XIV. | Temu Kelana, bagian pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam menunjukkan tepat dua belas malam ketika Natalia mengantar Lianna dan Mei kembali ke markas di Sektor 3 setelah interogasi dan laporan ke Perusahaan Lysander.

Mereka semua sudah mengira interogasi dengan satuan keamanan akan menjadi panjang, dan mereka malah menghabiskan waktu di pos hingga bantuan dari Perusahaan Lysander datang. Proses interogasi memang sangat menyita waktu, belum lagi banyak dokumen yang perlu mereka isi dan satuan keamanan yang terus memeriksa mereka dengan pemindai anti kebohongan, benar-benar bukan sesuatu yang ingin mereka rasa 'biasa' namun segalanya sudah menjadi hal yang lumrah bagi mereka.

Pihak Angia tampaknya sudah dibebaskan lebih dahulu dari mereka saat jam sepuluh malam mereka dibolehkan keluar. Pihak Perusahaan Lysander yang biasa melakoni mitigasi masalah datang dan meminta waktu mereka sekitar lima menit untuk dimintai keterangan, lalu Natalia berkilah agar bisa meminjam mobil kapsul untuk mengantar mereka semua pulang.

Seperti biasa, Natalia membawa mereka makan malam dulu di luar, 'pokoknya harus isi perut dulu, gak masalah jam berapa' ucapnya, dan mereka makan bersama di salah satu kedai favoritnya di pelataran pasar malam di batas antara Sektor 1 dan Sektor 3 yang masih hingar-bingar dengan segala kudapan dan jajanan hingga larut malam.

"Selama kamu nggak mampir ke markas, kamu nggak makan mie terus, 'kan, Natalia?" tanya Lianna ketika mereka serempak memesan nasi mangkok ayam.

Natalia sekedar berulas senyum. Rosen disampingnya yang membeli nasi mangkok ayam porsi ekstra besar dengan siraman kuah kecap menatap Natalia dengan mata menyipit. Lianna menganggap tanda-tanda itu sebagai 'ya' yang tidak tersirat. Lianna pun hanya bisa geleng-geleng kepala, Natalia kemudian makan nasi porsinya dengan khidmat.

Mei yang duduk di samping Lianna berujar, "Natalia, kalau kamu terus-menerus makan mie, maka-"

"Aku dengar dengan jelas, Mei. Tidak usah membeberkan fakta." balas Natalia dengan lembut dan sedikit nadanya menajam. Mereka bertiga pun sontak terkekeh puas.

Tidak disangka mereka pertemuan dengan pihak Angia berjalan mulus ... dan juga tidak mulus di saat yang bersamaan. Perwira militer yang mereka kira akan sangat kaku ternyata tidak gubahnya anak-anak muda yang bahkan lebih hijau ketimbang mereka. Lianna dapat merasakan dari tutur bicara dan bagaimana mereka berlaku kalau mereka berempat dari Angia itu bukan sekedar perwira muda sembarangan. Rosen juga akhirnya bisa menemukan seseorang yang sama gilanya dengan dia kalau sudah ngobrol soal Warden. Tentu, Lianna tidak bisa menebak agenda apa yang sebenarnya perwira dari Angia punya sehingga mereka datang jauh-jauh dari kontinen mereka ke Kaldera, tapi mereka seperti tengah melaksanakan sebuah misi penting.

Rasanya jarang ada orang berpangkat kemiliteran atau instansi terkait dari kontinen lain ke Kaldera apalagi perwira militer, walau mereka sudah biasa berurusan dengan orang-orang luar demi kepentingan bisnis. Dan ternyata Angia benar-benar sesuai dengan apa yang dielukan orang-orang bahwa mereka memiliki tenaga pasukan tempur yang muda dan terlatih. Lianna jujur sangat respek dengan mereka berempat.

"Natalia pokoknya jangan makan mie terus. Kamu juga Rosen, kalau lagi gak bisa beli makanan pokok jangan curang terus malah banyak makan kue manis."

"Hei, aku tidak suka manis separah kamu yang suka cemplung tiga sendok gula ke kopi!" sergah Rosen.

Mereka mulai bersilat lidah sambil mulai ngemil pai apel yang dibelikan Natalia untuk dibagi berempat. Mei seperti biasa memerhatikan mereka yang berseloroh sambil makan secukupnya. Kini Mei sudah lebih ekspresif dan tertawa bersama mereka, walau terkadang timing ekspresinya lebih lambat ketimbang orang biasa.

Setelah diputuskan Mei akan tetap ada bersama 0027 sementara, sekretaris Rowena-lah yang mengidekan untuk Mei dianggap sebagai teknisi 0027 sama seperti yang lainnya. Mei sangat cepat tanggap, dan dengan sekedar satu kali melihat sesuatu atau diberikan pengarahan, Mei sudah paham cara kerja teknisi, apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang, juga Mei mampu membaca situasi dan segera bertindak. Masih ada sedikit hal yang perlu diurus hingga Mei diperbolehkan membawa senjata api sebagai bentuk pertahanan diri, tapi Rosen sepertinya sangat antusias untuk membantu Mei lulus dari ujian lisensi senjata api dan memilih senjata yang cocok untuknya.

"Oh ya, Mei, apa kamu sudah mengantuk jam segini?" tanya Lianna, asyik mengunyah pai apel porsinya sementara Mei sudah berhenti makan.

Natalia permisi sebentar untuk mampir mengisi bahan bakar mobil kapsul yang dipinjamnya, sementara Rosen sepertinya kembali ke toko yang menjual pai dan beli kue untuk dibungkus.

"Aku bukan anak kecil, Lianna," sambutnya dengan seulas senyum. "Yang kurasakan sih tidur itu seperti bukan kebutuhan utama."

"Begitu ya." Lianna mengangguk-angguk, mungkin ia harus menambahkan ini ke catatannya.

"Kamu sendiri tidak merasa capek, Lianna?"

"Eh? Kenapa kamu bertanya itu, Mei?"

"Soalnya kamu seperti ... ngantuk?" Mei menunjuk wajahnya, mata biru itu melihatnya lebih dekat. Lianna mengerjap.

"Ketahuan ya?" Lianna terkekeh. "Entah kenapa hari ini aku rasanya lelah sekali, biasanya aku bisa begadang untuk mengerjakan laporan atau keasyikan membaca buku ..."

Sejurus kemudian Lianna menahan kuap lebar, Mei menelengkan kepala.

"Tidak baik terlalu banyak begadang."

"Ahaha, kamu mau mengingatkanku seperti kamu tadi bilang ke Nat?"

"Tidak juga, aku hanya sekedar bilang. Aku tidak akan bisa meminta orang lain untuk menuruti apa yang kukatakan, bukan?"

Lianna mengacak rambut Mei, "Logis sekali. Walau benar, sih. Andai semua orang punya nalar sewajar kamu."

Herannya memang hari itu, dengan mereka lebih banyak duduk di ruang interogasi walau sempat tegang karena teroris yang menyerang, Lianna merasa lebih lelah ketimbang biasanya. Seperti sulit menahan kantuk. Padahal selain bisa larut mengerjakan laporan, kadang ada tugas reparasi yang bisa mereka lakukan selama dua hari dua malam. Tumben sekali. Apa dirinya mungkin sebentar lagi jatuh sakit?

"Hei kalian, sudah?" Rosen kembali ke meja sambil menenteng sebuah kotak besar yang tampaknya berisi pai apel. "Nat katanya nunggu di mobil, kalau kalian sudah selesai, ayo kita pulang."

Lianna dan Mei mengangguk setuju. Lianna menyusun piring yang mereka pakai di sisi pinggir meja dan meletakkan alat makan di puncak tumpukan, mereka bertiga lalu memutuskan untuk bergegas pulang dan istirahat.


🛠


Sesampainya di markas, Lianna sudah benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tetap terjaga. Di mobil bahkan ia sudah bersandar di bahu Mei dan hampir terlelap. Sungguh tidak biasa.

Karena markas lebih dekat dari tempat mereka makan tadi, Natalia mengantar mereka terlebih dahulu, kemudian segera bertolak ke tempat Rosen di Sektor 4.

"Sebagai mantan kekasih, mereka sangat akur, ya," imbuh Mei. Mei-lah yang membukakan pintu sementara Lianna sudah berfokus untuk menempelkan kepalanya di kasur. "Aku pernah baca di beberapa bagian literasi fiksi di Pustaka Antara, katanya yang namanya mantan itu seperti air dan minyak."

"Kamu kayaknya salah baca bagian, Mei ..." balas Lianna setengah melindur. "Maaf, bisa kamu yang kunci pintunya juga? Kayaknya mataku benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi."

"Oke. Sini kubantu tarik kasur. Jangan lupa lepas jasmu biar nggak lecek."

Bahkan di waktu yang singkat pun, Mei sudah belajar tata krama dan kebiasaan-kebiasaan Lianna. Begitu sampai kepalanya terbenam di bantal, Lianna segera menutup mata dan terlelap, Mei masih sibuk merapikan sekitaran kasur dan menggantung jas mereka di hanger.

Namun di detik yang sama, mendadak Lianna sempurna terjaga. Rasa kantuk dan lelahnya hilang, tapi ia tidak lagi ada di dalam markas.

Ia kini tengah duduk di barisan-barisan kursi yang perlahan mulai terisi orang yang berpakaian sama - tudung coklat kemerahan yang menyembunyikan separuh wajah mereka, dan penanda berupa perban yang melekat di lengan atas kanan. Lianna mencoba mengangkat tangannya dan memeriksa pakaiannya, ia pun mengenakan jubah yang sama dan mengenakan penanda perban yang mirip. Kursi-kursi itu menghadap sebuah mimbar tinggi yang sepertinya nanti akan dihuni oleh seseorang yang hendak berpidato.

Ini mengingatkan Lianna perihal pertemuan bulanan antara anak-anak panti dengan pemimpin Sektor 3 dahulu yang merupakan donatur utama panti. Biasanya setelah kakek tua itu berbicara dan menyalami anak-anak panti, beliau akan memberitahukan bahwa siapa saja yang sudah mampu bekerja akan dimasukkan ke dalam kamp-kamp persiapan kerja.

Akan tetapi, latar belakang tempat itu jauh dari Kaldera. Lianna tidak pernah melihat pohon yang begitu hijau, juga tanah berbatu yang begitu coklat dan pasir yang terlihat sangat kuning. Segala yang ada di Pulau Melayang kebanyakan adalah hasil proyeksi sesuatu yang pernah 'ada', dan buku-buku dan sumber literasi selalu meromantisasi pemandangan alam dan memperlihatkan struktur empat dimensi, tapi Lianna tidak pernah melihat yang asli sebelumnya.

Lianna lalu memerhatikan orang-orang yang duduk di barisan paling depan mulai berdiri, namun barisan di belakangnya tidak turut. Mereka bertepuk tangan ketika mimbar itu didatangi oleh seseorang bertudung putih. Ketika pemilik jubah itu menanggalkan jubahnya, menampilkan sosok wanita anggun dengan rambut merah menyala yang urakan lagi menggelora sempurna api, seluruh orang yang tadinya terduduk kini berdiri tegak—begitu juga dirinya.

Wanita itu tersenyum cerah bagai mentari, telinganya yang sejenak seperti mencuat di ujung-ujungnya terlihat tidak natural. Mata yang bagaikan emas itu memandang kerumunan dengan gairah dan semangat, seakan ia bisa memahami segala keinginan dan energi yang hadirin itu punya.

Pandangan mereka bertemu, dan entah kenapa Lianna merasa wanita itu membalas pandangannya dengan senyum lembut yang berbeda, padahal dia tengah berkontak mata dengan puluhan—tidak, mungkin ratusan—orang di sana. Lianna menahan napasnya, sejenak ia merasa detak jantungnya memburu tidak karuan.

Ia tahu siapa wanita itu. Ia paham mengapa ada sebuah rasa yang kini membuncah dalam dirinya alih-alih ia merasa haru, lega, dan banyak sekali rasa bercampur aduk menjadi satu.

Lianna tidak dapat mendengar apa yang wanita itu katakan, lagi air mata mulai meleleh jatuh ke pipinya, isaknya tertelan oleh ramai hadirin yang bersorak-sorai dengan tangan mengepal ke atas. Lianna yang merasa dirinya tidak bergerak atau menggerakkan diri turut mengikuti prosesi itu sebagai bagian dari keramaian, dan di saat yang sama, ia tidak dapat menanggalkan pandangannya dari sosok karismatik yang terus menatap hadirin di hadapannya seperti harta tak ternilai.

Wanita itu adalah Peri Yang Telah Meninggalkan Tanah Subur.

Wanita itu adalah Salamander.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro