XII. | Pulau Melayang, bagian ketiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

L.A.S.T 0027 berisi mereka yang kompeten, begitu Gloria menyimpulkan saat Blair menunjukkan sederet prestasi dan pengalaman kerja mereka pagi tadi. Kini, penilaian itu belum berubah, namun Gloria tidak menyangka akan bertemu seseorang yang sepaham dan satu minat dengannya, apalagi mengenai Warden.

Warden bagi Gloria bukan sekedar 'produk' milik Perusahaan Wiseman. Warden adalah segalanya. Yang membuatnya tertarik untuk menjadi pewaris adalah ketertarikannya dengan senjata berupa mesin berbentuk humanoid berukuran dua meter atau lebih yang dapat dikendalikan itu. Bila diibaratkan, Warden adalah mainan yang pertama Gloria kenal sebagai seorang anak kecil, dan segala tentang Warden, baik itu sistem operasi, sistem kendali, pergerakan, mekanik, hingga bagian-bagian kecil lainnya hanya menjadi hal yang menarik untuk Gloria telusuri.

Dan baru kali ini Gloria senang bahwa namanya membawa implikasi positif, terutama melihat antusiasme Rosen. Pembicaraan mereka berdua tidak jauh-jauh mengenai Warden dan perbedaan Warden di Angia dan Kaldera, tanpa Gloria menyebutkan soal sihir.

Di lain pihak, Natalia bertanya-tanya soal Angia pada Blair, Lucia, dan Muriel. Sama seperti Gloria, tidak banyak mereka membeberkan soal sihir, lebih banyak berkutat di bidang militer dan perkembangan Angia pasca status agresi.

Natalia menjewer telinga Rosen. "Sudahi dulu ngobrolin robotnya."

Rosen mengaduh. Lianna menatap mereka berdua sambil tertawa lepas. Di antara mereka berempat, Mei yang paling tidak banyak bicara, sekedar berkomentar bila Muriel bertanya yang diarahkan pada gadis berambut putih salju itu. Jawabannya pun terdengar seperti sesuai teks, alih-alih ia telah menghafal.

"Regu kalian ini cukup ... menarik yah," imbuh Blair pada Lianna. "Aku juga mengira akan dihadapkan oleh kelompok yang akan mengekang kami selama di Kaldera."

"Kalau boleh tahu, apa kalian kesini mencari sesuatu? Atau ... mungkin ada keinginan dari Angia membuka kedutaan di Kaldera?"

Gloria melirik ke arah Lucia. Pertanyaan Lianna itu berada di luar zona nyaman mereka tapi mereka mungkin akan terlihat mencurigakan bila menjawab dengan alasan yang terlalu aneh.

"Benar, kami sedang mencari sesuatu, tapi kami masih menunggu kepastian dari Instruktur Lysander—Madam Morgana seputar hal ini," Lucia memberitahukan setengah kebenaran. Dan tentunya membawa nama Morgana akan membuat mereka berhenti bertanya.

"Kalau ada apa-apa, kalian selalu bisa meminta bantuan kami," Lianna berujar lagi, menawarkan diri.

"Terima kasih, Nona Lianna. Pertolongan anda akan sangat berarti bagi kami." sambung Lucia lagi.

"O-Oh! Tidak perlu memanggilku nona!" wajah Lianna merona merah.

"Hee, Lianna bisa juga tersipu-sipu," Rosen bersiul. "Kamu ganteng banget, sih, Lucia. Satu set sama pedang juga, pula."

Lucia menggaruk pipinya, ia menatap Muriel dan Blair yang duduk di sisinya. "Apa itu adalah sebuah pujian?"

"Eh tapi aku setuju lho, Luce itu ganteng." tukas Blair, Lianna hanya menjadi semakin malu.

"Di sini sepertinya tidak ada yang memakai senjata tajam seperti kami, ya?" Muriel bertanya pada Natalia.

"Umumnya sih pada suka senjata api, kalau tidak pakai bilah pendek seperti pisau. Tapi hanya satuan pengamanan, insinyur dan yang terkait, atau pekerja yang berafiliasi dengan pemerintah yang boleh punya senjata api untuk bertugas," Natalia memutar bola matanya. "Yah, kalian bisa menebak lah kalau-kalau ada yang punya senjata tapi bukan termasuk pekerja perusahaan atau orang dalam pemerintahan."

Gloria menopang dagunya, "Di mana saja sama ya."

Pembicaraan terus mengalir dengan mudah dari satu topik ke topik lainnya, dan dari kedua belah pihak tidak masalah untuk bersenda gurau. Lebih mudah mengenal satu-sama lain dengan cara seperti ini memang ketimbang pertemuan yang kaku.

Sepintas, Natalia terlihat sangat mengayomi tim, dan dia tipe capek untuk meladeni gilanya Rosen, tapi Lianna tampak lebih rapi lagi kalau dibandingkan dengan Natalia. Kalau Natalia diibaratkan bos, Lianna adalah tangan kanannya, dan Rosen yang bertindak sebagai moodmaker. Untuk Mei, Gloria sampai saat ini belum bisa menemukan celah untuk menjelaskan pribadi gadis itu selain dia 'tidak seharusnya ada di sana' - bukan dalam artian Mei sengaja tidak dilibatkan dalam tim, tapi Mei berusaha untuk tidak terlalu inklusif.

"Mei sangat pintar, ya," Muriel memuji gadis itu. "Boleh aku bertanya sedikit soal Kaldera padamu?"

"Silakan," ucap Mei. "Aku akan menjawab sedetail mungkin."

Ya, dan caranya berbicara seperti terlalu tertata. Tapi dia tidak menunjukkan gelagat robotik.

Waktu mulai bergeser ke penghujung siang ketika mendadak lampu Net Cafe itu padam. Terkesiap, Lucia menarik pedangnya, begitu juga Rosen yang segera menarik dua pistol. Kepanikan itu membuat orang-orang yang duduk di bilik berhambur mencari tangga darurat, sementara mereka tetap di tempat, memerhatikan kondisi sekeliling.

Suara alarm memecah ketegangan, kemudian disusul dengan teriakan dari lantai bawah.

"Gloria." Blair mengerling.

"Sebaiknya kita mengamati situasi terlebih dahulu dan ... Natalia? Kalian tampak lebih paham daerah sini ketimbang kami, jadi mohon bantuannya."

"Roger," balasnya. Ia segera menepuk bahu Rosen. "Pimpin barisan saat kita turun ke lantai bawah, jangan menembak walau ada apa pun, Ros."

Rosen mengiyakan dan menjadi yang turun terlebih dahulu. Lucia menyusul tepat di belakang Rosen sesuai titah Gloria, dan sisa dari mereka mengikuti barisan satu demi satu menuruni undakan tangga.

Di lantai bawah, meja-meja panjang telah disusun menjadi barikade pintu masuk. Layar-layar yang ada di sekitar mereka sudah dirusak, sementara ada satu robot berbentuk seperti tabung yang melayang tampak telah menunggu mereka. Orang-orang yang tadinya tengah menggunakan fasilitas di lantai bawah terkulai lemas di lantai, namun sepertinya mereka hanya pingsan.

Robot melayang itu mulai bersuara, suara yang terdengar elektronik dengan pengubah suara, "Simpan semua senjata kalian atau tempat ini akan meledak."

Gloria mengernyit. Teroris, pikirnya. Ia meminta Lucia untuk menurunkan pedangnya dan mereka semua serempak menangkat kedua tangan di atas kepala. Natalia juga menyuruh Rosen melakukan hal yang sama, menuruti kemauan pemilik suara itu.

"Bila kalian melapor ke petugas keamanan, tempat ini juga akan meledak," ucap suara itu lagi. "Tempat ini sudah diselubungi dengan jammer. Tidak ada dari kalian yang bisa keluar dengan selamat walaupun kalian memaksa."

Mereka melangkah mundur ketika robot itu terbang mendekat. Gloria mencuri pandang ke arah Natalia yang sepertinya punya ide, ia pun memberi kode agar Muriel berada di dekat Natalia untuk menghalangi jarak pandang si robot.

"Apa maumu menyandera kami?" Mei-lah yang bertanya. Bahasa tubuhnya tegar, sama sekali tidak takut dengan hardikan itu.

"Serahkan apa yang kalian sudah ambil di Sektor 6."

Lianna membeliak. Rosen mendecih. Skuadron Ignis tidak tahu apa yang robot itu maksud, walau rekan mereka tampak terperangah.

"Ah, sudah kuduga," sambut Mei dengan nada congkak. "Bagaimana kalau kami menyerahkannya dan kalian akan menjamin semua orang di sini tetap hidup?"

"Tergantung. Kami tidak suka dibohongi," gertak suara itu. "Sampai kalian tidak memberikan benda itu dalam waktu lima menit, kami akan meledakkan tempat ini."

Gloria mengerjap, Natalia tampaknya sudah siap. Sepertinya 'sandiwara' Mei masuk dalam rencana mereka.

"Aku punya benda yang kalian cari," Mei semakin mendekat. "Segera bebaskan yang lain."

"Perlihatkan benda itu pada kami."

"... Wiseman, dalam hitungan tiga, Mei akan menerbangkan kaleng flashbang," bisik Natalia. "Lianna sudah menemukan letak bom itu, dan teroris aneh ini sepertinya tidak tahu apa yang dimaksud dengan 'benda'."

Lianna menunjuk dengan matanya kotak panel listrik milik Net Cafe tersebut. Bila diamati baik-baik, ada sesuatu di celah kotak yang terus berkedip, Gloria menyimpulkan kalau 'bom' yang mereka maksud akan menimbulkan lonjakan arus listrik yang akan mengakibatkan kebakaran dan ledakan, bukan 'bom' berdaya ledak tinggi yang akan terpindai oleh keamanan toko yang canggih.

"Lalu apa yang harus kami lakukan?" tanya Gloria.

"Muriel, kita berdua akan menghantam robot itu dengan badan kita hingga terhempas melewati barikade pintu masuk," ucap Natalia. "Di momen krusial ini, Lianna akan menjinakkan bom."

Mei masih bernegosiasi dengan pemilik suara di robot itu, menunggu momen yang tepat. Si robot bersikeras untuk melihat 'benda' yang mereka cari terlebih dahulu, semakin terdengar tidak sabaran menanggapi Mei yang ingin mereka melepas sandera.

"Letakkan benda itu di depan robot ini! Cepat!"

"Baiklah." Mei menghela napas pendek. Ia lalu berlutut di hadapan robot itu, alih-alih menjatuhkan sesuatu di tanah—melainkan sebuah kaleng ramping yang mendentum.

Ledakan cahaya menguasai ruangan.

"Sekarang!"

Muriel dan Natalia merangsek maju, Lucia dan Gloria menarik Mei mundur. Kedua orang itu menanduk robot hingga mereka bertiga terhempas ke arah barikade. Lianna berlari untuk membuka kotak panel dan berusaha menarik 'bom', Blair menyusul di belakangnya, dan Rosen mengarahkan dua pistolnya masing-masing ke arah Muriel dan Natalia yang melumpuhkan robot, juga ke arah kotak panel.

Namun yang mereka temukan di balik penutup kotak listrik itu tidak hanya sekedar bom, melainkan juga pemicu berupa sumbu yang tidak bisa dihentikan.

"Sial-"

"Minggir, Lian! Biar kutembak panel itu!"

Terlambat, ledakan telah terjadi di hadapan mereka, dan api mulai tersulut menguasai ruangan. Ledakan itu membuat telinga mereka berdenging saking kerasnya, serasa gendang telinga pecah.

Di saat yang sama, Gloria mendengar sebuah bisikan pendek di antara ledakan dan api yang membahana.

Bisikan pendek yang didengar Gloria terdengar begitu asing, namun Gloria merasa pernah mendengar lafal itu sebelumnya.

"Aethernus, maxima."

Dan segalanya menjadi gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro