XLVII. | Sang Pengamat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memori yang Lianna lihat tidak terhenti sampai di sana saja.

Setelah ia menerima tangan Mei, Lianna merasa ia tengah ditarik oleh tangan yang sama, namun berjalan di masa lalu. Tangan itulah tangan hangat yang menarik dia ... tidak ... sang pengamat. Tangan itu yang lebih banyak berinteraksi dengan sang pengamat ketika Salamander lebih sibuk setelah magnum opus berhasil tercipta.

Ya, magnum opus itu adalah Mei—atau seperti yang dinamakan oleh sang pengamat dan Salamander, Falstaff.

"Falstaff, tunggu, laporanku belum selesai, nanti aku dimarahi lagi sama-"

"Oh ayolah," rajuknya. "Kamu 'kan tinggal bilang ke Sala kalau ada yang memarahimu? Kenapa kamu tidak pernah bilang?"

"Situasinya lagi tidak terlalu enak sekarang, toh Salamander juga sibuk ..." pungkasnya. "Mau kemana lagi kita?"

"Hmm, entah? Jalan-jalan saja, kamu pastinya sudah lama nggak ke luar lab, 'kan?"

Sang pengamat hanya bisa menurut ketika Falstaff menariknya menuju area luar lewat pintu belakang yang menuju ke arah danau.

Sudah dua bulan ini sang pengamat menghabiskan waktu di sana - sebuah bagian pulau yang cukup jauh dari area pegunungan - sambil mengamati perkembangan Falstaff setelah proyek selesai.

Karya agung Kaldera, sebuah 'Kitab' yang mempunyai ego, itulah Falstaff. Proyek itu akhirnya disempurnakan dengan bantuan Sylph saat Salamander membenarkan Aether, dan dengan cetak biru dari sang pengamat mengenai homunculus yang mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut.

Homunculus bukanlah hal baru di Kaldera, seperti di Pusara banyak yang sudah menyempurnakan sihir yang dinamakan 'Reanimasi'. Namun, Salamander belum menemukan homunculus yang dapat menampung ego, menyimpan memori dan energi perihal penggunaan Kitab Takhta Tak Berguna, dan melaksanakan fungsi biologis. Salamander sudah mencoba mencari para teknisi, alkemis, dan praktisi-praktisi Urodela di tanah Kaldera untuk ini, hingga ia bertemu dengan sang pengamat.

"Kenapa anda ingin membuat Kitab yang memiliki kepribadian?" pengamat ingat pernah bertanya ini pada Salamander ketika sang peri bertandang kembali setelah sekian kali ditolak.

Kalau dipikir-pikir, sang pengamat sudah sangat lancang menolak kehadiran Peri Merah di rumahnya—toh awalnya Salamander tidak pernah menyatakan kalau dia adalah si 'peri'.

"Sederhananya, aku mendambakan Kaldera yang terus berkembang, jadi aku ingin panduan yang bisa terus fleksibel walau zaman telah berubah," ungkapnya saat itu, ia menjelaskan keinginannya dengan mata berbinar-binar. "Manusia biasa tidak akan bisa mengemban kitab, namun buatan tidak memiliki ego untuk memanfaatkan kitab - ambisiku adalah menggabungkannya."

Salamander tertarik dengan prototipe homunculusnya yang sekedar sebuah karya kecil dan remeh di tengah-tengah banyaknya pengrajin dan alkemis yang mengikuti tren pembuatan homunculus. Di saat itu juga setelah Salamander menyatakan mimpinya, ia menjelaskan tentang Aether dan bagaimana homunculus yang bertindak sebagai wadah ini akan menampung Aether untuk melaksanakan fungsi kitab dan fungsi ego.

Sebuah keajaiban, bukan? Terutama setelah melihat Falstaff benar-benar berbicara dan bergerak.

Mereka berdua sampai di tepi danau. Falstaff segera mencelupkan kakinya ke dalam air dan mulailah ia bermain air. Sang pengamat memerhatikan Falstaff sembari meneduh di bawah pohon rimbun terdekat, antara malas terciprat air dan sekedar ingin melihatnya dari jauh. Rasa bahagia dan bangga terkembang di benaknya, seperti orang tua yang melihat anaknya berkembang pesat.

"Bagaimana tubuhmu, sudah lebih enak?" tanya sang pengamat.

Falstaff bersenandung, "Lebih nyaman, tidak overheat~" ucapnya. "Tenang saja aku tetap akan kembali ke peti dingin saat malam seperti anjuranmu, kok."

"Bagus deh kalau kamu bisa menurut sekarang."

"Aku dibuat sesuai spesifikasi, ya, wajar saja aku lama-lama mengerti caranya menurut," sergahnya.

"Ah kamu ini berkilah saja terus, sama kayak Salamander."

"Hei, Sala tidak ada hubungannya dengan ini."

Falstaff hendak menyemprot air danau ke arah sang pengamat, ia kemudian berlari menghindar dan bersembunyi di balik pohon. Mereka berdua tertawa lepas sebelum akhirnya sang pengamat turut duduk bersama Falstaff dan mencelupkan kakinya di danau itu. Sejenak, matanya sebagai seorang peneliti dan alkemis tidak bisa jauh-jauh dari fokus untuk menemukan adanya kejanggalan dari Falstaff atau tidak, terutama dari suhu tubuhnya. Sang pengamat pun iseng mencubit pipi Falstaff dan Falstaff berekspresi kecut.

"Apa sih? Mau dilempar ke danau, hah?"

"Jangan, aku nggak bisa berenang."

"Oh, oke," ucapnya. "Nggak lucu kalau nanti aku panggil-panggil Sala buat menyelamatkanmu di danau cetek."

"Eh? Ini danaunya cetek?"

"Paling sepinggang, sih? Tapi aku belum boleh mencoba merendam separuh bagian tubuhku di air, bukan?"

"Ah, iya juga ..."

Salamander sudah mengingatkan bahwa Falstaff mungkin belum bisa stabil dalam waktu dekat, terutama di masalah suhu tubuhnya. Mereka tidak yakin karena ini perihal 'cangkang' Falstaff yang masih beradaptasi dengan Aether atau penyebab lainnya, namun Falstaff kerap kali mengalami overheating. Untuk mengatasi ini, mereka sengaja menempatkan Falstaff di sebuah peti dingin khusus ketika ia ingin beristirahat.

Selama dua bulan ini, ada perkembangan jelas bahwa ketakutan mereka bahwa Falstaff akan menjadi produk gagal tidak terbukti. Falstaff sangat cepat beradaptasi dan belajar, ia juga sudah mulai bisa membantu pekerjaan para peneliti dan teknisi Urodela yang terkadang mampir di tempat itu. Tapi untuk saat ini, Salamander mempercayakan Falstaff seluruhnya pada sang pengamat, sementara Salamander mengurus hal lain.

Sang pengamat menatap jauh ke seberang danau, ke tanah Kaldera yang subur dan temaram, dan juga kenyataan yang perlahan menggerogotinya.

Sang pengamat bukanlah orang yang lahir sebagai bangsa Urodela. Ia ada di sana bagaikan 'anak emas' yang selalu diagung-agungkan Salamander. Bangsa Urodela adalah mereka yang terpilih mewarisi segala pemikiran dan mimpi Salamander, juga rumornya mereka adalah hasil asimilasi kekuatan Salamander dengan manusia asli Kaldera.

Ketika sang pengamat diangkat menjadi bagian bangsa yang hebat itu, tidak sedikit dari mereka yang merasa iri; tidak hanya dari pihak luar Urodela, namun juga beberapa petinggi Urodela yang merasa sang pengamat tidak pantas, walau jasanya sangat besar untuk menyempurnakan Falstaff.

Persaingan-persaingan itu makin kentara setelah sang pengamat menyelesaikan Falstaff. Ia sebenarnya tahu pihak-pihak mana saja yang membencinya dan menginginkannya pergi dari kuasa Urodela atau lenyap. Ada juga mereka yang menurut Salamander berusaha membuat 'tandingan' Falstaff.

"Falstaff bukanlah Falstaff tanpa ego dan Aether," begitu ucap Salamander ketika ia menangkap kabar burung itu. "Tapi aku mengkhawatirkan mereka yang mungkin akan berlaku di luar batas."

Selain mengenai pembuatan Falstaff, ada satu hal lagi yang mengundang iri mereka semua, dan itu adalah sebuah simbol yang ada di punggung tangan sang pengamat.

Setiap Kitab memiliki Pemegang—ini adalah ketentuan yang sudah ada sejak Para Peri memutuskan menghimpun kebijaksanaan dan keahlian mereka dalam wadah yang dinamakan 'Kitab'.

Sepengetahuan sang pengamat, yang pernah berbicara dengan Sylph dan mendengar obrolan mereka tentang dua peri lainnya, umumnya 'Kitab' berbentuk seperti 'buku'. Di Angia, Kitab ini dipercayakan turun-temurun oleh garis keturunan yang sudah dianggap suci oleh Sylph, dengan pemilihan Pemegang Kitab berikutnya dilaksanakan dengan prosedur ketat berupa serangkaian tes dan kualifikasi. Di Pusara, Kitab mereka dipegang dan dijaga oleh keluarga yang dinamakan sebagai 'Penjaga Makam'. Sementara di Aira, Nymph sendiri-lah yang memilih Pemegang Kitab selanjutnya atas dasar yang manusia tidak pernah ketahui.

Walau Falstaff memiliki kepribadian, dia tetap harus mempunyai Pemegang Kitab—dan ketika itulah Falstaff memilih dirinya, bukan orang lain yang memiliki status tinggi di Urodela atau orang-orang hebat lainnya yang sudah sempat diperkenalkan saat Falstaff pertama kali diaktifkan.

Sang pengamat masih mengingat jelas akan hari itu, ketika sekelilingnya sunyi saat Falstaff memintanya berikrar untuk mengikat kontrak mereka.

Sang pengamat-lah yang nantinya dikenal sebagai Pemegang Kitab Takhta Tak Berguna yang pertama, lagi tidak ada yang bertepuk tangan atau gembira untuknya selain Salamander.

Falstaff menunjuk sang pengamat segera dan ia tidak menerima penolakan, sehingga iri dan dengki yang menunjuk ke arah sang pengamat menjadi lebih intens.

"Kamu masih memikirkan soal itu, ya?"

"Soal apa?" sang pengamat berpura polos.

"Soal kenapa kamu yang dipilih jadi Pemegang Kitab," ucapnya. "Aku ingat benar kamu menolak terus-terusan karena kamu bukan orang Urodela."

"Ya benar, 'kan? Nanti bagaimana kalau kamu perlu Pemegang selanjutnya misal orang-orang Urodela sangsi akan pilihanmu?" sang pengamat mendecak. Falstaff memicing tidak puas.

"Aku juga bukan sekedar memilih," serunya, matanya kini nyalang. Ia menangkup kedua pipi si pengamat dengan gemas. "Aku adalah Kitab yang menyimpan teknologi-teknologi. Aku tidak sekedar memilih mereka yang cakap, namun juga mereka yang punya kerendahan hati dan mampu mengemban berat tanggung jawab dan rahasia."

"... Rahasia?"

Falstaff menempelkan dahinya pada dahi si pengamat. Sang pengamat merasakan adanya percikan energi kecil, sebuah koneksi semirip utas tali tipis yang menghubungkan mereka berdua.

"Tidak sembarangan manusia bisa menahan dirinya ketika dihadapkan dengan pengetahuan yang sekilas tidak terbatas," ucapnya, seakan ia bersabda kata-kata dari Kitab itu sendiri. "Ketika melihatmu, aku yakin kamu akan bertanggung jawab hingga akhir, apa pun yang akan terjadi pada Kaldera nantinya."

Sang pengamat sejenak merasa menyesal ia tidak mencoba bertanya lebih lanjut soal itu pada Falstaff—atau berusaha membantu Salamander mengatasi pihak-pihak yang nantinya akan berbuat lebih kelewat batas sesaat sebelum turbulensi sihir memporak-porandakan Kaldera.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro