XLIX. | Tanah Yang Dilupakan Tuhan, bagian pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama wanita itu adalah Miriam. Nama awalnya cuma 'Miriam', namun setelah Salamander memperkenalkannya pada bangsa Urodela, namanya sekarang menjadi 'Miriam Urodela'.

Falstaff tidak paham maksud dirinya memperkenalkan seperti itu setelah Falstaff 'diaktifkan', tapi lambat laun melihat sekeliling Miriam, Falstaff paham.

Menurut alkemis-alkemis junior di tempat Falstaff tinggal saat ini, Falstaff adalah karya bangsa Urodela yang dikepalai oleh Miriam selaku pemegang cetak biru dan Salamander sang Peri Api sebagai pemrakarsa. Falstaff tidak akan ada tanpa andil Miriam, sehingga Falstaff tidak mengerti mengapa mereka membenci Miriam.

"Kurasa itu yang dinamakan iri," ucap salah satu alkemis junior yang saat itu ditugaskan mencatat keadaan Falstaff di peti dingin. "Aku pernah belajar sebentar di bawah naungan Bu Miriam, dan beliau cukup pandai mengajar ... yah, sampai mereka memindahkanku ke guru lain."

"Sebenci itukah mereka dengan Miriam?" Falstaff yang tengah duduk di dalam peti besi dingin dengan segala alat dan kabel menempel padanya merajuk. Ia menempelkan dagunya di sisi peti, memerhatikan dua alkemis junior itu mengajaknya bicara.

Ah, apa ini yang dinamakan manusia itu sebagai 'bergosip'?

"Falstaff juga pernah dengar Miriam dimarahi 'kan, apalagi kalau Sang Peri sedang absen?" salah satu alkemis itu berbisik. "Sampai saat ini katanya mereka juga tidak bisa menerima Bu Miriam jadi Pemegang Kitab."

Falstaff menerawang, refleksi mata birunya terpantul di sisi peti saat ia menunduk. Ia masih ingat saat pertama kali ia membuka mata, diaktifkan - itu adalah hari ketika ia merasa warna masuk ke dunianya.

Ia tahu sejak awal kalau dia bukan manusia. Sudah ada dalam sanubarinya hakikat dan segala aturan alamiah sehingga ketika ia diaktifkan, tidak lagi ada yang perlu mengajarinya berperilaku, membaca, berbicara, atau fungsi-fungsi manusiawi. Walau demikian, Falstaff masih belum mengerti 'ego' dan bagaimana cara menghadapi manusia dengan kepribadian yang berbeda-beda.

Ketika Falstaff bangkit, ramai sekali orang berjubah putih mengelilingi tempatnya 'tidur', sebuah peti besi besar yang dingin. Terdapat orang-orang yang dirasa penting di kerumunan itu, Falstaff memindai mereka satu-persatu, nama masing-masing orang di sana segera tergambar di benaknya bersama sepenggal hidup mereka, dan Falstaff merasa tidak ada orang yang 'tepat'.

Ia lalu melihat ke Salamander - Falstaff segera menyadari wanita yang seperti personifikasi matahari itu adalah sesosok Peri. Salamander mengucapkan selamat datang pada Falstaff dan membantunya untuk keluar dari peti.

Orang-orang yang mengelilingi peti itu mulai bersorak-sorai, mereka semua tampak bahagia saat Falstaff diaktifkan. Falstaff mulai memindai rasa 'bahagia' saat itu, 'bahagia' yang muncul karena interaksi 'antarkelompok'.

Salah satu pria berjubah putih yang memakai topi melangkah mendekati Salamander.

"Kalau begitu," ucapnya. "Siapa yang anda akan pilih sebagai Pemegang Kitab, Falstaff?"

Kitab, entri itu segera tersortir dalam benaknya. Ia bukan hanya sebuah homunculus, ia juga adalah 'Kitab Takhta Tak Berguna', salah satu dari empat Kitab Endia. Alasan mengapa Salamander tidak membuatnya dalam bentuk buku pun sudah ada jelas dibenaknya. Ia adalah homunculus yang berbeda. Ia dianggap orang-orang ini—bangsa Urodela, bangsa yang telah membuatnya—sebagai magnum opus.

Walau memiliki kepribadian, Falstaff tidak bisa 'memutuskan' untuk dirinya sendiri, ia tetap memerlukan sosok yang dianggap mampu mengendalikan informasi yang ada di dalamnya, seorang 'Pemegang Kitab'. Di benak Falstaff, mulai muncul beberapa cara untuk memilih Pemegang Kitab, tapi ia mengurungkan itu semua.

'Pemegang Kitab' adalah satu-satunya orang nantinya yang akan memahami penggunaan Kitab Takhta Tak Berguna dan mampu menerapkan isinya. Tidak sembarang orang bisa memasang kontrak dengan Falstaff dan tiap Kitab sudah dirancang agar tidak mudah berpindah tangan. Jadi siapa saja yang mencoba bertanya pada Falstaff seputar Kitab Takhta Tak Berguna akan percuma, terkecuali sudah mendapat izin dari Pemegang Kitab itu sendiri dan juga Falstaff menyetujui.

"Aku boleh memilih siapa saja?" tanya Falstaff pada pria itu.

Salamander di samping pria itu mengangguk, ia mengerling, "Semua yang ada di ruangan ini adalah orang terpilih, terkecuali kamu merasa belum menemukan orang itu."

Falstaff menyisir nama-nama dan wajah-wajah di sekitarnya. Salamander dan pria itu benar, mereka memiliki latar belakang yang kaya sebagai seorang praktisi alkimia dan sejenisnya. Ada juga insinyur handal. Ada juga yang memiliki profesi sampingan sebagai tukang tempa. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang berpengaruh sebagai Urodela dan mereka sangat berharap terpilih sebagai Pemegang Kitab.

Falstaff menatap Salamander dan pria itu lagi, ia mulai merasakan 'kegelapan' meruap di ruangan itu. Mulai terdengar mereka yang menginginkan teknologi untuk mencapai keabadian. Teknologi untuk mencapai kekayaan tak terbatas. Teknologi untuk menjerumuskan satu pihak. Mereka hendak menggunakan Falstaff sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Manusia memang bukan makhluk sempurna yang tidak punya sedikit kegelapan di hati mereka, Falstaff sendiri yang merasa dirinya adalah sekedar 'alat' yang punya 'misi' untuk dipenuhi tidak keberatan menyanggupi ego mereka. Lagi, Falstaff tidak bisa membayangkan bila tanah yang begitu dicintai Salamander hancur.

Falstaff memasang mimik muka tidak puas, ia hendak angkat bicara pada Salamander dan pria itu untuk membubarkan semua orang di sana, hingga ia melihat ada beberapa orang di luar ruangan. Melihat dari penanda nama di dada mereka, sepertinya mereka pun adalah teknisi dan alkemis, sama seperti orang-orang ini.

Dan saat itu juga Falstaff melihat dia—wanita berkacamata bulat dan berambut abu-abu itu. Ia pun segera bertanya, "Salamander, boleh aku meminta wanita itu kemari?"

Salamander menunduk ke arahnya, "Siapa?"

Ketika Falstaff menuju ke arah dekat pintu, Salamander segera mengangguk-angguk, "Oh, Miriam?"

Orang-orang di dalam ruangan mulai berbisik-bisik. Falstaff awalnya tidak mengerti apa ada yang aneh dari permintaannya itu. Wanita bernama Miriam itu pun dipersilakan memasuki ruangan, ia menatap yang lain dengan canggung, sementara tatapan orang-orang itu pada Miriam semakin menajam. Salamander meminta Miriam berdiri di hadapan Falstaff, dan ketika itulah Falstaff menerima 'pencerahan'.

Wanita ini terlalu bersih, atau lebih tepatnya, ia tidak pernah memikirkan sesuatu di luar masa 'sekarang'. Ia tidak punya ambisi karena perlakuan orang-orang di sekitarnya yang menganggap dia sebagai seorang beruntung padahal bakatnya sangat luar biasa.

"Miriam?" panggil Falstaff. Wanita itu terkesiap. "Jadilah Pemegang Kitab untukku."

Belasan orang yang hadir di ruangan turut terkaget-kaget. Bisik-bisikan mereka semakin intens dan sejenak menusuk telinga. Miriam gelagapan di depan Falstaff, ia mencoba menaikkan suaranya.

"A-Anda tidak salah pilih? Tapi saya ini cuma sekedar-"

Falstaff berulas senyum. "Tidak ada tapi." Salamander terkekeh di belakang Miriam, menepuk pundak wanita itu yang terlihat lemas.

Falstaff baru mengetahui nantinya kalau Miriam-lah yang membuat cetak biru Falstaff dan Salamander merekrutnya sebagai Urodela setelah mengetahui kemampuan wanita itu. Tentu, rasa iri yang ditujukan kepadanya lebih karena Salamander menganggap Miriam sebagai anak emasnya.

Padahal Miriam benar-benar brilian.

"Falstaff hati-hati ya dengan mereka-mereka itu!" ucap si alkemis junior setelah mereka selesai mencatat.

"Iya iya."

Ah, andai saja Falstaff lebih kuat saat itu—ia tidak harus sampai merepotkan Miriam dan melepas Salamander. Sayangnya, ia masih sangat muda dan lemah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro