Dua Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Esoknya, Matahari bersinar dengan terang. Namun, udara dingin Kota Malang masih membuat para peserta Silatnas yang beristirahat di rusunawa merapatkan jaketnya. Asyifa dan Fadil sudah berada di front desk sejak selepas salat subuh tadi. Mereka menunggu pengembalian kunci kamar. Pagi ini para peserta akan meninggalkan kampus putih tersebut. Urusan konsumsi sudah diserahkan kepada dapur rusunawa, dirnya hanya memantau saja. Asyifa hanya minta tolong ibunya untuk pembukaan saja.

"Udah selesai novelnya, Syif?" tanya Fadil pada Asyifa yang duduk dengan jarak dua kursi darinya.

"Tinggal dikit lagi, Kak. Mau diambil, ya?" Asyifa menjawabsemari mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

"Oh, enggak." Fadil menggelengkan kepalanya. "Gimana, suka, 'kan?"

"Jangan ditanya kalau karya Tere Liye, Kak. Sudah pasti aku suka banget."

"Betul. Itu yang buat aku suka novel ini. Oh, iya Asyifa suka nonton film juga? Apa jangan-jangan Drakor mania, nih?"

Asyifa tertawa. "Suka semua. Film Indonesia nggak terlalu sekarang. Malah suka film lama, Kak."

"Oh, ya? Film apa?" Fadil selalu bersemangat jika berbincang dengan gadis itu.

"Ayat-Ayat Cinta. Lama banget, kan. Tapi aku nontonnya pas baru masuk kuliah. Gara-gara habis baca novelnya."

"Wah, sama. Aku juga udah baca novelnya. Tapi, belum nonton. Seru yang mana menurut Asyifa?"

"Novel pastinya, Kak. Film kurang puas menurutku, terutama kalau udah baca novelnya."

"Betul, biasanya tidak bisa persis antara novel dan film. Asyifa suka Ayat-Ayat Cinta?"

"Suka. Duh, Fahri. Husband materials banget," tutur Asyifa dengan wajah semringah. Dalam benaknya sudah terpampang sosok Fedi Nuril yang berwibawa dan mampu memerankan dengan baik sosok Fahri.

"Wah, husband materials? Berarti Asyifa mau dong, dipoligami?"

"Big no! Katakan tidak pada poligami," ucap Asyifa sambil menyilangkan kedua tangan. Ia menirukan iklan salah satu partai politik tentang pemberantasan korupsi.

Fadil pun terkekeh melihat tingkah gadis di hadapannya itu. "Jangan salah. Poligami itu dibolehkan dalam agama. Disebutkan juga di Al-Quran."

"Tapi aku nggak pro poligami, Kak. Hemm, jangan-jangan Kak Fadil ada niatan poligami, nih." Asyifa menatap pemuda di sampingnya itu dengan pandangan curiga.

"Kalau mampu, kenapa tidak?" Fadil terkekeh pelan.

"Astagfirullah, kasian istrinya nanti, Kak. Hati perempuan jangan disakiti."

Fadil tertawa mendengar ucapan Asyifa yang terdengar memelas. Ia hanya ingin mengetahui pendapat gadis itu tentang poligami. Rasanya, sebagian besar perempuan memang tidak ingin diduakan oleh pasangannya.

"Enggaklah, Fadil itu setia pada satu wanita, kok."

"Dih, Pak Ustaz bisa ngegombal ternyata." Asyifa tertawa. Ia mulai ikut Nida dalam menyebut Fadil.

"Bukanlah, itu jujur." Fadil tidak terima.

"Ya ya ya."

"Mbak, mau ngembalikan kunci."

Tidak lama kemudian, meja mereka sudah dikerumuni peserta yang mengembalikan kunci. Mereka terlihat sudah segar dan penampilannya rapi. Agenda ke tempat wisata memang yang paling ditunggu oleh peserta dari luar Kota Malang jika ada acara. Malang Raya memang sudah terkenal dengan wisatanya yang berada di seluruh penjuru daerah.

"Pagi, Asyifa. Terima kasih, ya," sapa Dzaki seraya mengembalikan kunci bernomor 309. Pemuda itu menyunggingkan senyuman manis untuk gadis yang duduk dibelakang meja.

"Sama-sama, Kak," jawab Asyifa dengan ramah. "Monggo silakan sarapan di belakang gedung ini."

"Siap!"

Tanpa diketahui Asyifa, Bima muncul dari pintu utama rusunawa. Ia datang seraya menepuk bahu Dzaki dengan sedikit keras. "Akhi! Wah, kenapa baru ngabari semalem?"

Dzaki menoleh, kemudian mereka pun larut dalam suka cita. Bima mulai asyik berbincang dengan teman lamanya itu.

Asyifa terkejut melihat kedatangan Bima. Selama Silatnas, ia tidak pernah bertemu dengan sahabatnya tersebut. Mereka hanya berkomunikasi sebentar lewat WA. Itu pun karena Asyifa mengomentari story WA sahabatnya.

"Oh, iya, Dzak. Ayo aku kenalin ke temenku."

Bima bersama Dzaki mendatangi Asyifa yang sedang duduk. "Neng, kenalin. Ini sahabatku pas masih di pesantren."

"Udah kenal, Kang." Asyifa terkikik.

"Telat, Bim. Udah gobrol kita dari kemarin." Dzaki pun mengiyakan pernyataan Asyifa.

"Bagus, deh. Ini adikku di Malang, Dzak." Bima menggeser kursi, kemudian duduk di depan meja.

"Adik apa adik? Mana ada adik kakak jaman sekarang."

"Adalah. Kami buktinya, iya, kan, Neng?" Bima menoleh ke Asyifa. Jawaban berupa anggukan diberikan oleh gadis dengan pashmina plisket berwarna salem tersebut.

"Nggak mungkin. Oh, jangan-jangan kamu itu yang pacarnya Asyifa." Dzaki menggerakkan telunjuknya ke arah Bima.

Asyifa terperanjat. Kalimat yang sudah sering ditujukan kepada dirinya dan Bima.

"Lah, mau aku kemanain Kinara?" Bima tergelak, begitu pun dengan Asyifa.

Fadil menautkan kedua alisnya. Hingga saat ini ia masih penasaran dengan hubungan Bima dan Asyifa. Opini Dzaki pun disetujuinya. Memang sulit bersahabat dengan dengan perempuan tanpa ada yang kalah dengan perasaan. Fadil ingin tahu, di antara Bima dan Asyifa siapa yang menyimpan rasa. Bima mengakui memiliki pacar. Apakah Asyifa menyimpan rasa untuk Bima?

"Kita itu sahabat sejati. Iya, kan, Kang?" cetus Asyifa meluruskan.

"Betul," jawab Bima meyakinkan.

Seperti hanya menjadi kambing congek di antara hangatnya obrolan mereka bertiga, Fadil pun izin kembali ke kamarnya. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang hati Asyifa untuk Bima.

"Jadi, siapa pacar Asyifa?" tanya Dzaki menyelidik.

"Pacar apa? Jomlo sejati Eneng, nih."

"Lah, kata Ridhanu dia udah punya cowok." Dzaki menatap Asyifa penuh tanya. Bima yang mendengar ucapan temannya itu langsung terbahak.

Ridhanu? Asyifa menarik napas panjang mendengar nama tersebut. Apa maksudnya ngomong gitu?

"Neng, kamu diam-diam pacaran?" tanya Bima penuh selidik. Ia pun berdecak sambil menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. "Wah, wah pelanggaran ini."

"Ish, mana ada aku punya pacar, Kang."

"Loh, terus?" Dzaki masih bingung.

"Pokoknya, pacar Asyifa harus lewat persetujuanku."

Asyifa tergelak. Bima memang sudah mewanti-wanti sahabatnya untuk memperkenalkan terlebih dahulu laki-laki yang akan menjadi kekasihnya. Hal itu membuatnya enggak jujur tentang perasaannya terhadap Ridhanu pada Bima. Asyifa malu jika diledek Bima.

"Dasar sahabat posesif," ujar Dzaki membela Asyifa. "Jangan terima diginiin Bima, Syif. Dia aja pacaran."

"Pokoknya, aku yang nentuin siapa laki-laki yang boleh jadi pacar Asyifa. Jangan-jangan kamu mau daftar, Dzak?"

"Nggak jadi. Sahabatnya posesif," kelakar Dzaki.

"Akang, nih. Mematikan pasaranku."

Bima dan Dzaki terbahak mendengar celetukan Asyifa. Apalagi saat melihat ekspresi manyun gadis itu.

"Ya udah, Dzak. Buruan daftar. Tapi, kuseleksi dulu. Super ketat." Bima semakin bersemangat meledek Asyifa.

"Sadis!" Asyifa mencengkeram lengan kekar Bima.

"Aduh, aduh." Bima pun mengaduh sambil tertawa.

Dari kejauhan, Ridhanu mengamati interaksi itu. Tidak hanya dirinya saja. Fadil pun masih memantau. Dua laki-laki itu kemudia berlalu ke tujuan masing-masing membawa pertanyaan yang berbeda.

Apakah Asyifa menyukai Bima?

Apakah Bima menyukai Asyifa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro