spriggan saat perang, juga dirinya yang mampu mengintip kemungkinan melalui Kitab, dia pasti cukup tertekan."

Bagi mereka, Instruktur Claudia Ars Bathory adalah seorang yang serbabisa. Instruktur bukanlah pengajar yang lemah lembut. Bila ada sesuatu yang beliau butuh kritik, beliau akan menyampaikannya secara gamblang. Ketika awal tahun ajaran saat Lucia berpura sebagai pengguna sihir, Instruktur terus terang menyebutkan kalau potensi sihir Lucia nyaris nol—dan beliau tidak salah.

"Terkadang saya berpikir kalau saya adalah pengecut yang sudah kabur dari kontinen sendiri," wanita berambut platina itu terkekeh pasti, menyesap tehnya seakan dia tidak tengah menyampaikan sebuah topik yang cukup sensitif.

Gloria melirik ke arah Lucia, Lucia pun mengalihkan pembicaraan, menghormati privasi Nona Alkaid.

"Anda benar-benar belajar dari kakak saya?" Lucia sontak bertanya saat obrolan mereka akhirnya tidak jauh-jauh dari pedang.

Beliau mengiyakan, "Ada yang aneh, kah?"

"Kakak saya ... terakhir ketika akhirnya dia meminta bertemu dengan saya, saya sudah menganggapnya sebagai seorang yang asing,"

Lucia membayangkan kembali saat dia dipanggil oleh Wali Provinsi Redcrosse setelah setahun wajib militer selepas kelulusan. Ketika Lucia pertama kali bertemu dengan Cain Arkwood ketika Ekskursi Daerah, dia tidak melihat sosok kakaknya pada Wali Provinsi itu. Baginya saat itu, kakaknya sudah lama tiada, dianggap sebagai yang pantas mati karena pembantaian yang tidak beliau lakukan. Mungkin Lucia merasa dirinya pantas disalahkan karena dia tidak bisa menyelamatkan kakaknya sendiri dari ketidakadilan itu.

Bertemu dengan Lucien Leanan kala itu tidak berbeda dengan menghadap Wali Provinsi sebagai satuan militer, Lucia dihadapkan dengan orang asing dan kini posisi beliau adalah sebagai bawahan tidak langsung, seorang aparatur pemerintahan.

"Seingat saya, dia pun juga memiliki kelainan pada tangannya setelah masa hukumannya di Pulau Penjara," ucap Lucia. "Sehingga gaya yang anda terapkan tidak jauh berbeda dengan apa yang beliau ajarkan."

"Wow, kamu menganalisis saya segitunya dalam waktu singkat? Hebat sekali." Leiria bertepuk tangan takjub.

Gloria tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi dia ikut mengangguk saja.

"Sepertinya saya bisa paham ketika anda mengatakan soal Instruktur Bathory barusan. Sosok yang mungkin dahulu dekat namun kini terasa asing."

Gloria menerawang, tapi dia memilih diam saat Leiria tersenyum penuh arti pada mereka berdua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro