💋 Historical Romance

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Materi: Historical Romance
Waktu: Jumat, 19 April 2019
Tutor: JohanesJonaz
Notulis: Ifa_Iffah
Moderator: HalamanBaru dan kimnurand_

💞 Perkenalan

Nama saya Johanes Jonaz, panggilannya Jo. Saya domisili di Surabaya. Saya penulis mula. Sudah menulis 5 novel dan saya lebih cenderung menulis novel History.

Salam WWG.

Hehehe saya enggak tahu salam WWG apa kalau ketemuan. Tapi, terima kasih, sudah mengundang saya untuk berbagi pengalaman menulis di sini. Saya mohon maaf karena baru bulan April ini bisa memenuhi undangan jadi pemateri.

💞 Materi 💞

Tutor:
Sebelumnya boleh saya tanya kenapa tertarik dengan tema historical fiction?

Peserta:
- Aku ada ide ingin ngembangin sejarah Indonesia. Tapi, kesulitan diksi dan penggambaran history Indo.

- Karena kesannya klasik dan berkelas.

- Aku mau belajar mengeksplore hal baru. Karena selama ini cuma berani nulis yang ringan. Tapi pas baca historical suka setting-nya.

Tutor:
Oke, kita bicara yang enggak enak dulu.

Hal yang perlu diketahui jika kita memang berniat menulis fiksi sejarah adalah tingkat kesulitannya tergolong tinggi dan berisiko, selain itu tidak banyak pembaca yang tertarik. Tapi, sekali kita masuk, akan banyak keuntungan bagi penulis dan pembaca.

Apa yang menjadikan tingkat kesulitan menulis historical fiction begitu tinggi?

Penulis tidak hidup pada zaman saat cerita yang ditulis berlangsung sehingga penulis 'buta'. Dia hanya bisa meraba-raba apa yang terjadi tanpa bisa mengalaminya. Beda jika kita menulis drama dengan setting zaman sekarang.

Semisal, cerita tentang CEO yang jatuh cinta pada gadis biasa. Mencari referensi untuk cerita semacam ini mudah, apalagi dengan teknologi internet.

Kalau pun kita tidak pernah mengalami menjadi CEO, kita bisa melihat film dengan tokoh orang kaya zaman now. Mercedes E class, mansion dengan kolam renang standar olimpiade, cara pacaran mereka, gaya hidup, dan sebagainya. Namun, untuk setting zaman dahulu, ini lebih sulit.

Apakah kita tahu jenis mobil yang lagi nge-trend pada tahun, katakanlah, 1945?

Oke, kita pakai Mercedes, tetapi apakah kita tahu type berapa? Setirnya udah ada di kanan apa belum?

Kemudian rumah, sama-sama punya kolam renang, tetapi apakah serta merta kita juga boleh menyebut kolam renang standar olimpiade?

Belum tentu, pada zaman itu bisa jadi olimpiade adalah hal yang tidak awam atau tidak terdengar gaungnya atau tidak popular.

Akan aneh jika memaksa menggunakan istilah tersebut. Maka, dalam historical fiction kita harus jeli menemukan padanan istilah "kolam renang standar olimpiade" pada cerita yang kita buat.

Hal pertama yang harus kita cermati adalah kapan dan di mana setting cerita yang akan kita tulis.

Cerita, seperti kita ketahui, memiliki dimensi, masing-masing bertautan dan tidak dapat berdiri sendiri.

Contoh sederhananya adalah dimensi ruang dan waktu. Saat saya memutuskan untuk menulis Sadirah, saya mengambil setting tempat di kawasan Madiun, sedangkan waktunya sekitar tahun 1940-an. Alhasil, saya harus menyinkronkan cerita saya dengan dimensinya. Bagaimana saya melakukannya?

Yang pertama saya lakukan adalah riset.

Ada banyak cara riset, yang paling mudah adalah membaca referensi (baik buku fisik maupun berselancar di internet). Yang kedua adalah dengan menonton dokumentasi baik gambar maupun film dokumenter. Yang ketiga adalah mendengar cerita dari narasumber. Yang terakhir, kalau punya rezeki lebih kita bisa mendatangi tempat yang kita jadikan latar.

Saat saya menulis Sadirah, saya banyak membaca buku tentang masa kolonial; fiksi dan nonfiksi.

Salah satu buku yang menjadi panduan saya adalah Bumi Manusia karya Pram. Dari buku itu, saya bisa sedikit banyak tahu bagaimana interaksi antara pribumi dan penjajah pada masa kolonialisme. Juga sebutan-sebutan yang dipakai antar tokoh (tuan, mevrouw, juvrouw, nyai, dan sebagainya.)

Untuk buku nonfiksi, saya banyak-banyakin membaca sejarah Madiun. Dari referensi nonfiksi tersebut saya menemukan hal yang menarik: Madiun tidak bisa dipisahkan dengan pabrik gula.

Selain itu, Madiun berdekatan dengan Ponorogo, yang terkenal dengan kebudayaan reog dan waroknya.

Maka, tugas saya bertambah: riset tentang pabrik gula, moda transportasi, hukum agraria pada masa itu, peranan VOC pada perkebunan tebu, dan komunitas-komunitas pribumi yang berkembang pada saat itu.

Kita perlu mendapatkan referensi/knowlegde sebanyak-banyaknya. Jangan pikir kegunaannya, bisa berguna bisa tidak. Tapi yang pasti kita belajar banyak hal dari riset melalui referensi.

💞 Tanya-Jawab Materi Riset Membaca Referensi 💞

Tanya:
a. Untuk referensi buku kita harus cari ke mana?

b. Misalnya ada 2 buku yang berbeda terus menginformasikan hal yang bertentangan itu gimana?

Jawab:
a. Saya biasanya main ke perpustakaan daerah.

b. Untuk 2 hal yang berbeda, cari pembanding ketiga, keempat, dst. Jika memang masih ditemukan pertentangan, pilih salah satu, dan konsisten menggunakannya.

Tanggapan:
Karena gini Kak, aku pernah baca buku soal gestapu. Katanya ada yang bilang Bahwa PKI menyilet anunya jenderal. Ada lagi yang bilang bahwa anunya jenderal baik-baik aja.
Hal kayak gitu bagaimana?

Jawaban:
Seberapa penting ini dalam novelmu? Apakah memang perlu?
Jika tidak menyumbang banyak untuk alur ceritamu, hilangkan.
Pada intinya sama, jangan gunakan fakta yang tidak menyumbang banyak/kemajuan cerita. Menyilet kemaluan jenderal, terus apa yang berguna bagi ceritamu?

Tanggapan:
Misalnya ada yang bilang si A adalah anak Raja. Tapi di buku yang lain bilang si A bukan anak Raja.

Jawaban:
Pakai salah satu dan konsisten. Jangan dalam ceritamu ada dualisme. Kalau kalian pakai dua-duanya, selain bikin plot hole, pembaca akan bingung. Jadi, usahakan konsisten memakai satu referensi dalam cerita. Bukan referensi sih, informasi.

💞 Cara riset kedua adalah menonton film dokumentasi.

Foto dan film dokumenter memberi kita informasi yang faktual. Saya adalah tipe orang yang belajar dengan mata/visual. Dari berjam-jam mengamati foto-foto lama, saya bisa membayangkan kehidupan semacam apa yang terjadi pada masa itu.

Saya perhatikan bagaimana pakaian mereka, postur, gaya berfoto, lansekap yang menjadi background, menjadi penting untuk modal kita membangun suasana/ setting tempat.

Dari situ saya biarkan imajinasi menjadi liar; membayangkan hubungan antartokoh, intrik yang kemungkinan terjadi, mungkin juga saya memakai citra orang-orang yang ada pada foto tersebut sebagai perwujudan karakter di novel nanti.

Tugas kita, sebagai penulis adalah mengubah citra visual menjadi narasi; foto-foto lawas ini banyak membantu membangun setting yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan.

💞 Cara riset yang ketiga untuk menulis historical romance adalah bertanya pada narasumber.

Ini yang paling utama sih menurutku. Dari narasumber kita bisa mendapat detail yang tidak ada pada buku atau referensi perpustakaan.

Mereka adalah pemberi sentuhan humanis pada cerita kita. Jika sedang wawancara, gali sisi kemanusiaannya.

Jangan bertanya hal umum, tetapi tanyakan hal yang spesifik, hal-hal pribadi, dan pengalaman hidup.

Selama pendudukan Belanda, hal umum yang terjadi adalah rakyat kekurangan bahan pangan. Jadi, jangan mengajukan pertanyaan: "Selama penjajahan Belanda, Anda makan apa?"

Pasti si narasumber menjawab, "Kalau ada nasi ya nasi, kalau tidak ada ya jaung, gaplek, tiwul, aking."

Namun, jika pertanyaan diubah, "Apakah tetangga Anda pernah mengutangi beras?"

Saya yakin, si narasumber akan bercerita panjang lebar tentang susahnya hidup dengan spesifik. Bagaimana ia mencari pinjaman ke sana kemari, bagaimana perlakuan tetangganya, apa yang menyakiti hatinya, dan sebagainya.

Ini adalah intisari yang bisa kita pakai dalam novel kita, bukankah novel adalah cerita humanis/sisi manusianya?

Kisah. Itu yang kita tulis. Sekarang coba pikirkan satu pertanyaan, apa yg akan kalian tanyakan pada narasumber yang katanya langka ini? Bayangkan kalian sedang wawancara.

💞 Latihan membuat pertanyaan untuk narasumber beserta tanggapan tutor.


1. Pernahkah dicium sama pacar Eyang? Tapi itu sopankah bertanya seperti itu? Sebenernya aku pengen nanya orang zaman dulu kalau pacaran ngapain aja.

- Tergantung bagaimana kita mendekati si narsumber. Tapi pertanyaan ini bagus. Saya juga tanya ini ke mbah saya.

2. Gimana cara mereka bertahan hidup dan membesarkan anak mereka di situasi seperti itu? Pasti sulit sekali.

- Hm, kalau ini masih universal, coba lebih spesifik.

3. Harus nanya yang pribadi banget baru bisa pancing mereka cerita?

- Buat mereka nyaman dan dekat dengan kita. Rokok, kopi, biasanya membantu.

4. Pak, pembangunan bendungan itu gimana ya? Kok aku dengar sampai ada roggeng yang dipendem.

- Good start, lalu tanya lagi ke personal. apakah yang bersangkutan tahu siapa nama ronggeng yang dikubur? Di mana ia tinggal? Dan sebagainya.

5. Mbah, dulu pas nikah apa ada acara besar-besaran seperti zaman sekarang? Atau cuma akad nikah saja?

- Bisa, tapi jangan bilang besar-besaran. Cari yang spesifik. Apakah (kalau misal orang jawa) ada acara nginjak telur?

6. Apa yang membuat Bapak yakin jika hidup Bapak akan berjalan ke arah yang lebih baik? Sementara penjajahan ada di mana-mana saat itu.

- Ini terlalu umum, hidup yang lebih baik itu yang gimana?

7. Waktu zaman kerajaan dulu pakaiannya seperti apa?

- Jangan tanya seperti itu, tapi langsung bandingkan dengan: apakah mereka juga pakai kebaya?

8. Yang saya tahu selama ini, zaman dulu terkenal dengan perjodohan. Lalu, hal apa yang membuat seseorang dijodohkan atau mau menerima perjodohan itu?

- Hehehhehe, ini kayak reporter tivi. Bagaimana kalau diubah: Mbah dulu pernah dijodohin? Mau nggak?

Yang saya ajarkan adalah konsep bertanya pada narasumber. Sebenarnya itu tujuan saya dan tentu saja pertanyaannya spesifik. Tujuan kita adalah mencari kisah yang bisa kita ambil untuk cerita. Semakin detil semakin bagus. Semakin real, semakin humanis dan tidak mengada-ada.

--- ♥ Pertanyaan dan jawaban ♥ ---

1. Tanya:
Kalau kita mau buat cerita yang narsumbernya nggak mungkin masih ada yang hidup gimana?

Jawab:
Seperti yang saya bilang tadi, cari yang paling mendekati, generasi paling tua. Kalau enggak ada, balik lagi ke referensi.

Saya sarankan novel. Baca banyak-banyak interaksi antar tokoh. Dengan begitu kita bisa menarik sisi humanis, yang mirip setting sebenarnya. Karena saya percaya penulis tersebut juga melakukan riset yang sama: narasumber yang enggak mungkin lagi kita temui.

Saya sarankan angkatan lama ya
kayak Pram, Ahmad Tohari, dll.

Saya boleh cerita dikit?

Kebetulan narasumber saya pada saat menulis Sadirah adalah Mbah buyut putri dan budhe-pakdhe saya. Saya tidak menanyakan hal umum kepada mereka, tetapi saya bertanya; apakah pernah pacaran dengan pria lain sebelum menikah dengan Kakung? Apakah Mbah pernah dicium sama dia? Di mana? Pacarannya bagaimana?

Saya lumayan terkejut saat Mbah saya bilang; pernah berpacaran dengan pria lain sebelum menikah dengan Kakung.

Cara pacarannya pun tidak layak disebut pacaran untuk zaman now; si lelaki bersembunyi di rumpun bambu, sementara si perempuan berlama-lama di sungai meskipun pekerjaannya sudah selesai agar mereka bisa saling pandang dan melempar senyum sembunyi-sembunyi.

Nenek saya adalah rakyat jelata, bukan anak lurah dan pasti buta huruf, jadi tidak mungkin bersurat-suratan.

Mereka berdua hapal waktu bertemu: Jumat Wage dan Selasa Kliwon. Jika pada hari-hari tersebut mereka tidak ada pekerjaan, mereka mencari-cari alasan agar bisa ke sungai dan bertemu "pacar".

Bagi yang pernah baca Sadirah, adegan di sungai itu adalah kisah nenek saya.

Waktu ketemu dengan Ismangil setelah berantem dengan Centeng.

See? Saya mendapat sentuhan humanis dalam novel saya yang real.

Lanjut, ya.

Yang berikutnya adalah riset dengan mendatangi tempat yang kita pakai sebagai setting.

Ini sebenarnya penting nggak penting sih, kalau menurut saya. Ini menjadi tidak penting jika tujuan kita pergi hanya untuk melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kondisi tempat itu. Sudah ada internet, untuk apa ke sana demi bisa melihat sendiri? Yang kita dapat cuman bahan untuk setting tempat.

Itu yang enggak jadi penting. Namun, akan berubah penting ketika kita berkunjung, kita berinteraksi dengan penduduk setempat.

Ketika saya berkunjung ke kaki Gunung Wilis, saya mendapat nama-nama unik yang bisa saya pakai untuk nama karakter di novel Sadirah. Kerabat jauh saya menyuguhkan segelas teh hangat di sore yang dingin, saya mendapat silsilah keluarga besar saya di masa lampau.

Tak hanya itu, mereka juga bercerita kenakalan-kenakalan mereka di masa lalu.

Benu Pitak (bagi yang sudah baca Sadirah pasti tahu) sebenarnya tokoh rekaan yang lahir dari perbincangan tersebut. Ia adalah (alharhum) kerabat saya yang menjadi pusat obrolan sore itu.

2. Tanya:
Kalau misalnya kita ke tempat yang asing sama sekali, gak ada link, gak ada kenalan, gimana triknya mendekati warga sekitar supaya mau diwawancara?

Misalnya ke Semarang.

Jawab:
Semarang, tanya ke pemandu wisata, ada orang tua gak di situ. Minta antar ke sana. Asal tujuan kita jelas untuk membuat buku, saya yakin akan ada yang mau.

Tanggapan:
Jadi harus pake jasa travel, ya. Kalau kita backpack pergi sendiri gak bisa kak?

Jawab:
Ini malah lebih asik backpack. Karena interkasi dengan masyarakat setempat bisa lebih nyatu. Tanya penjual warung. Wawancara di situ.

Sebenarnya kalau orang itu asli penduduk, cerita mereka tidak akan beda jauh dari masa ke masa. Mereka punya akar yang sama. Untuk hal-hal umum (semisal knowlegde sejarah bangunan), mereka pasti tahu.

3. Tanya:
Kalau beda versi dari satu narasumber sama narasumber lain gimana Kak?

Misal letak kerajaan, Kak
Ada yang bilang dekat ini, ada yang bilang dekat itu.

Jawab:
Kita pakai pembanding referensi.
Buku misalnya. Itu aja yang kita pakai. Tapi kalau dari sisi budaya: semisal, adat perkawinan, kita boleh pakai dua-duanya.

Intinya, yang kita cari dari narsumber adalah sisi humanis, bukan sesuatu yang bisa kita dapat dari buku. Tapi kalau kamu nanyanya ke pemandu wisata, ya langsung aja tembak, "Tapi pak ada buku yang bilang beda."

Kita lihat jawabannya. Lalu, terserah kamu, mau pakai yang mana, asal konsisten.

💞 TIPS 💞

1. Pertama: suguhkan trivia, bisa diselipkan tokoh terkenal tanpa pembaca sadari.

Misalnya gini, pada novel saya yang berjudul Stambul Kembang Ciliwung, saya selipkan Saridjah Niung sebagai tokoh pembantu.

Itu nama Ibu Sud. Tahu Ibu Sud? Pencipta lagu Burung Kutilang. Nggak nyangka, 'kan? Di situ saya pakai dia sebagai pelatih Tonil Ratmi, tapi beneran Ibu Sud itu pada masa mudanya punya grup Tonil.

2. Jangan hanya menulis cerita, tetapi sampaikan pandangan pribadi penulis akan sebuah issue dari yang terkrusial hingga yang 'receh' tetapi sering kita jumpai; apa pandangan kalian tentang feminisme? Ideologi? Atau pandangan kalian tentang persahabatan?

3. Angkat budaya tempat di mana kalian membangun cerita, tetapi jangan mendominasi nanti jatuhnya kayak cerita dokumenter. Cukup jadi bumbu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro