XLIII. | Pembebasan, bagian kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam itu adalah malam yang indah, sama seperti malam yang kini Gloria inderai dari layar kokpit Warden-nya.

Setelah dua tahun lamanya mereka berdua berpisah karena penugasan wajib militer, mereka hanya punya waktu singkat untuk bercengkrama sebelum mereka berdua sibuk dengan urusan skuadron masing-masing.

Mengesampingkan apa yang sudah Karen beritahu tentang E8, Gloria terus terang hanya ingin mengobrol dengan Karen.

Mereka berdua kembali ke area dalam, terlalu lama berada di luar dengan musim dingin yang belum sempurna usai tidak baik bagi kesehatan.

Dan benar saja ketika mereka berdua masuk, Karen mulai bersin. Gloria meliriknya dan Karen membuang muka, mengusap hidungnya.

"Mau kubuatkan sesuatu?"

"Tidak usah."

"Coklat hangat atau susu? Tadi kayaknya Fio beli."

"Kubilang nggak usah."

"Susu coklat? Boleh juga, sudah lama kita nggak minum itu sejak terakhir kita di Spriggan."

Ekspresi Karen kecut, sementara Gloria tetap nyengir lebar. Saat Karen bersin lagi, Gloria yang sudah sengaja membawa mantel ekstra menaruhnya di pundak Karen, ia segera ke dapur setelahnya.

"Duduk saja di sofa, nanti aku bawakan susu coklatnya~"

Walau demikian, Karen turut. Ia melingkarkan mantel itu dengan nyaman di tubuhnya dan berdiam diri di tepi dapur seraya Gloria mulai melelehkan coklat sambil menghangatkan susu. Tadi Gloria sempat bilang ke Fiore kalau dia beli coklat mungkin yang pakai adalah Blair, tapi sepertinya Gloria juga menemukan kegunaan coklat itu sekarang.

"Kamu nggak pernah berubah ya, Gloria," ucap Karen tiba-tiba. "Masih saja peduli pada orang lain, terus cengeng ..."

Gloria tidak segera menjawab, matanya terfokus pada dua tungku yang menyala dengan api kecil. Ia mengamati agar coklat yang dilelehkannya cair perlahan sesuai yang Blair pernah bilang padanya.

Kalau Muriel adalah master dari segala master di dapur, Blair punya keahliannya sendiri soal minum-minuman. Kalau Gloria tidak salah ingat, coklat sebaiknya dilelehkan perlahan agar tidak mudah memadat lagi saat didiamkan di suhu kamar. Ada sedikit trik untuk terus mengatur suhu, tapi Gloria tidak terlalu ingat seluruh anjuran Blair, toh paling tidak setelahnya Gloria sudah tahu cara membuat susu coklat hangat dengan benar, berbeda ketika dia masih kecil dulu.

"Lalu apa kamu mau aku berubah?" Gloria mengimbuh. "Bagaimana kalau aku tadi lebih marah lagi, atau lebih kasar ... apa kamu akan tetap mau berbicara denganku?"

Karen terdiam. Gloria berulas senyum tipis. Setelah coklatnya sempurna cair dan susu masih dalam kondisi hangat namun tidak mendidih, Gloria mencampur dua cairan itu dan mengaduknya perlahan di api kecil. Setelah dilihatnya susu telah sempurna bercampur dengan coklat, Gloria segera menuangnya di dua gelas.

Ia lalu menaruh gelas untuk Karen di atas meja, sementara Gloria duduk di sampingnya di satu-satunya sofa ruangan itu.

"Harusnya kamu lebih marah lagi," ucap Karen, ia memegang gelas itu dengan tatapan muram, menatap susu coklat di sana yang memantulkan ekspresi yang tidak biasa.

"Untuk apa? Kurasa aku sudah cukup menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan," Gloria mengangkat bahunya. Ia menyesap pelan susu coklat, merasakan hangat yang nyaman menjalar dari mulutnya ke kerongkongan. Ah, rasa pahit yang tak tergantikan. "Atau ternyata Chevalier benar, kamu ada kecenderungan masokis?"

Karen melirik tajam, Gloria hanya tergelak.

"Aku tidak menemukan keharusan untuk marah-marah, toh aku tahu kamu punya alasanmu sendiri tidak memberitahukan segalanya, 'kan?" Gloria membalas dengan rileks. "Yah, aku kecewa, sih karena kamu terus menyembunyikan sesuatu dariku, tapi sekarang aku ... bisa berpikir kalau suatu hari nanti kamu akan bicara terus terang."

"Gloria ...,"

Mungkin, mungkin ia terlalu naif untuk terus percaya. Sudah sekian kali Karen melakukan sesuatu di belakangnya dan Gloria tidak pernah diberi tahu apa-apa, seakan mereka memang bukan siapa-siapa. Memang, mereka berdua hanya dua orang asing yang kebetulan saja bertemu, mengenal kebiasaan masing-masing, dan saling bicara. Status 'teman' bukan berarti kamu berhak mengetahui segalanya dari seorang individu, bahkan 'keluarga' sekalipun punya batasan-batasan privasi yang tidak bisa seenaknya dilanggar.

Gloria kecewa, tapi Gloria menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Bukan posisinya untuk memaksa bila Karen tidak ingin bicara, karena memang dia tidak berhak mengontrol keputusan Karen atau menggurui Karen.

"Diminum. Nanti dingin malah sayang."

"Iya, iya ..." Karen sedikit merajuk, ia akhirnya meminum susu coklat itu. Tampak ekspresi dinginnya berubah sedikit dan Gloria melihatnya dengan kelegaan.

Di saat yang sama, situasi ini membuat Gloria memikirkan apakah dirinya mempunyai suatu tujuan hidup yang jelas atau tidak. Sebagai seorang yang terlahir dengan karir yang jelas dan bergelimang harta dan kuasa, Gloria selalu bisa memilih untuk terus menutup mata. Menutup mata dan mewarisi Perusahaan Wiseman. Menutup mata dan segala yang diinginkannya akan tersedia untuknya tanpa ia harus repot-repot mencari. Menutup mata dan berlagak seperti awam lainnya yang menjadi pebisnis dan pemain saham dan hanya peduli dengan geliat ekonomi dan teknologi.

Tapi disinilah dia sekarang: seorang perwira muda bagian dari militer kontinen yang telah menjajah tanah kelahirannya, duduk bersama seorang wanita muda yang belum menyerah untuk membebaskan Spriggan, dan Gloria tahu kalau wanita ini telah mengambil pilihan-pilihan yang tidak dapat diulang kembali.

Berbeda dengan Gloria yang masih memiliki opsi untuk menyudahi ini semua dan kembali ke kenyamanan, Karen memilih untuk terus berperang. Bergelut dengan takdir. Mencoba untuk mengubah nasib dengan tangannya sendiri.

Ya, mereka berdua adalah dua kutub yang berbeda, dua orang yang kebetulan berjalan di jalur yang sama namun hampir tidak pernah saling melihat.

Gloria menerawang, hingga ia menyadari Karen berusaha memanggilnya.

"Gloria,"

"Ada apa?"

"Maaf."

Ia tersenyum, "Aneh mendengarmu minta maaf. Nggak perlu."

"Sudah kuduga kamu bakal bilang begitu," Karen terkekeh.

Gloria mengingat ada suatu hal lain yang sampai ia lupa karena topik pembicaraan mereka yang berat. Karena kebetulan ia ingat sekarang, Gloria menepuk bahu Karen.

"Kemarikan tanganmu."

"Hah?" Karen segera membuka tangannya di hadapan Gloria.

Gloria merogoh kantong perkakas yang selalu dibawanya dan mengeluarkan sebuah jam saku berlapis perunggu. Mata Karen membulat melihat benda itu Gloria taruh di tangannya.

"Akhirnya aku bisa membetulkan jam ini," Gloria mendesah lelah. "Butuh beberapa kali transmutasi sampai Chevalier bisa membuat jarum dan baut yang ukurannya sesuai."

Karen menarik ujung jam saku itu dan melihatnya dengan mata berbinar—layaknya mereka kembali ke masa itu di kabin sang kakek, Gloria menyaksikan Karen bermain catur sendirian sementara dia yang polos hanya sekedar melongo menatap mata merah Karen yang dingin berkerlap-kerlip.

"Kamu ... sejak kapan?"

"Sejak kamu bilang jam kakek rusak," Gloria menjawab. "Aku bertanya kemana-mana tapi tidak ada lagi yang mengurus model tua begini ... untung ada Chevalier."

Karen menangkupkan kedua tangannya, alih-alih memeluk jam itu. "Dasar bodoh."

Gloria tersipu, "Bilang terima kasih, kek."

"Terima kasih, Gloria."

Ia mendadak tertohok, "Manis banget, tumben."

"Apaan, sih!" Karen menyenggol Gloria dan ia hanya tergelak.

Tapi sekarang, setelah kerap kali menanyakan alasan hidupnya, Gloria sudah menemukan satu dari banyak alasan yang membuatnya tetap berada di jalur itu. Mungkin masih lama dia akan menunggu hingga Karen siap memberitahukannya segala yang dialaminya, atau malah Gloria yang akan berasumsi duluan. Tapi kapan pun saat itu tiba, atau apa pun yang akan terjadi saat perjalanan mereka berdua terus bergulir, ia-

"Karen."

"Hmm?"

"Nanti kalau semua ini sudah berakhir," Gloria menatap langit-langit. "Maukah kamu kembali bersamaku ke Spriggan?"

Karen memutar bola matanya, "Kenapa tiba-tiba? Tentu saja aku akan kembali ke Spriggan, buat apa berlama-lama di Angia?"

Gloria menepuk jidatnya, "Bukan begitu."

"Lalu?" ia menelengkan kepala.

"Aku bingung kamu tuh kepinteran atau kadang pura-pura bodoh," saat Karen membalas Gloria dengan tatapan kebingungan, Gloria hanya bisa menghela napas panjang. "Ah, lupakan! Nanti kalau kamu kembali dari Aira akan kuulang lagi!"

"Apaan, sih, Gloria?"

Gloria hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, dan mereka berdua mulai membicarakan topik yang lebih ringan ketimbang Gloria malah terus tambah malu.

Aku akan menunggu, menanti, hingga kamu pulang bersamaku, pulang ke rumah, kembali. Aku akan terus di sini, mengerti, dan aku akan bilang padamu kalau kamu tidak pernah sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro