XXXV. | Penantian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika Lianna diperbolehkan pulang beberapa hari kemudian, 0027 menerima berita bahwa Gloria sudah kembali bersama regu Angia dan Rook Putih sudah diringkus.

Bulan April berganti ke Mei dengan cukup cepat setelah penghujung bulan yang penuh peristiwa itu akhirnya mereka lalui, walau dengan luka-luka dan banyak sekali tanya. Tidak ada perubahan berarti di Kaldera atau pergerakan mencurigakan yang mengatasnamakan E8 atau beridentitas Infantry. Sektor 6 kini telah mencapai tahap pengosongan sempurna karena ditakutkan akan ada purging susulan.

Tugas yang dikerjakan 0027 pun kebanyakan perbaikan yang utamanya hanya bisa dituntaskan oleh Rosen dan Mei karena mereka berdua tidak dalam masa pemulihan. Natalia yang masih menanti tangannya pulih pun standby di markas menunggu ia diperbolehkan menembak lagi.

"Kata Rosen sih, sekarang Mei sudah lebih handal menembak," ucap Natalia.

Ia tengah duduk di sofa sambil membaca laporan-laporan terakhir 0027 di tiga perbaikan terakhir yang dilakukan oleh Rosen dan Mei, sementara Lianna yang berada dekat dapur sambil menunggu teh diseduh tengah menyortir misi yang masuk ke mereka dari kantor pusat untuk kemudian didiskusikan dengan Natalia.

"Baguslah kalau begitu?"

"Hm? Kamu tidak tertarik perkembangan Mei?" tukas Natalia.

"Bukan tidak tertarik," dia tidak mungkin bilang kalau sedang memikirkan hal lain, terutama kalau 'Mei' disebut-sebut. Lianna mengedikkan bahu. "Jadi mereka bisa saja mengambil misi dengan level sedang?"

"Kurasa bukan masalah. Mei sudah cukup belajar dari Rosen soal mengoperasikan dan memperbaiki panel. Mungkin dia harus lebih cepat merakit parts untuk mencapai deadline, tapi itu mudah diatur. Toh Mei 'kan cepat sekali tanggap."

Itulah yang membedakan Mei dengan mereka. Proses pemikiran Mei yang terakselerasi adalah kelebihannya sebagai 'buatan'. Selama Rosen dan Mei menjadi tim untuk perbaikan, belum ada yang sadar kalau Mei adalah 'manusia buatan', sehingga mereka tidak perlu khawatir akan ada pihak lain mencoba mengakuisisi Mei.

Walau bukan berarti Lianna—dan Natalia—berdiam diri setelah tahu Mei sempat hendak dibujuk oleh Rook Hitam.

Lianna membawakan dua cangkir teh di atas meja. Natalia ingin bangkit dari kursinya membantu Lianna, Lianna segera menggeleng dan memintanya tetap duduk. Lukanya sudah pulih tapi ia belum diperbolehkan beraktivitas terlalu banyak, menunggu pemeriksaan berikutnya yang akan ia lakukan dua hari lagi untuk mendapat persetujuan dokter. Nantinya mungkin Natalia saja yang ada di markas karena patah tulang butuh sekitar enam minggu pemulihan.

Di minggu ketiga ini, Natalia sudah melepas bebatnya, berharap dia sudah bisa memegang senapannya lagi. Sayangnya, dokter Edda tetap melarang dengan sinis.

"Nat, kamu sering tidak setuju dengan sesama agen D1?"

"Kenapa kamu mendadak nanya begitu?" Natalia menelengkan kepala.

"Soalnya dokter Edda menanyakan ke kamu duluan, 'kan, soal Mei ... dan kamu nggak setuju."

Natalia mengembus pendek, "Ah, soal itu, toh," ia berpikir sejenak. "Madam Rook—dokter Edda paham batas antara pribadi dan kelompok. Toh melihat Mei, kurasa dokter Edda mungkin tidak berhasil meyakinkannya."

"Hee, jadi perbedaan seperti itu tidak dihitung membelot dalam kelompok. Organisasi kalian cukup ... aneh."

Natalia mengangkat bahunya, "Raja Hitam orangnya cukup membebaskan, sih. Asal kita nggak mengancam keselamatan satu sama lain."

Lianna mengerling, "Pernah terjadi?"

Natalia diam sejenak, dan mengimbuh dengan enggan, "Rahasia perusahaan."

"Ehh~"

Natalia gantian mencubit hidung Lianna. Lianna mengaduh. "Sudah untung kukasih tahu."

Sejak saat itu, Lianna tidak terlalu banyak berbicara dengan Mei, terkecuali pada saat-saat penting. Mereka memang tinggal seatap, tidur di kasur yang sama (ironisnya), dan sebenarnya tidak ada hal di antara mereka yang menyebabkan kerenggangan. Mereka berdua kini seperti ... memberikan masing-masing waktu dan kelonggaran untuk berpikir. Lianna tidak menanyakan Mei akan keputusannya, sementara Mei terlihat lebih aktif bekerja bersama Rosen dan melaksanakan tugas sebaik-baiknya.

"Oh, ya, kamu sudah cek papan kontrol lagi, Lian?" Natalia melirik ke arahnya yang terhenti menyortir data.

"Ah, hari ini tugasku, ya?"

"Ada apa, kamu nggak enak badan? Tumben lupa."

Semburat merah muncul di pipinya, "Nggak, kok! Ini baru mau diperiksa!"

Dugaan mereka yang berikutnya mengenai langkah yang diambil E8—dalam hal ini Infantry, satu-satunya agen yang tersisa setelah Rook Putih ditangkap, adalah mengambil kendali papan kontrol utama Pulau Melayang.

Papan kontrol ini hanya bisa diakses oleh pihak eksekutif Perusahaan Lysander, juga satuan kelompok pemerintahan Pulau Melayang. KALDERA A.I. tidak mungkin dibajak oleh virus dan secara garis besar tidak ada kemungkinan Infantry bisa 'masuk' dengan mudah untuk menguasai papan kontrol, tapi sang Ratu mungkin punya siasat cerdik lain.

"Aman, tidak ada data log yang aneh," ucap Lianna, mengurutkan dari data terakhir pagi ini hingga sekarang. "Juga tidak ada masalah-masalah lain di Sektor-Sektor yang menjadi tempat suaka penduduk Sektor 6."

Natalia tertegun, "Tidak ada apa-apa, dan kita tetap tidak bisa tenang, ya."

Lianna terkekeh, "Benar sekali."

Ada suara ping pelan dari terminal Lianna. Rosen memberikan notifikasi bahwa tugasnya dan Mei hari itu sudah selesai dan mereka hendak kembali ke markas. Natalia membalas pesan itu dengan sekedar 'OK', dan menutup layar antarmuka terminal-nya. Ia menyandarkan kepalanya ke badan sofa, menengadah menatap langit-langit markas. Lianna memerhatikan gestur Natalia dari sisi matanya sambil ia meneruskan tugasnya menyortir.

Ia berharap sudah bisa ikut dengan Mei dan Rosen nanti untuk tugas teknisi.

"Lian."

"Apa?"

"Kamu ada masalah apa sama Mei?"

Lianna tertohok. Tentunya topik ini tidak berkaitan soal Mei dengan Hitam, sepertinya, mereka sudah usai membahas hal itu. "... Maksudmu?"

"Apa Mei mencuri kue milikmu dari kulkas, kok kayaknya kamu sering diam?"

Lianna tertawa kering, nggak biasa mendengar Natalia berpendapat polos begitu, tapi beginilah dia, "Aku sama Mei nggak ada masalah kok."

Natalia sedikit mencondongkan badan ke arah Lianna, "Beneran?"

"Iya, serius. Kenapa sih, Nat?"

"Khawatir aja, soalnya kan Mei lebih dekat sama kamu ketimbang kami berdua," ungkapnya. "Kalau kalian kenapa-kenapa ya, susah juga 'kan? Kita satu tim."

Rasanya ingin mencubit sisi perut Natalia, tapi rasanya tidak berguna. Isinya otot. Lianna tidak bisa mencubit tangannya, dia masih pemulihan.

Wajar saja sih Natalia menyadari ada yang berbeda, tapi rasanya ini bukan sesuatu yang harus dibicarakan empat mata oleh orang lain. Yang harus menuntaskan masalah ini adalah dirinya sendiri yang galau dan bimbang.

Kini Lianna baru paham seberapa hebat profesionalisme antara Rosen dan Natalia, ia sudah salah terkadang menggoda mereka soal hubungan lama mereka berdua itu.

"Mereka sekarang di mana?"

Natalia melirik ke arah terminal-nya sekali, lalu kembali ia rileks di posisi awal, "Sektor 1."

"Perbaikan di permukaan? Tumben sekali." Lianna memeriksa lembaran tugas yang masih bersifat ongoing di tempat mereka. Ia lalu mulai menyusun kerangka laporan untuk nanti Mei isi.

"Rosen katanya tukeran sama anak-anak lain yang males ke Sektor 1," ucap Natalia. "Lumayan buat sekalian latihan Mei. Ini lebih ke mengenal parts dan membuat parts baru."

Lianna membaca deskripsi tugas sekali lagi dan mengangguk, "Benar juga."

"Paling kesini cuma lima belas menitan ... apa kamu mau masak? Keluar aja, yuk. Udah lama kita berempat nggak makan di luar."

"Mie ayam lagi?" cibir Lianna.

"Nggak kok, nggak! Udah puasa nih makan mie ayam karena dokter Edda!" sergah Natalia.

"Ya, 'kan kali, namanya juga kita pasti ke foodcourt Sektor 3 soalnya kamu belum bisa nyetir," tiba-tiba ide terbersit di benak Lianna. "Apa aku aja coba nyetir?"

"Kamu mau nambah patah tulangku, hah?" kikik Natalia, ia mengacak rambut Lianna. "Jalan aja biar sehat. Nggak mungkin juga si Rosen ambil mobil kapsul buat tugas."

Paling tidak, Lianna masih bisa bersikap normal pada Mei di depan Rosen dan Natalia, asalkan mereka berempat, walau ia sepertinya harus lebih natural lagi agar Natalia tidak curiga.

🛠

Sektor 3 dikenal dengan mie ayam dan berbagai kudapan ayam, menjadikan kedai makanan yang terletak di salah satu gang sempit di pelataran sektor itu selalu ramai disesaki pengunjung. Biasanya mereka adalah pekerja yang baru saja pulang kantor dan membungkus untuk makan malam, tapi tetap saja antriannya cukup hebat.

Rosen menarik Natalia sebelum ia sempat mampir beli mie ayam dan memintanya duduk manis di meja dan membiarkan Rosen yang memesan makanan. Natalia cemberut. Dia pun akhirnya menyusul Rosen yang mengantri di tempat mie ayam itu untuk membeli ayam cabe garam, meninggalkan Mei dan Lianna menjaga meja.

Ramai di sekitar mereka, sementara meja itu sepi. Lianna mengedarkan pandangannya ke arah kedai minuman, memikirkan apa yang dipesan, berusaha tidak melirik ke arah Mei yang duduk disampingnya, tangannya seperti tengah mereka-reka sesuatu yang menggunakan obeng - mungkin tadi ia baru saja diajari Rosen memperbaiki panel tertentu.

"Sudah, sudah, ini sudah mau jam makan," refleks, Lianna menjauhkan tangannya setelah menurunkan tangan Mei ke arah meja. Pipinya bersemu merah.

Kenapa cuma begitu saja rasanya aneh sekali sekarang? Biasanya dia tidak masalah memegang tangan Mei.

"Ah, maaf. Tadi kepikiran saja soalnya Rosen yang akhirnya mengerjakan semua," Mei tertawa kecil. "Aku lama sekali mencoba menentukan mana yang harus dipotong, mana yang harus di-solder, mana yang harus dirakit ..."

"Lama-lama nanti juga terbiasa, kok."

Hening lagi. Mungkin sudah saatnya Lianna mencari minuman, tapi rasanya tidak enak meninggalkan Mei sendirian ketika kondisi di sekitar mereka ramai begini. Hingar-bingar antrian yang mengular, pemilik kedai yang meneriakkan promo setengah harga, juga mereka yang sudah mendapat makanan di meja masing-masing dan mulai melahap.

Terkadang situasi ramai saat makan ini akan mengingatkan Lianna pada kehidupan panti, bedanya ada beberapa anak yang tetap akan berebutan makanan padahal semuanya sudah dijatah.

"Lianna."

Lianna segera menoleh, Mei menatapnya lekat-lekat. Napasnya tercekat. "A-Ada apa?"

"Oh, ngg, nggak ada apa-apa." dan Mei menunduk.

Canggung. Hening lagi. Ya ampun, kutuknya dalam hati.

Untungnya tidak lama setelah itu, Rosen datang membawa makanan, tentunya tidak setuju Natalia membantunya sekedar membawa piring dan gelas kosong. Ada konter untuk minuman gratis seperti teh tawar dan air mineral bila mereka tidak ingin beli minuman lain-lain di kedai. Lianna sudah memikirkan memesan kopi manis jadi ia segera menepi dari meja.

Sampai kapan dirinya bisa menghindari topik di depan mata? Entahlah. Tidak ada yang tahu, bahkan dirinya sendiri pun.

🛠

Selepas makan malam, mereka berdua kembali di markas dan menyambung sepi. Perdebatan soal siapa yang membayar makanan menjadi penutup ramai di antara mereka, sebelum mereka berempat berpisah jalan. Mei seperti biasa yang mengunci pintu, ia lalu mengakses terminal untuk mulai mengerjakan laporan, sementara Lianna mencari sebuah buku untuk dibaca dan membunuh sepi.

Sudah beberapa kali sejak ia kembali dan membaca ulang 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan', tidak sedikit pun ada penggalan cerita yang dapat menjelaskan mimpi yang dialami Lianna. Mimpi itu tidak pernah datang lagi padanya, alih-alih ada sesuatu yang harus melengkapi untuk menjembataninya melihat mimpi bak ramalan itu.

Lianna membuka halaman terakhir yang ditandainya dan membaca pelan-pelan, mencerna kata demi kata hingga menjadi satu kalimat utuh, lalu meresapi paragraf inti.

Salamander bersama bangsa Urodela telah berhasil membuat karya hebat, semua merasa telah siap. Mereka merayakan keberhasilan ini dengan gegap-gempita. Semuanya akan baik-baik saja.

Bangsa Urodela mungkin bukan bangsa yang paling hebat di dunia, tapi mengetahui Salamander selalu ada di setiap langkah mereka, mereka merasa tenang. Turbulensi sihir yang dielu-elukan akan menjadi tantangan terberat Kaldera terasa bukanlah sebuah beban.

Tapi mungkin ini semua adalah awal dari segala kehancuran.

Tanah ini adalah tanah yang ditinggalkan Tuhan. Tidak ada lagi yang bisa membuatnya kembali subur dan ramah untuk ditinggali. Manusia sudah terlalu serakah, dan mereka akan terus memangku kuasa tanpa pandang langit dan bumi.

Padahal, mereka pun sadar bahwa mereka tidak bisa menggapai langit—atau juga menggenggam bumi.

'Manusia adalah makhluk bodoh yang terlalu mengedepankan ego,' kutipnya dari seorang teman.

🛠

Lianna tidak ingat kapan ia terlelap. Ia tersentak dari tidurnya, seperti jeda yang lama berlalu. Bukunya tertutup di sebelahnya, sementara ia yang terduduk di sofa kini ditemani oleh selimut. Lampu di ruang tengah itu sudah dimatikan, dan Mei duduk di sampingnya dalam geming, tidak berusaha membangunkannya atau menggelar sofa itu menjadi tempat tidur.

Mei tidak butuh tidur, ia selalu mengingatkan Lianna soal itu. Melihatnya yang terjaga selalu seperti melihat ukiran patung atau boneka. Mei merasa lebih nyaman berbalut kemeja bahkan ketika ia tidur, Lianna tidak menanyakan alasannya dan membelikan Mei kemeja berbeda untuk dipakai bekerja bersama 0027 dan untuk dipakainya tidur setelah itu.

Mei sudah berganti pakaian, mungkin dia berpikir akan menunggu hingga Lianna bangun, atau mungkin dia akan melewati malam tanpa tidur, Lianna tidak bisa menebaknya.

Ingin rasanya Lianna berpura untuk tidur lagi, tapi Mei menyadari ada yang menatapnya. Lianna pun mendengus.

"Kenapa kamu tidak membangunkanku?"

"Hmm, memang postur tidur seperti itu tidak baik, sih, tapi aku nggak tega," jelas Mei. "Mau kugelar kasurnya sekarang sambil kamu ganti seragam?"

Lianna melihat dirinya yang masih berseragam lengkap, rasanya ia ingin menepuk jidat. "Benar juga."

Ia beringsut dari sofa, menarik selimut itu dan menaruhnya di tangan seraya berjalan menuju lemari yang ada di dekat pintu kamar mandi, setengah pikirannya mengawang. Jam belum menunjukkan tengah malam, tapi ia enggan untuk meneruskan membaca malam ini.

Ketika Lianna kembali dengan baju tidurnya dan selimut yang sama, Mei sudah berbaring di kasur, matanya menghadap ke langit-langit.

Lianna ingat saat itu mereka pernah tidur saling berhadapan, rasanya Lianna tidak akan mampu melakukan itu lagi dalam waktu dekat.

Buku milik Lianna sudah Mei taruh di sisi kasurnya. Lianna turut berbaring, menggeser buku itu menjauh. Ia membentangkan selimut untuk mereka berdua dan mengucap selamat tidur. Lianna kemudian memutar badan ke sisi yang berlawanan dengan Mei.

Kembali senyap. Kembali terasa hampa. Satu hari lagi berlalu dengan mereka berdua seperti orang asing.

Lianna mencoba mencuri pandang, menatap sekilas punggung Mei. Sejenak ia berpikir kalau lebih baik seperti ini, sehingga andaikan Mei memutuskan untuk tidak bersama mereka, Lianna tidak akan terlalu memikirkannya.

"Lianna?"

Terkesiap, Lianna menarik selimutnya sehingga setengah wajahnya tertutup, ia tetap di posisi.

"... Ya?" rasanya darah seperti mengalir cepat ke ubun-ubunnya sekarang. Atau adrenalin? Entahlah.

"Boleh ... kita bicara sebentar?"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro