XXXVI. | Pengakuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka duduk di atas kasur, sejenak Lianna merasa menggelar kasur dari sofa seperti tidak berfaedah, tapi bukan sebuah masalah. Lianna mungkin tengah berusaha memikirkan hal-hal lain secara spontan asal tidak menghadapi ketakutannya, atau kerisauannya.

Ternyata memang dia yang lebih pengecut dan bodoh.

Mei memintanya duduk di sampingnya, Lianna pun menuruti. Mei membuka tangannya di hadapan Lianna, Lianna beranggapan ia tengah ingin meminta sesuatu, lagi ternyata tidak.

Sesuatu tampak menjalar dan berbentuk di telapak tangan Mei, sebuah berkas keperakan yang kemudian menjadi sebuah bola perak yang melayang. Lianna memerhatikan dengan takjub. Mei seperti tengah menunjukkannya sihir, namun berbeda dengan 'sihir' yang dapat menimbulkan sirene larangan sihir Kaldera.

Bola keperakan itu lalu hilang, dan Mei berulas senyum, seakan puas dengan apa yang ia lakukan.

"Ini adalah Aether," ucapnya, ia lalu mengulang proses itu lagi, membuat bola keperakan. "Menurut Madam Rook—dokter Edda, Aether adalah sihir yang dibuat dan cara kerjanya memerlukan katalis yang dinamakan hydrargyrum."

Lianna mendengarkan penjelasan Mei dan memerhatikan gerak-gerik tangan Mei tanpa mengedip. Mei dengan tangkas membuat benda-benda lainnya, sebuah kotak kecil, atau sebuah garis, seakan-akan tengah bermain dengan tanah liat, namun benda keperakan yang dinamakan hydrargyrum ini timbul dan hilang sesuai kemauan Mei.

"Aether adalah sihir yang berkaitan dengan ruang dan waktu," Mei melanjutkan. "Sihir ini bisa saja menggantikan ketersediaan ruang, atau memperlambat dan mempercepat suatu proses. Konsep ini mungkin bisa dipahami secara fisika, tapi aku tidak mengerti bagaimana menjelaskannya."

'Aether' sejenak bukan seperti sesuatu yang asing. Lianna pernah mendengarnya beberapa kali sebelum ini, namun dalam bentuk yang lain. Ia tidak terlalu ingat kapan itu terjadi, lagi Lianna pernah juga mendengar itu di mimpinya, dalam pembicaraan antara Sylph dan Salamander.

Salamander adalah sosok yang telah 'menyempurnakan' Aether, bahkan mengundang pujian Sylph. Aether adalah bagian proyek besar-besaran yang dilakukan oleh Salamander sebelum turbulensi sihir terjadi di Kaldera. Sebagai pengamat di mimpi itu, Lianna belum pernah melihat 'hasil' dari karya agung sang Peri Merah. Melihat Aether sekarang, Lianna pun membayangkan bahwa karya gubahan Salamander akan lebih luar biasa.

Lianna mencoba mencari kata 'Aether' di Pustaka Antara, ia tidak menemukan apa-apa seperti biasa.

"Madam Rook sempat bilang beberapa kemungkinan," suara Mei merendah. "Selama ini, sepertinya aku sudah bisa mengendalikan Aether ini dalam beberapa kejadian tertentu, tapi aku tidak menyadarinya. Beliau juga berpendapat bahwa saya diciptakan semata-mata untuk mengendalikan Aether."

"Dari mana beliau bisa berpendapat begitu?" tanya Lianna penasaran. Pola pikir Rook Hitam selalu membuatnya terkesima setelah mendengarnya dari Natalia.

Mei sejenak seperti enggan. Ia menggeleng pelan dan akhirnya menatap Lianna lagi, lebih berfokus. "Bisa kemarikan tanganmu sebentar?"

Lianna menurut, membuka tangannya di pangkuan Mei. Mei menyangga tangannya agar tetap terbuka, dan kemudian ia menggigit ibu jari tangan kirinya hingga mengeluarkan darah. Mei meneteskan darah itu di tangan Lianna, menyaksikan bercak merah itu tidak menodai tangannya, malah seperti air dan minyak yang memiliki tegangan permukaan berbeda. Tetes merah itu segera hilang saat Mei melambaikan tangan yang ia sengaja lukai, seperti Mei menyerap kembali cairan yang sudah keluar, benar-benar seperti konsep 'sihir'.

"Kalau tidak salah saat kalian pertama menemukanku, kalian mencoba melakukan transfusi,"

Lianna mengingat saat-saat itu. Itu adalah saat pertama kali mantri di Level menyatakan bahwa Mei bukan manusia. Istilah yang digunakan mantri tua itu adalah 'darah sintesis'. Lianna kemudian mengerjap, menyadari apa yang dimaksudkan Mei, ia menatap Mei dengan mata terbelalak.

"Benar, apa yang mengalir dalam tubuhku ini adalah katalis Aether—hydrargyrum. Setelah pemeriksaan dengan Madam Rook, ia yakin bahwa mungkin aku adalah wadah yang diciptakan khusus untuk fungsi ini, tidak berbeda dengan tabung yang ia miliki."

Wadah. Benda. Kata-kata itu tidak jauh dari Mei seakan mendeskripsikannya.

"Tapi kamu bukan benda, Mei." tukas Lianna.

"Apa yang bisa mendefinisikan sesuatu yang 'dibuat' untuk 'digunakan' kalau bukan 'benda' atau 'alat'?" Mei tersenyum, ia menggengam tangan Lianna erat. Tangan yang terasa lebih dingin dari sebelumnya. "Aku masih merasa ada yang hilang di memoriku, tapi penjelasan ini adalah sesuatu yang bisa kuterima dengan masuk akal."

Mei menghela napas, ia tetap tersenyum, alih-alih segalanya sudah menjadi jelas baginya.

"Jadi, kurang lebih seperti itu. Kini aku sudah paham kalau aku tidak bisa menjadi manusia walau aku berlaku layaknya manusia normal."

Mei melepas genggaman tangannya dari Lianna dan mengangguk sekali. Sementara, Lianna merasa hatinya sendiri remuk. Entah bagaimana caranya mendeskripsikan perasaan yang bergejolak dalam dirinya sekarang. Ia ingin terus menyangkal bahwa ia bukan sekedar benda, bukan sekedar alat—Mei adalah Mei, rekan mereka, bagian dari mereka, juga seseorang yang Lianna-

Lianna terhenti, menarik pandangannya dari Mei. Di antara mereka kembali menjelang diam yang terasa tidak berujung, dan terasa semakin berat setelah Mei menumpahkan isi pikirannya.

Penjelasannya itu nyaris tidak terbantahkan, terutama dengan bukti kuat yang mendasari itu semua. Sejak awal, Mei bukanlah manusia, dan kini ia sudah mengetahui garis besar mengapa ia dibuat, walau menurutnya masih ada kepingan yang hilang. Mei pun tampak lega telah menemukan arti kehidupannya dan mengapa ia 'ada', dan menjunjung tinggi fungsi itu layaknya tugas utamanya. Tidak berbeda dengan mesin yang sudah diprogram untuk melaksanakan satu hal saja dan terus mengulang fungsi yang sama hingga mesin itu rusak atau kehabisan energi.

Segalanya seperti berkonspirasi untuk menyatakan Mei tidak bisa dianggap manusiawi. Mei sudah salah karena berpura sebagai manusia yang memiliki 'ego'.

"Maaf sudah mengganggu malam-malam, ayo kita ... tidur lagi?"

Lianna mengangguk pelan menuruti. Ia beringsut kembali ke sisi kasurnya dengan perasaan berat hati, menggeser buku kesayangannya yang terasa mengganggu tempat tidurnya dengan sebelah tangan dan berbaring dengan tanpa rasa peduli. Ia mendecak pelan, merasa badai di dalam dirinya tidak juga reda, tapi ia tidak ingin Mei mengetahuinya.

Sepertinya sudah lebih baik ia menyembunyikan perasaan ini dalam-dalam, menyimpan kekecewaan ini dalam sebuah kotak di dasar hatinya dan menguburnya, seraya melalui hari-hari seperti biasa tanpa merasa pernah terjadi apa-apa.

Lianna menatap telapak tangannya lagi, tangan yang barusan menerima bercak 'darah' yang tidak menyatu dengan kulitnya, namun membekas dan membuat hatinya semakin merasa teriris-iris.

Ah, rasanya ia sudah bodoh berharap segalanya akan baik-baik saja—ketika kenyataannya, tidak pernah ada yang 'baik'.


🛠


Lianna merasakan hangat menjalar di tangannya sekarang, dan ia berpikiran bahwa Mei-lah yang menggenggam tangannya, seperti malam yang telah berlalu, atau masa-masa di mana ketika Lianna tidak tahu.

Selama ia mengingat, kehidupan panti yang penuh lagi sepi telah menjadi sebagian identitasnya. Cibiran-cibiran mengenai anak-anak terlantar yang hanya memakan tempat dan menghabiskan uang sektor sudah menjadi momok bagi mereka yang dikira tidak pernah menyadari cemooh itu. Kehidupan di Pulau Melayang yang sulit tidak memungkinkan adanya anak-anak yang diadopsi, sehingga banyak dari mereka yang tidak mengerti konsep kasih dan sayang.

Mereka hanya tahu kalau mereka sudah dibuang, entah atas dasar alasan apa.

Lianna ingat apa saja yang membuat dirinya merasa hangat: sup yang dibuat oleh pemilik panti ketika mereka mendapatkan jatah anggaran tiga bulanan dari sektor, buku-buku yang bisa didapat, dibacanya dan diingatnya, ajakan Natalia dan Rosen untuk menjadi bagian tim mereka tanpa mereka terlalu memikirkan Lianna mantan anak panti atau bukan, dan bagaimana sesosok 'buatan' memegang tangannya tanpa ragu.

Hangat yang ia rasakan ini sama, Lianna pun membuka matanya menatap langit biru cerah dan matahari yang membayang di atas kepalanya. Ia pun menarik tangannya yang tidak terasa berat untuk mencoba menghalangi sinar langsung yang terik membakar, dan ia tersadar kalau ia tengah tertidur di atas rerumputan hijau bersama seseorang.

Ada suara langkah mendekat, dan panggilan. Sepertinya Salamander, pikirnya. Ia pun mencoba untuk duduk, merasakan sedikit pusing karena gerakan yang cenderung tiba-tiba, dan kini ia melihat jelas sumber kehangatan yang sedari tadi mengusiknya.

Ia tertidur di rerumputan hijau itu bersama seorang wanita muda, ia tersenyum cerah ketika mendapati Lianna sudah terbangun. Wajahnya kurang terlihat jelas karena matahari yang terlalu terik membuatnya merasa silau, ia pun mencoba menunduk sejenak untuk mengistirahatkan matanya.

Salamander menghampiri mereka, napasnya putus-putus karena berlari.

"Di sini toh kalian! Bikin repot saja!" cibir Salamander. "Bisa-bisanya kalian menjadikanku, Peri Kaldera, mondar-mandir kesana kemari mencari-cari!"

"Maafkan aku, Sala," ucap wanita itu dengan sedikit nada bersalah. Suaranya anggun melebihi Sylph. Wanita ini belum pernah ada di kilas balik sebelumnya, lagi ia seperti merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kisah ini.

"Ada apa? Kamu masih grogi karena terbangun tiba-tiba?"

Salamander menatapnya dengan sangsi. "Jangan bilang cecunguk ini lupa tidur lagi jadi kamu mengajaknya untuk tidur."

"Seratus untukmu, Sala," pujinya pada Salamander. Salamander mendengus lagi, ia tampak tidak puas. Wanita itu mengerling ke arahnya kemudian, memastikan kalau ia bisa berjalan mengikuti mereka berdua tanpa linglung.

"Hei, kenapa? Kamu nggak sakit, 'kan?"

Lianna mengangkat kepalanya setelah matanya terbiasa dengan intensitas matahari. Ia mengerjap, menginderai pemandangan bukit yang dibawahnya terbentang kota kecil yang merupakan salah satu dari banyak wilayah yang aktif oleh para pengrajin dan pekerja, lalu melihat ke arah Salamander dan wanita yang baru dikenalinya ini.

Wanita berambut putih pualam dan bermata biru.

"Mei?" panggilnya. Lianna tersentak. Untuk pertama kalinya, ia bisa berbicara di saat-saat seperti itu.

Salamander menatapnya lucu, begitu juga wanita itu. Ia lalu mendekat dan menangkup kedua pipinya, menepuk-nepuk pelan. "Bangun! Nanti kamu bisa tidur lagi kalau sudah sampai workshop! Masak kamu bisa sampai lupa namaku, sih? Dasar."

Sebuah nama muncul di benaknya, seiring dengan Lianna tersentak dan kembali terjaga di kasur markas. Rasanya seperti habis tenggelam dan menggapai mencari udara. Rasanya sesak.

"Lianna?" suara yang sekilas parau memanggilnya dengan nada penuh khawatir, Lianna pun segera memutar badan. "Ada apa? Kamu bermimpi buruk lagi?"

Lianna mencoba menggerakkan tangannya yang bergetar, ia lalu menggapai sisi lengan Mei. Mei segera menangkup tangan Lianna dengan kedua tangannya dan membantunya untuk duduk. Lianna pun menyandarkan diri di bahu Mei, peluh mulai membanjir dari pelipisnya.

"Mei, bisa kamu ... membantuku sekarang?"

Mei mengangguk.

"Gunakan Aether padaku."

Di saat yang bersamaan juga, terdengar ledakan tidak jauh dari tempat mereka berada. Terkesiap, Mei segera mencari terminal terdekat untuk memastikan apa yang telah terjadi, ia lalu menunjukkannya pada Lianna yang masih merasa lemas.

Reaktor Sektor 3 telah aktif.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro