XV. | Temu Kelana, bagian kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salamander—sebuah nama yang tidak lagi disebut-sebut di Kaldera dalam kurun ratusan tahun setelah Era Kekuatan, baik itu dalam catatan resmi maupun di Pustaka Antara yang katanya mempunyai segala ilmu.

Salamander—Peri Yang Meninggalkan Tanah Subur. Peri Kehancuran. Dia yang menyulut perang di tanah Kaldera dan mengamuk karena keserakahan manusia dan membuat Kaldera tidak bisa lagi ditinggali. Kasar. Tamak. Pemaksa. Begitulah kisah-kisah pengantar tidur menggambarkan Salamander, atau yang kerap disebut 'Peri Merah Pemarah'.

Lianna mengingat sekali cerita-cerita pengantar tidur yang kerap diulang di panti hampir setiap malam, bagaimana orang-orang tua menakut-nakuti anak-anak yang sukar tidur atau kerap membangkang bahwa nantinya mereka akan dijemput oleh Peri Merah dan tidak akan pernah kembali. Seperti anak-anak lainnya, pesan cerita itu melekat pada benaknya dan membuatnya menjadi lebih taat.

Namun, ketika Lianna melihat kisah Salamander di kacamata berbeda, segalanya berubah.

Buku yang ia temukan saat pertama kali mengenal buku, 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan', menangkap cerita Salamander yang penuh kasih.

Saat itu, ketika Lianna kecil menemukan 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan', anak-anak panti lainnya berkata bahwa buku itu terlalu sulit dibaca dan mereka cenderung lebih senang dibacakan cerita ketimbang membaca. Memang benar, perbendaharaan kata anak-anak panti cukup minim, belum lagi mereka tidak banyak belajar tentang aksara selain lisan. Baru ketika umur mereka cukup untuk masuk dalam kamp pekerja, biasanya sekitar dua belas atau tiga belas tahun, mereka akan diajarkan menulis dan membaca dengan benar untuk bisa melakukan serangkaian tes tertulis.

Lianna pun akhirnya berusaha sendiri untuk bisa membaca, dan kisah yang ada di Tanah Yang Dilupakan Tuhan baginya terasa sangat nyata.

Salamander di epik buku 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan' hidup sangat dekat dengan manusia. Peri itu tidak ingin dianggap sebagai pemimpin, kepala suku, kepala negara, kepala kontinen, atau bahkan ratu. Salamander bisa muncul di mana saja dan terkadang tidak perlu ada sesembahan atau sejenisnya untuk meminta waktu dengan sang Peri Api. Semua tahu di hati mereka masing-masing kalau Salamander akan datang.

Bahkan, di akhir buku tersebut dituliskan bahwa wajar saja Salamander murka tentang apa yang terjadi di saat Era Kekuatan dan perang yang menghabiskan banyak sekali nyawa itu terjadi, walau Lianna tidak terlalu paham maknanya.

Kini, Lianna ada di 'sana', entah di mana lokasi itu atau 'waktu' ini, ia bergerak mengikuti alur, seakan kenyataan itu ada pada dirinya dan ia tengah melihat Salamander dari dekat.

Di hadapannya kini berdiri sosok Salamander yang tersenyum lebar, ia menatap Lianna dengan mata emasnya yang berpendar. Lianna turut bingung kenapa sang Peri berbicara dengan manusia biasa sepertinya.

"Ada apa? Keramaian membuatmu kebingungan?" Salamander bertanya padanya. Lianna tidak bisa menjawab atau menggerakkan diri, tapi 'dirinya' itu mengangguk cepat menanggapi pertanyaan Salamander.

"Kamu ini, makanya kubilang kamu harus lebih berbaur dengan yang lain. Tuh, seperti yang sering kubilang, semua ramah dan baik, kok."

Mata itu mengikuti arah Salamander menunjuk kembali ke hutan. Hadirin yang menggunakan jubah tampak giat dengan kesibukan mereka masing-masing: menempa, membaca, menulis, berniaga ... semua punya kegiatannya sendiri dan mereka tampak bahagia untuk bekerja.

"Ayo, ikuti aku. Kamu harus bertemu dengan seseorang."

Salamander menariknya melangkah pergi. Seiring perjalanan mereka menempuh petak demi petak hutan dengan tanah berpasir itu, semua menyapa akrab Salamander. Wanita itu menjawab mereka dengan antusias, menyeringai lebar pada para pria-pria yang mengangkut barang berat, ia mengacak rambut anak-anak yang mengatainya wanita tua dan tertawa bersama mereka, ia juga mengulurkan bantuan bagi para lansia dan mereka yang membutuhkan.

Lianna sesekali mengingat isi buku yang sudah ia hafal dibenaknya mengenai Salamander. 'Sosok yang serupa mentari, hingga kadang para manusia berpikir bahwa Peri itu adalah jelmaan mentari', buku itu mendeskripsikan Salamander dengan benar.

Apa artinya Lianna cuma sekedar bermimpi tentang buku yang dibacanya hampir setiap hari?

Salamander membawanya ke sebuah bangunan kokoh dari batu dengan atap terbuka. Dari sisi jendela, Lianna bisa melihat orang-orang didalamnya tengah sibuk dengan berbagai macam tungku dan besi tempa. Lianna berpikir bahwa mereka adalah pandai besi, atau seperti keluarga Bu Sekretaris Rowena, pengrajin logam.

"Anda serius membawa saya kemari, Yang Mu–"

"Hush. Sudah kubilang untuk panggil aku Salamander saja." cibirnya. "Ya, kamu akan mulai aktif di sini sekarang. Ayo, jangan malu-malu! Harus kuperkenalkan kamu dengan yang lain!"

Salamander menariknya ke dalam bangunan itu, dan semua pekerja di sana sontak menoleh dengan kedatangan sang Peri. Mereka tampak bahagia sekali dengan kedatangan Salamander ke sana, tapi lagi-lagi Lianna tidak bisa mendengar apa yang Salamander bicarakan dengan orang-orang itu.

Mata si pengamat kemudian mengedar ke sekeliling bangunan dengan penuh rasa ingin tahu. Si pengamat tampak familier dengan tungku itu, juga kuali-kuali besar di sana, dan perapian besar yang ada di tengah-tengah ruangan. Lalu, di antara banyak alat yang tampak tradisional itu, ada panel-panel canggih menempel di dinding, dan pintu-pintu besar yang memuat bongkahan-bongkahan logam yang tampaknya disegel oleh rantai dan gembok.

"Jadi Salamander, apakah dia ini ..." sebagian suara itu hilang, salah satu pekerja mendekat dan menjabat tangan si pengamat yang masih merasa canggung berada di sana.

"Ya, dia yang akan menjadi ..." Salamander berujar. Si pengamat kemudian menurunkan pandangannya malu-malu. "Jangan sungkan untuk segera mulai, aku akan mengamati kalian dari jauh~"

"Boleh sekali, kok, kalau anda mengamatinya dari dekat, Salamander! Toh ini juga 'kan buah karya anda!"

Lianna lalu mengikuti dua sosok itu menuju perapian besar di tengah ruangan, sepertinya pekerja tadi memberikan tur pada si pengamat walau Lianna sama sekali tidak bisa mendengar isi pembicaraan mereka. Si pengamat sesekali menatap dinding itu lagi, terutama di bongkahan logam yang lebih kecil dibanding yang lainnya.

"Maaf, apakah yang kalian maksud adalah itu?" si pengamat menunjuk bongkahan logam kecil. Si pekerja bertepuk tangan.

"Ah! Anda benar-benar cakap! Padahal saya belum menjelaskan sampai ke sana," ia tampak bahagia. "Benar sekali, ini adalah—"


🛠


Lianna tersentak, kini ia kembali melihat markas. Tangannya meremas sesuatu, dan ketika pandangannya terfokus, malam belum pergi dan hanya Mei yang terlihat muram menatapnya balik. Ia menggenggam tangan Mei erat-erat. Mei kemudian menghela napas panjang penuh kelegaan saat melihat Lianna membuka matanya.

"Syukurlah," desisnya. "Kamu tidak apa-apa, 'kan?"

Lianna merasa kerongkongannya terlalu kering untuk berbicara, tenggorokannya pun terasa kekurangan alir napas, ia pun memilih untuk mengangguk. Mei menarik selembar sapu tangan dari kemejanya dan memberikannya pada Lianna. Saat Mei menyentuh pipinya dengan kain itu, Lianna tersadar kalau ia benar-benar menangis.

Siapa yang tidak akan menangis ketika berhadapan langsung dengan sesosok peri—Salamander?

"Kamu ... apa kamu sedang mengalami mimpi buruk? Tadi kamu ..." Mei sejenak seperti kehabisan kata-kata untuk menjelaskan, ia lalu tertegun. "Ah, apa kamu butuh minum?"

Lianna mengangguk lagi. Mei segera menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ia lalu menatap tangannya lagi yang berkeringat, ia tadi sudah menggenggam tangan Mei kuat-kuat.

Ia pun mencoba untuk duduk, tapi kepalanya terasa terlalu berat dan ia terhuyung kembali ke kasur, serasa tidak berguna. Mei kembali dengan segelas air, dan ia membantu Lianna duduk.

Setelah segelas air tandas, Lianna akhirnya merasa lebih rileks. Layaknya sesuatu di dalam dirinya telah padam.

"Lianna," ucap Mei lirih. "Serius kamu tidak apa-apa?"

"Maaf sudah membuatmu khawatir, aku tidak apa-apa kok. Dan aku tidak mimpi buruk," ia memutar bola matanya. "Malah kurasa aku mimpi indah, indah sekali."

Mei mengernyitkan dahi, ia terlihat skeptis. Pada akhirnya Mei mengiyakan dan duduk di samping Lianna di tempat tidur.

"Oh, Mei, bisa ambilkan aku sebuah buku?"

Mei menelengkan kepala, "Yang mana?"

"Buku berjudul 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan'." pintanya.

Sama seperti cepatnya Mei belajar menjadi lebih 'manusia' dan menghafal kebiasaan-kebiasaan dan tata krama, Mei pun dengan mudah mengingat letak Lianna menyimpan buku-bukunya. Mei kembali ke area tengah dengan buku 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan' sesuai permintaan, ia memberikannya ke pangkuan Lianna.

"Kamu sangat menyukai buku ini, ya. Aku melihatmu membacanya setiap pagi."

Lianna mengiyakan, "Ini buku pertama yang kudapat," ia membelai sampul usang itu dengan lembut.

"Saat itu ada donatur panti yang membagikan hadiah ke anak-anak. Semua boleh memilih apa saja yang donatur itu berikan, baju bekas, sepatu bekas ... aku yang masih terlalu kecil saat itu kebagian sisaan dari mereka yang lebih tua dan besar, dan itu adalah buku ini."

Sebuah media yang sudah ditinggalkan yang tidak memiliki nama penulis bagi anak-anak yang terlupakan, sebuah ironi yang melekat sebagai identitas.

Bila Lianna tidak bertemu dengan buku ini, mungkin kecintaannya pada 'sampah pohon' tidak akan berkembang, selayaknya Rosen dengan perkembangan senjata dan pernak-pernik Warden.

Lianna membuka halaman awal buku itu, Mei turut membaca bersamanya, menyandarkan kepalanya di bahu Lianna.

"Aku sempat mencari soal tipe cerita pada buku ini di Pustaka Antara, sepertinya buku ini diklasifikasikan sebagai epik, dan atau cerita yang berdasarkan sejarah," ucap Lianna sebelum membalik halaman pertama. "Tapi sejarah Kaldera sangat kelam, terutama setelah Peri bernama Salamander murka dan membuat wilayah Kaldera tidak bisa lagi ditinggali. Pada akhirnya tidak banyak dokumentasi sejarah di saat sebelum Pulau Melayang dibangun."

Mei manggut-manggut, "Begitu. Jadi itulah alasan mengapa Pustaka Antara tidak memiliki catatan lebih lama dari saat Pulau Melayang selesai."

"Oh? Kamu sudah mencoba mencari sampai ke sana?"

"Kalian pernah bilang kalau kemungkinan aku berasal dari masa lampau, jadi aku mencoba mencari topik sekitar itu," Mei menjawab, ekspresinya muram. "Tapi ya, tidak banyak yang kutemukan dari apa yang kalian sudah pernah carikan."

Lianna berhenti di halaman kedua, ia kini menatap Mei. "Dan kamu masih merasa belum mengingat apa pun?"

Mei menggeleng, Lianna sejenak turut merasa iba.

"Aneh, ya. Aku bisa tahu segalanya, atau mempelajari apa saja dengan cepat, tapi aku sama sekali tidak ingat siapa diriku sebenarnya." ucap Mei dengan nada yang terkesan sarkastis.

Lianna membuka lembar ketiga. Buku itu mulai menceritakan tentang Salamander sang Peri Api dan sosoknya yang dekat dengan manusia. Tidak ada Salamander yang congkak. Tidak ada Salamander yang pemarah. Buku itu mengisahkan Salamander sebagai individu yang turut berjalan bersama manusia. Di tengah ruangan yang remang itu, mereka berdua membaca dalam hening, paragraf demi paragraf di atas kertas yang sudah menguning, dan Lianna merasa seperti ia baru pertama kali membaca buku itu—buku yang sepuluh halaman pertamanya sudah bisa ia sebutkan kata per kata dari luar kepala.

"Salamander," rapal Mei. "Di Pustaka Antara, tidak ada apa-apa soal Salamander. Yang kutahu adanya Peri Api atau Peri Merah."

"Benar. Mungkin tidak ada yang terlalu ingat dengan nama 'Salamander' lagi, kurasa. Manusia sangat benci dengan lahannya yang dibuat luluh-lantak," imbuh Lianna.

"Kamu tidak merasa Salamander salah, Lianna?"

Tentu Lianna tidak bisa menyebutkan soal mimpinya, karena bisa saja nirsadarnya-lah yang membawa isi buku itu ke dalam rajut-rajut imaji. Ia tidak bisa mendeskripsikan rasa haru itu, seakan rindu yang tak akan pernah terbalas, emosi yang meletup-letup.

"Mungkin kalau aku tidak pernah membaca buku ini, aku akan sama dengan yang lain," jawab Lianna. "Kurasa ... apa yang terjadi tidak sesederhana satu pihak salah dan satu pihak benar."

Mereka membaca satu halaman lagi, masih tentang awal perjalanan Salamander di tanah Kaldera, kemudian Mei menahan tangan Lianna untuk membuka halaman baru.

"Lebih baik kita mencoba tidur, atau mungkin kita akan keterusan membaca ini sampai pagi." ungkap Mei, matanya memicing tajam menatap Lianna yang hanya bisa menarik pandangannya.

Lianna menanggalkan kemejanya yang sudah kusut karena ia tadi bablas terlelap, menarik baju lain dari dalam lemari untuk sekedar dipakai tidur. Mei tidak punya banyak baju selain pakaian Lianna yang sudah kekecilan, tapi ia tidak banyak pilih-pilih dan bersedia menggunakan apa saja, Mei biasanya akan memakai salah satu kamisol lama, dan malam itu pun sepertinya Mei sudah mengganti bajunya, hingga mungkin tadi ia menyadari Lianna tengah 'bermimpi buruk'.

Belum lama mereka berdebat soal siapa yang tidur di kasur, dan kini mereka berdua berbagi kasur yang sama. Lianna belum pernah tidur bersama orang lain, dan bahkan di panti yang punya banyak kasur kecil, Lianna tidak pernah kedapatan untuk menjadi mereka yang terpaksa tidur tiga atau empat anak dalam satu kasur.

Mei mematikan lampu, membiarkan cahaya dari luar markas menembus jendela yang ada di tingkat dua sebagai satu-satunya penerangan di sana. Lianna membaringkan diri, tidak merasa terlalu mengantuk dan selelah tadi saat mereka kembali ke markas, tapi rasanya akan merepotkan bila ia tidak tidur malam ini dan kembali menjalankan aktivitas padat di esok harinya.

Lianna memutar badannya, memerhatikan Mei yang memandang lurus langit-langit. Mata biru itu seakan menyala dalam gelap, seperti dua netra kucing. Mei bilang ia sebenarnya tidak perlu tidur, sangat tidak manusiawi—dan benar adanya karena dia bukan manusia—tapi Mei-lah yang meminta Lianna untuk tidur.

Mei terlalu cepat menjadi sangat manusia sebelum orang lain berpikir bahwa tidak alami baginya menjadi manusia.

"Ada apa, Lianna?"

Mei turut memutar badannya, dan kini mereka saling bertatapan di atas kasur. Lianna sejenak mengingat kembali saat ia menemukan Mei di ruangan rahasia itu dalam peti besi. Kini, ia bahkan lebih terdengar logis dan lebih pengertian ketimbang manusia betulan.

"Tidur." cecarnya.

"Iya, Mei."

Mereka tetap bertatapan seperti itu dalam beberapa saat dan Mei terlihat mulai kesal.

"Boleh aku memegang tanganmu lagi?" pinta Lianna mendadak.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa, cuma sekedar ingin."

Mei memberikan tangan kanannya di antara mereka. "Nih."

"Selamat tidur, Mei."

Setelahnya, Lianna tidak pernah memimpikan tempat itu lagi—atau melihat Salamander untuk kedua kalinya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro