XIII. | Pulau Melayang, bagian keempat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gloria. Oi, Gloria!"

Ketika Gloria tersadar, ia masih di toko itu. Dinding tempat panel listrik itu amblas, namun tidak ada api. Bangunan Net Cafe itu pun utuh, dan robot yang dihempaskan Muriel dan Natalia mendobrak jalan keluar sesuai harapan. Robot itu tidak lagi bersuara, atau berfungsi normal karena membentur barikade.

Gloria tengah meringkuk, seakan ia berlindung dari sesuatu. Telinganya masih terasa berdenging. Blair menatapnya khawatir, tapi Gloria untungnya masih bisa mendengar sayup-sayup suara Blair dan meraih tangan yang terulur.

Ia menutup telinganya, menunggu denging itu reda. Gloria masih ingat ada jeda yang ia rasakan tadi sebelum ledakan dan juga api yang menjalar. Tapi mereka semua tampak baik-baik saja, termasuk Lianna yang tadi ada tepat di depan api. Lianna dan Rosen masih terus bersiaga, Mei mengamati Muriel dan Natalia yang ada di luar. Natalia menggunakan teropong senapannya untuk mengamati sekitaran pelataran Net Cafe.

Setelah merasa ia dapat mendengar dengan benar dan denging itu hilang, Gloria menatap Blair kebingungan.

"Ada apa?" tanyanya.

"Telingaku berdenging sekali. Kalian tidak apa-apa?"

"Sama sih, tapi kayaknya kamu yang paling lama meringkuk," Blair mengedarkan pandangan ke yang lain. "Para insinyur ini sepertinya sudah biasa menghadapi keadaan mendesak dengan peralatan mereka masing-masing, apa kita harus membiasakan diri berhadapan dengan flashbang?"

Gloria tertegun, masih merasa limpung. Ia mengingat sesuatu yang ganjil saat barusan mereka menghadapi robot dan bom.

"Kamu ingat tadi ada ... percikan api, Blair?"

"Hah? Percikan api apa?" Blair mengernyit. "Ledakan iya, tapi tidak sampai ada api."

Aneh. Sungguh aneh. Gloria ingat betul ada bisikan di tengah-tengah denging yang menyita pendengaran mereka. Atau apakah itu semua hanya ilusi belaka? Kalau memang itu adalah ilusi, apakah api yang diingat Gloria pun hanya produk imajinasinya saja?

Muriel dan Natalia kembali ke dalam toko. Natalia tampak cemas, menurunkan senapannya dan mendesah pelan. Mereka tidak menemukan apa-apa, sepertinya.

"Tidak ada sosok mencurigakan di sekitar delapan ratus meter dari scope milikku." pungkas Natalia. "Sebentar lagi mungkin satuan pengaman akan datang, jadi kurasa kita aman."

Lianna berseru, "Apa kita harus memberitahukan penduduk sipil yang ada di lantai atas kalau mereka baik-baik saja?"

"Boleh. Tolong ya, Lian." Natalia mengiyakan.

Mei turut dengan Lianna dan Lucia kembali ke lantai atas mencari mereka yang tengah berlindung. Muriel dan Natalia mencoba membongkar barikade dan membuang puing-puing dari menghalangi jalan. Rosen memeriksa dinding yang ambrol selepas ledakan, mencari sisa-sisa panel yang sepertinya bisa dijadikan bukti. Blair yang tertarik dengan material Gloria minta turut dengan Rosen, sementara Gloria masih terpaku.

"Wah, wah. Maaf pertemuan kita jadi kacau begini." sergah Natalia pada Gloria, senyumnya miris.

"Ah, tidak masalah. Asal kita semua baik-baik saja dan tidak ada penduduk sipil yang terluka ..." Gloria melihat orang-orang yang pingsan di lantai itu tetap bergeming, seperti telah sengaja dibuat tidur.

Ia berjongkok, mencoba memeriksa denyut nadi salah satu yang pingsan, tidak ada keanehan di sana, sepertinya memang mereka benar dibuat tidur agar tidak mengganggu atau tidak mengingat kekacauan di sana.

Kemungkinan besar ini semua memang sudah direncanakan, mereka dengan sengaja dijebak. Pihak yang meringkus mereka di satu tempat sepertinya sudah memerhatikan mereka dari jauh.

Pertanyaannya, karena suara yang melalui si robot tadi mencari 'sesuatu' yang telah 'diambil', apakah si pelaku menargetkan mereka, skuadron Ignis Angia, atau si pelaku hanya menargetkan para teknisi 0027 ini, dan mereka sebagai tamu kebetulan terkena imbasnya? Atau apakah Gloria terlalu paranoid? Tapi rasanya tidak mungkin mereka hanya ingin menarget satu pihak saja bila daya rusaknya seperti ini. Juga bila dipikir-pikir, lebih mudah menculik salah satu dari mereka ketimbang membuat keributan dengan skala ini.

"Ada apa, Gloria? Ada yang aneh?" Muriel menoleh ke arahnya. Ia menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan debu yang menempel.

Gloria membalas dengan suara rendah, "Nanti saja, Riel."

Blair kembali dengan Rosen membawa beberapa pecahan panel dan serpihan yang terlihat bukan bagian dari panel listrik itu. Rosen mengamati lima pecahan yang mereka temukan dengan saksama, ia mengambil sebuah kaca kecil dari kantong kulit yang ada di pahanya dan melihat lebih dekat, sementara Blair berpangku tangan melihat lima serpihan itu.

"Boleh aku pinjam satu sebentar, Rosen?" Blair mengambil pecahan terkecil yang bukan merupakan bagian panel.

"Oh iya, silakan."

Blair lalu mendekati Gloria. Ia melirik ke sekelilingnya sebelum menggunakan transmutasi untuk menduplikasi serpihan itu dan mengantongi kopiannya. Gloria berisyarat dengan matanya untuk Blair bertingkah natural, walau teknik alkimia yang digunakannya tidak serupa sihir. Karena Rosen sepertinya sangat berkonsentrasi, ketika Blair mengembalikan serpihan itu padanya, Rosen sekedar mengiyakan, tidak bertanya lebih lanjut.

"Apa pekerjaan Insinyur biasanya seperti ini?" tanya Blair ketika Rosen masih melihat serpihan itu satu per satu dengan teliti.

"Hmm tidak juga sih," Rosen membolak-balik pecahan itu di tangannya. "Aku suka menaksir kadar benda—apalagi perintilan Warden! Jadi biasanya ini tugasku kalau diantara kelompok kami."

Blair terkagum-kagum, "Wow. Lalu, lalu, apa yang bisa kamu simpulkan, Rosen?"

"Sesuai kata Lianna, sih, ini bukan bom. Bisa memicu arus listrik dan percikan api, iya, tapi bukan bom," ucapnya. "Dan ini rakitan yang sangat sederhana ... aku masih heran kenapa dindingnya bisa bolong begitu."

Alat rakitan yang seharusnya berdaya bahaya rendah namun mengakibatkan kerusakan yang cukup besar, sangat mencurigakan. Mungkin nanti mereka akan menemukan hasil berbeda saat Blair mengutak-atik pecahan itu nanti di markas mereka menggunakan alkemi.

"Kamu sepertinya paham mesin, Blair. Sering bekerja dengan mesin kah?" tanya Rosen.

Blair menggeleng, "Kalau dibilang sering bekerja dengan mesin, tidak juga."

"Hee, apa karena kamu bersahabat dengan Nona Warden di sana jadinya kamu paham secara osmosis?"

Gloria mengibaskan tangannya tanda tidak setuju. Ini seperti dejavu. "Kayaknya nggak begitu deh, dan Rosen? Aku bukan Nona Warden."

Terdengar dari kejauhan suara sirine mendekat. Sepertinya 'pasukan keamanan' yang disebutkan Natalia sudah datang dan hendak mengamankan lokasi. Sebagai tamu, mereka hanya bisa turut bekerja sama dan membantu jalannya penyidikan, sambil berusaha tidak terlalu mencolok.

Paling tidak Gloria tidak ingin terlalu berhutang budi dengan 0027, walau tampak kejadian ini bukanlah akhir dari segala keanehan.

Siapa yang menjadi 'lawan'? Apakah keberadaan mereka di sini adalah pertanda akan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi?


🛠


Di sekitaran barikade dekat dengan lokasi kejadian, empat ratus meter dari 003 Net Cafe.

Pasukan Keamanan Sektor telah memberi garis pembatas berwarna merah menyala dengan papan melayang hologram besar bertuliskan 'DILARANG MASUK' agar penduduk sipil tidak mendekati tempat kejadian perkara. Orang yang lewat berbondong-bondong memerhatikan garis itu, mereka mulai berbisik-bisik akan desas-desus kejadian di tempat itu. Beberapa mulai cemas akan ada kejadian susulan. Beberapa mulai merasa ingin tahu dan mencoba mendekat sebelum akhirnya dihentikan oleh petugas terkait.

Kabarnya, ada sebuah bahan peledak yang merusak sebuah gedung di sana, atau itulah yang bisa didengar dari sayup-sayup keramaian. Keramaian itu sejenak membuat lalu-lintas di tepi jalan terganggu karena mereka yang berjalan berhenti sejenak untuk mencari tahu.

Di sela-sela kekacauan itu, seorang bertudung putih berjalan berlawanan arah dengan keramaian. Seringainya lebar saat menurunkan topeng yang dikenakan, dan ia melepas tudung putihnya saat ia telah menepi di salah satu gang sempit yang terletak tidak jauh dari hiruk-pikuk penduduk. Ia merapikan rambut pirangnya yang awut-awutan karena berlari cepat menjauh dari tempat perkara, tapi memang melihat lebih dekat jauh lebih asyik ketimbang mengamati dari sekedar tangkapan layar.

Mata hijaunya menatap terminal yang ia gunakan barusan, sebuah terminal sekali pakai yang kini menampilkan peringatan bahwa 'perantara' berupa robot yang ia gunakan sudah out of service. Ia terkekeh puas sambil melempar terminal itu ke tempat sampah, tentu setelah merusaknya dengan sekali remasan tangan.

"Kamu ngapain masih manggil-manggil aku, hah? Aku sudah nggak ada urusan sama E8," ucap suara yang menusuk dari alat komunikasi yang menempel di liang telinganya. "Oi, Rook! Kamu dengerin gak sih?"

"Iya sayangku," balasnya setengah mengejek, suara dari seberang sana menggeram. "Padahal Ratu selalu menantikanmu kembali, lho, Messenger, kamu dianggap 'hiatus'. Posisimu tidak pernah tergantikan di E8."

Messenger mendecak, "Terus? Kamu mau ngapain telpon? Aku sibuk di Aira."

Rook bersandar pada dinding gang, ia memeriksa lagi tangkapan gambar dari robot yang ia gunakan baru saja untuk melaksanakan huru-hara. Satu dari sekian orang yang tertangkap mata robot itu adalah incarannya, Rook menjilat bibirnya.

"Seperti kata Ratu, aku bersabar ... dan ternyata mangsaku benar-benar datang sesuai apa yang beliau katakan!" tawanya menggelegar. "Ratu mungkin tidak akan senang kalau tahu apa yang sudah kuperbuat, tapi kamu harus dengar ini juga, Messenger."

Messenger mendengus, nadanya tidak sabaran. Mereka sudah tidak lama bertemu muka setelah Rook kehilangan tangan kanannya di Angia. "Apa?"

"Aku menaruh bom di salah satu tempat ramai, aku sudah mengira bomnya meledak, tapi ternyata sulap! Hanya dindingnya yang lebur!" ucapnya antusias. "Alatku tidak menangkap interferensi apa pun, benar-benar ajaib! Gedung yang harusnya terbakar itu selamat hanya dengan sedikit bolong!"

Messenger mendesah panjang, "Apa kaitannya denganku?"

"Loh, kok pakai nanya lagi sih sayangku ini," Rook menggeleng-geleng. "Ada yang pakai sihir di Kaldera!"

"Eh? Ya, terus? Artinya mungkin salah satu anak Angia itu yang pakai?" tukas Messenger netral.

"Hah! Tidak ada dari mereka yang bisa sihir sehebat itu, bodoh~" ujar Rook. "Ah sudahlah kalau kamu tidak paham implikasinya. Pokoknya nanti kamu tinggal dengar berita saja kalau aku sudah berhasil balas dendam!"

Tangan kanan Rook berhenti menggeser foto-foto tepat di tangkap wajah seorang berambut pirang yang terlihat dengan pedang di pinggangnya. Senyum Rook semakin meruncing di saat tangan kanannya yang sudah diganti dengan besi itu bergetar dengan sendirinya. Sekelebat ingatan tentang pergulatan yang terjadi di Redcrosse dua tahun silam membuat darahnya mendidih. Bila ia tidak sadar, mungkin terminal miliknya akan hancur di tangannya saking geregetannya dia.

"Lucia Florence Leanan. Kali ini aku tidak akan segan-segan menebas kepalamu sebagai ganti apa yang sudah kamu lakukan pada tanganku."


---

A/N: Berhubung penulis kere (haha), saya hanya bisa mengilustrasikan Rook dan Messenger menggunakan bantuan Picrew. Sekedar intermeso saja.

Ini Rook:

Dan ini Messenger, kalau mungkin pembaca bisa menebak, ya, dia kemungkinan akan nongol di buku Aira nanti:

Sekian dan terima gaji. Sampai jumpa di chapter-chapter berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro