XLVIII. | Aether Agung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lianna bukan sekedar mampu melihat memori itu karena ia terpapar Aether, itulah yang dirasakannya ketika ia membuka matanya kembali dan menapak kembali ke 'saat ini'.

Ketika Mei pertama kali menggunakan Aether saat kejadian pembajakan gedung untuk menyelamatkan Lianna, semua yang hadir di sana terpapar oleh penggunaan Aether yang tidak sempurna. Lianna menjadi satu-satunya yang dapat melihat memori ini karena ia mewarisi sebuah 'kunci' yang turun-temurun diberikan dan terus berpindah tangan dari seorang alkemis Urodela yang bukan bagian dari 'Urodela'.

Dalam kunci itu terkandung Aether yang sama dengan apa yang mengalir di tubuh Mei, sebuah bentuk autentikasi yang sengaja dibuat Pemegang Kitab pertama agar Mei tidak jatuh ke tangan yang tidak diinginkan dan Mei tidak digunakan untuk hal yang tidak semestinya.

Autentikasi ini sengaja dibuat sehingga hanya orang-orang tertentu yang 'mencari tahu', sebagaimana motto Salamander yang selalu haus akan ilmu, nantinya akan dipertemukan antara 'kunci' dan 'kotak'-nya di saat yang sudah ditentukan.

Kunci itu adalah sebuah karya yang dibuat sendiri oleh seorang alkemis Urodela yang bukan bagian dari 'Urodela' di akhir hayatnya—sebuah buku narasi berbentuk autobiografi yang bernama 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan'.

.

Mei membawanya ke 'Ruang Pengamatan', sebuah gedung yang telah lama ditinggalkan yang terletak di ujung Sektor 3, lokasi terdekat untuk mengamati daratan Kaldera lama.

Lianna merasa limpung, tidak mengerti bagian mana memori yang baru saja dilihatnya yang benar-benar terasa relevan saat ini, sampai ia menghadapi Mei di 'saat ini', dan segalanya terasa lebih jelas.

Beberapa menit sebelum energi itu ditembakkan, Mei menatap Lianna dengan penuh arti, seakan waktu berhenti hanya untuk mereka. Memori yang dilihat Lianna adalah saat-saat sebelum segalanya berakhir, namun awal mula yang terjadi setelahnya tidaklah bahagia.

Sebentar lagi, sejarah akan terulang, dan Salamander yang telah mengetahui datangnya hari ini sudah mempersiapkan segalanya.

"... Mei?" ia mencoba memanggil Mei di sampingnya, sosok itu kini terasa sangat jauh dan sangat asing, walau tangan mereka bertaut dan belum lama Mei mencurahkan perasaannya.

Lianna tahu bahwa Mei kini sudah mendapat semua memorinya dan ia baru saja membagikan bagian pentingnya pada Lianna.

"Jadi itu salah satu alasan kenapa aku merasa begitu tertarik padamu," Mei terkekeh. Gaya bicaranya berbeda, namun masih terasa 'Mei'. "Tapi kamu tidak perlu khawatir, Lianna, aku adalah aku - aku tidak akan mengingkari janjiku."

Lianna sejenak merasa sesak. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. 'Rencana' yang sudah diwariskan oleh Salamander adalah satu-satunya cara agar mereka bisa menghadapi situasi ini. Sejarah yang terulang bukan berarti ada yang tidak pernah belajar. Walau demikian, pengorbanan tetap saja harus dilakukan, bagaimana pun era berubah atau zaman berganti dan berevolusi. Teknologi bisa terus dipacu untuk menghadapi berbagai skenario yang sudah pernah ada, lagi selalu saja ada 'harga' yang pantas untuk membayar tuntas sebuah peristiwa.

"Kamu bisa melihat memoriku karena kamu adalah calon Pemegang Kitab," Mei menggenggam tangannya erat. "Aku hanya butuh persetujuan darimu dalam bentuk kontrak agar aku bisa menjalankan program yang sudah disiapkan Salamander untuk situasi ini."

Pemegang Kitab - sebuah status yang tidak terpikirkannya atau melekat menjadi identitasnya. Sama seperti sang pengamat, ia bukanlah keturunan Urodela, namun ia dianggap Mei sebagai Pemegang Kitab. Masih ada berbagai celah yang belum sempat Mei isi di memorinya itu namun mereka tidak punya waktu lagi untuk mengambil keputusan.

Sesuai apa yang tergambar di benaknya, akan terjadi ledakan energi garis ley yang membuat kontinen tidak stabil, tapi ledakan ini akan lebih dahsyat karena apa yang sudah terjadi ratusan tahun silam saat sebuah 'kekacauan' terjadi di tanah Kaldera. Sudah jelas di bayang-bayang mereka Pulau Melayang akan meleleh akibat panas, perlahan-lahan mereka akan disiksa oleh ledakan energi yang merupakan personifikasi Peri Api sebelum akhirnya seluruhnya akan ditelan sempurna.

'Kekacauan' itu adalah kenyataan yang dihapuskan dari sejarah Kaldera—kenyataan yang sengaja Salamander simpan bersamanya dan kenyataan yang para manusia sengaja lupakan agar tidak lagi terjadi tragedi serupa atau penderitaan yang sama, juga bagian dari ego mereka yang sengaja mengubur 'galat' yang sudah terjadi pada 'sistem'.

Alih-alih untuk membayar kesalahan yang tidak pernah diperbuatnya, Salamander menitipkan pesan terakhirnya pada Kitab Takhta Tak Berguna.

"Kenapa?" Lianna terbata-bata. "Kenapa ... harus seperti itu? Kenapa Salamander memutuskan itu? Apa tidak ada cara lainnya?"

Seberkas pecahan memori terbersit di benak Lianna, saat-saat sang pengamat—sang Pemegang Kitab pertama—memutuskan untuk mengemban tanggung jawab yang ditinggalkan oleh Salamander setelah tragedi itu, dan Kitab pada saat itu menyanggupi kemauan Pemegang Kitab.

"Tenang saja, dengan kontrak, aku akan tetap ada bersamamu. Selalu," Mei berusaha meyakinkan Lianna. "Aku hanya akan melepas cangkang ini dan Aether yang terkandung di dalamnya. Kamu sebagai Pemegang Kitab akan tetap memilikiku seutuhnya."

"Apa bedanya dengan mengorbankan dirimu sendiri, Mei!?" pekiknya keras. Mei sampai tersentak. Lianna tidak biasa berteriak sebegitu kerasnya hingga seluruh badannya gemetar hebat.

Mei bergeming, tidak berusaha membantah atau menimpali. Tatapannya tetap lurus menghadapi Lianna yang kesal. Mata biru itu jernih, seakan transparan, dan amarah Lianna tergambar jelas di pantulannya. Mei tidak membalas kekesalannya dengan teriakan yang sama. Mei tidak menyuruhnya untuk mengerti bahwa ini semua adalah demi Kaldera. Mei hanya menatapnya lembut, tersenyum manis, dengan kedua tangannya menangkup tangan Lianna seperti tengah memohon pertolongan.

"Kita tidak akan pernah berpisah, walau mungkin aku tidak bisa memegang tanganmu seperti ini lagi," Mei mengangkat tangannya yang menangkup tangan Lianna. "Aku tidak akan pergi."

Lianna masih ingin terus menyanggah. Ingin terus menumpahkan segala emosi yang bercampur aduk dalam dirinya saat ini pada Mei yang tetap menatapnya penuh arti. Lagi ia tidak setega itu padanya—pada seseorang yang membuatnya merasa spesial.

Masih ada banyak sekali tanya yang belum terjawab.

Masih ada banyak sekali hal-hal yang ingin Lianna lakukan bersama Mei.

Masih ada banyak sekali kenangan antara mereka berempat sebagai anggota 0027 yang ingin Lianna bagi.

Masih ada banyak sekali hal yang Lianna hendak ketahui dari sesosok 'buku' yang telah hidup dan menyerap segala pengetahuan tanpa henti.

Mei terus melihatnya dengan pandangan yang sama, seakan nantinya Lianna akan mengerti. Seakan nantinya Lianna akan melihat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak sempat tersirat maupun tersurat di antara mereka.

Aku akan bersamamu, selalu.

Janji itu terus terngiang di benaknya, membuatnya merasa aman dan di saat yang sama juga merobek hatinya.

.

Pada akhirnya, Lianna harus membayar harga itu dan melepas Mei—Falstaff.

Kitab Takhta Tak Berguna kini telah diperintahkan untuk menyempurnakan salah satu misi yang sudah lama diembannya.

Setelah kontrak disegel, Mei melepas tangan Lianna akhirnya. Lianna meraung, berusaha meraih tangan itu lagi, berusaha menggapai senyum itu lagi, Gloria dan Blair-lah yang menahan Lianna dari mencegah Mei pergi.

Mei lalu mendaki pagar dan melompat. Seiring dengannya, garis-garis keperakan mulai berpendar dan melayang-layang dari seluruh bagian tubuhnya, dan Mei terlihat seperti tengah terbang dengan sayap, melayang perlahan menuju daratan Kaldera lama, bukan seperti seorang bodoh yang sengaja menjatuhkan diri.

Laksana memeluk kembali tanah tempatnya dilahirkan, api yang meletup-letup kini dipertemukan dengan kehampaan antara ada dan tiada.

Falstaff perlahan terkikis seiring gelora merah mereda, getaran-getaran yang mengguncang kontinen itu menipis, dan panas yang dirasakan mengancam atmosfer mendingin.

Ledakan berikutnya adalah berupa keheningan, dan segalanya sirna dalam hitungan menit. Tidak ada lagi kengerian. Tidak ada lagi kekacauan. Tidak ada lagi panas yang menyiksa.

Mei telah lenyap, begitu juga tanah Kaldera yang kembali tenang. Miasma tidak lagi melingkupi mereka, menyisakan tanah hijau yang terbuka mendamba matahari subuh.

Garis-garis keperakan yang muncul seperti rinai hujan menyebar di udara bebas, kemudian menipis dan kemudian hilang tanpa jejak. Mei telah lenyap, begitu juga gelora merah dahsyat yang terlihat seperti mimpi buruk, dan dunia terasa telah kembali tertidur nyenyak karena merasa tenang.

Seberkas perak yang tersisa dari Mei kembali pada Lianna, layaknya sebuah bola yang mampu berubah bentuk, layaknya setitik cairan hydrargyrum yang dikuasai oleh Madam Edda, dan Lianna hanya bisa menangis tersedu-sedu sejadinya.


🛠


Ratusan meter arah barat daya dari reaktor, sekelompok yang mampu bertahan dari getaran-getaran yang terjadi karena fluktuasi energi merasa lebih lega.

Malam yang semula berbintang terasa lebih cerah, dan rasa sesak yang perlahan mencekik leher dan menghalangi napas kini sempurna hilang. Seakan telah dibangunkan dari mimpi buruk, mereka mulai berdiri, terjaga dalam malam yang semakin memudar untuk pagi yang akan menjelang.

Madam Rook menjadi yang pertama menatap jendela di cruiser itu, melihat garis-garis cakrawala yang terbentang. Mendapati tidak ada lagi getaran aneh yang seakan menarik dan menekan mereka, Leiria Alkaid kembali menyalakan cruiser dan terbang sedikit lebih tinggi untuk melihat kondisi Sektor 3 dari langit.

Di bawah sana, kondisi yang kacau terlihat semakin kacau. Getaran serupa gempa seismik itu telah menghancurkan badan jalan dan sebagian gedung-gedung, servis bot yang menjadi bangkai di jalanan turut terhambur dan menutup akses jalanan. Barikade sekitar reaktor yang sudah ditembus perlahan menjadi percuma dengan situasi yang mencekam. Ini baru saja Sektor 3, entah apa yang dialami sektor-sektor lain dan juga area Level atas kejadian ini.

Natalia turut melihat ke arah jendela bersamaan Madam Rook yang entah kenapa menatap langit tanpa berkedip. Alih-alih melihat sesuatu yang tidak biasa di sana. Natalia yang awalnya keheranan, ketika turut bersama Madam Rook duduk dan menatap cakrawala, merasa ada sesuatu yang hilang.

"Nat, kita kemana sekarang? Panggil bantuan dulu baru kembali ambil Gloria?"

Natalia tidak langsung menjawab pertanyaan Rosen, mendapati itu, Rosen pun mendekati Natalia dan melihat mereka berdua yang masih terpaku meratap jendela seakan mereka berdua adalah orang terbodoh di dunia.

Ketika Rosen menatap hal yang sama, ia merasakan kehampaan yang sama. Ia lalu bergumam. "Apa ... sebenarnya yang kalian lihat?"

Madam Rook mendesah pelan. Beliau sampai menurunkan kacamatanya untuk sekedar menghapus air mata yang entah kenapa mengalir. "Aether Agung."

"... Aether Agung?" ulang Rosen. Wanita berambut pirang kecoklatan itu mencari jawaban ke arah Natalia, yang juga turut diam. Natalia hanya tertunduk, membiarkan Madam Rook yang menjelaskan.

"Aku sudah menduga anak itu berbeda, dia bukan sekedar buatan," tukas beliau dengan nada berat. "Tidak kusangka dia benar-benar mengorbankan dirinya untuk ..."

"Maksud anda ... Mei?" Rosen tergagu. "Mei ... apa yang sudah Mei lakukan?"

Natalia akhirnya bergerak, ia menepuk pundak Rosen dan menyuruhnya mundur. "Kita sebaiknya melapor ke Sektor 2, ke Bos. Kita juga harus menghubungi Muriel lagi untuk membantu Gloria cs menarik Lianna dari sana."

Rosen masih merasa tidak percaya, ia pun bertanya lagi, "Ada apa dengan Mei?"

"Nanti saja, nak. Kurasa temanmu yang satu itu tahu betul apa yang telah terjadi," tukas Madam Rook. Rosen merasa yang Madam Rook maksud adalah Lianna. "Saat ini kita berfokus untuk menaruh Infantry kriminal ke pihak berwajib, membantu evakuasi, dan menyudahi mimpi buruk ini, ya?"

Rosen tertegun menanggapi keengganan mereka semua, namun yang bisa ia lakukan adalah menurut.

.

Kejadian yang berlangsung dalam kurun waktu singkat itu telah menjadi sebuah bencana besar yang mungkin akan menghabiskan Kaldera hingga tak bersisa, tapi lagi-lagi sang Peri Merah yang dibenci-lah yang menepati janjinya untuk melindungi tanah itu.

Sungguh, manusia adalah makhluk yang tidak pernah tahu diuntung; mereka hanya bisa menimbulkan kerusakan dan mendatangkan bencana.

Tapi Salamander selalu percaya bahwa manusia juga-lah yang bisa belajar dari segala kekacauan dan menarik hikmahnya, dan berusaha lebih baik lagi.

Itulah mengapa Salamander selalu mencintai manusia.

.

.

.

A/N: Kebetulan sekali, ini akhir Arc 4.

Arc 5 nantinya akan berupa flashback, dan mungkin updatenya bakal lebih longgar ketimbang saat April 2023 ini, tapi tenang kok, kayaknya buku ini sudah mau kelar.

Sekian dan terima gaji, terima kasih sudah mampir membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro