Dua Puluh Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara Ridhanu terdengar meninggi. Hal itu sontak membuat Asyifa terperanjat dan menatap raut muka serius Ketua BEM-nya tersebut. Hatinya terasa nyeri. Ia merasa dibentak oleh Ridhanu.

Asyifa masih menatap Ridhanu. Baru kali ini dirinya punya nyali memandang wajah laki-laki pujaan hatinya secara berhadapan.

"I-iya, Mas. Maaf."

"Kalau seperti ini gimana, Syif? Baru juga mau mulai acara udah nggak beres gini. Masalah perut pula. Bisa buruk penilaian lembaga kita di depan peserta." Ridhanu berkacak pinggang. Jas almamater yang cukup tebal semakin membuat tubuhnya gerah.

"Kalau benar telat, Anda harus mencari solusi. Apa ada dana buat menyiapkan konsumsi lagi?" Tatapan Ridhanu begitu menusuk.

Kali ini Asyifa hanya mampu menundukkan wajahnya. Ia berusaha menahan air mata yang ingin jatuh. Mungkin, jika teman yang lain marah ia bisa bersikap santai mendengarnya. Namun, seperti ada rasa nyeri di dada saat sosok Ridhanu yang beberapa hari ini hangat kepadanya berubah seratus delapan puluh derajat. Laki-laki yang masih menempati posisi tertinggi dalam hatinya itu malah menunjukkan amarahnya.

"Udah, nggak pa-pa, Pak. Tolong dihubungi terus ya, Syif. Sampai konsumsinya bisa dipastikan ada di ruangan ini." Faris mencoba mencairkan suasana. Ia tidak ingin memperkeruh suasana. Ketua pelaksana memang harus mempertanggungjawabkan semua yang terjadi.

""Iya, Kak."

Asyifa menganggukkan kepala. Ia malah terkejut mendapati sikap bijak Faris. Penilaiannya dari awal kenal, Faris adalah orang yang paling keras kepala di organisasi yang menaungi mereka. Namun, laki-laki itu ternyata bisa bersikap bijak. Tidak seperti Ridhanu.

Ridhanu memutar tubuhnya, kemudian berlalu meninggalkan Asyifa yang masih bergeming sambil menatap pintu gerbang kampus. Ia tersenyum samar seraya melirik gadis yang mengenakan jas almamater merah berpadu dengan rok panjang hitam tersebut.

"Yaa Allah, kok nggak dijawab WA-ku." Asyifa semaki gelisah. Ia terus menghubungi ponsel kedua orang tuanya.

Setengah jam kemudian, Asyifa baru bisa bernapas lega. Mobil sang ayah akhirnya tiba membawa pesanannya. Ia ingin sekali mengomel. Namun, hal itu urung dilakukan. Penyebab keterlambatan yang tidak terduga, terjebak macet di Batu karena ada kecelakaan beruntun. Satu hal yang harus disyukuri, bukan keluarganya yang mengalami nasib buruk tersebut.

"Maaf, ya, Nduk." Ibu Asyifa ikut cemas. Beliau khawatir dengan sang anak karena keterlambatan tersebut.

"Iya, Bu," jawab Asyifa singkat. Ia tidak bisa menyembunyikan raut sedihnya dan tentu saja perasaan kecewa. Asyifa ingin meminta pertanggungjawaban ibunya yang sudah diberi amanah. Namun, itu hanya bisa dilampiaskannya dalam hati.

"Tidak apa-apa, kok, Bu. Jadwal makan masih setengah jam lagi. Terima kasih sudah diantar," cetus Fadil yang berdiri di samping Asyifa. Ia paham perasaan Asyifa.

Fadil bergerak cepat saat mengetahui orang tua Asyifa datang. Ia dengan cekatan menurunkan nasi kotak dari mobil dibantu teman-teman panitia yang lain. Setelah semuanya selesai, laki-laki yang menuntut ilmu di kampus dengan beasiswa daerah, mulai menyapa ayah Asyifa.

"Ada kecelakaan apa, Pak, tadi?"

"Itu, Mas. Mobil, lumayan panjang macetnya. Untung tadi saya nggak nyalip, kalau iya, entahlah."

"Alhamdulillah, Bapak sama Ibu masih diberi keselamatan."

Mereka berbincang sejenak dengan cukup hangat. Di balik pintu kaca aula yang berwarna gelap, ada sosok bertubuh tegap menatap Fadil dengan tajam, tanpa senyuman.

"Mas, lihatin apa, sih?" Nida tiba-tiba datang.

"Ck, ngangetin aja." Ridhanu tidak memnjawab. Ia malah meninggalkan Nida yang masih penasaran.

"Lihati apa, sih. Kak Fadil?" Nida menautkan kedua alis. "Ngapain, sih?"

***

Silatnas tiga hari dua malam berjalan dengan lancar walaupun sempat dibumbui sarapan yang terlambat. Setelah kejadian itu, konsumsi yang Asyifa pesan datang lebih awal. Namun, sikap dingin antara Asyifa dan Ridhanu masih belum kembali mencair.

"Syif, tolong kasihkan ke Pak Pres susunan acaranya. Tadi dia minta ini. Aku mau ke belakang dulu," pinta Faris sambil menyerahkan selembar kertas.

"Aduh, Kak, maaf aku lagi sibuk nyiapin minuman, nih."

Faris menatap meja dengan pandangan menyelidik. Ia menautkan kedua alis, di atas benda berbentuk bundar itu sudah tersusun rapi gelas, galon, dispenser, dan teh juga kopi.

"Kamu alasan aja. Masih sewot gara-gara disemprot kemarin?" Faris terkikik.

"Kesel aku, Kak. Ngeselin banget itu orang." Asyifa berkata sembari menggenggam kedua tangan dengan geregetan.

"Jangan jengkel, nanti jadinya malah nempel."

"Apa-an, sih. Sana-sana pergi."

Asyifa mendorong Faris untuk menjauh dari wilayah kerjanya. Laki-laki bertubuh tegap itu terbahak. Ia berlalu sambil menarik ujung belakang kerudung Asyifa.

"Kak!" Gadis itu meringis sambil memegang jarum pentul yang terpasang di bawah dagu.

Fadil yang duduk di kursi tengah memperhatikan interaksi dua temannya itu. Tidak lama kemudian, Faris menghampirinya.

"Pak, minta tolong ini dikasihkan ke Ridhanu. Aku mau ke belakang dulu."

"Oke." Fadil menerima kertas tersebut.

"Terima kasih, Pak. Asyifa dititipi nggak mau."

"Kenapa?"

"Kemarin dimarahin Ridhanu. Masih kesel dia."

Fadil manggut-manggut. Ia baru tahu kabar tersebut. Rasa penasaran tentang gadis itu sulit untuk ditahan. Setelah menjalankan amanah Faris, ia pun segera menemui Asyifa.

"Asyifa."

"Eh, apa, Kak?"

"Kemarin Ridhanu marah?"

Asyifa mengernyit. Hanya Faris saja yang tahu kejadian kemarin. "Oh, masalah terlambat kemarin, Kak."

"Asyifa nggak papa, kan?"

Asyifa yang sedang duduk sembari memegang ponsel, mengangkat wajahnya. "Nggak papa kok, Kak."

"Syukurlah." Fadil tersenyum. Ia kemudian berlalu dari hadapan Asyifa.

"Dasar ember Kak Faris. Bikin malu aja."

***

Acara penutupan akan segera berlangsung. Panitia Silatnas membuat momen penanda berakhirnya event nasional itu dengan konsep kekeluargaan. Para peserta dibebaskan untuk saling mengakrabkan diri dengan peserta yang lainnya.

"Silakan dinikmati malam keakraban ini. Tidak lupa pojok kopi dan teh sudah siap menemani." Faris memandu dari depan panggung. Ia pun membuat suasana meriah dengan jokes ringan.

Ridhanu tampak berbincang dengan Dzaki, Ketua BEM dari salah satu institut di Bandung. Mereka pun bertukar nomor ponsel.

"Sekretaris BEM UMM yang mana, Pak?" tanya Dzaki.

Ridhanu menunjuk ke arah Asyifa yang tengah duduk menunggu meja minuman bersama Nida. "Yang pakai jilbab marun."

"Oh, Asyifa."

"Udah kenal, Pak?"

Dzaki mengangguk sambil tersenyum. "Kemarin waktu ishoma sempat kenalan. Tapi sayang, minta nomor ponsel nggak dikasih."

"Biasa, nggak dibolehin sama pacarnya buat bagi nomor ponsel," sahut Ridhanu santai.

Dzaki menautkan kedua alis. "Bukannya dia jomblo?"

"Bukan," jawab Ridhanu datar. "Kata siapa jomblo?"

"Kata Nida." Raut wajah Dzaki tampak bingung. Tatapannya masih tidak beranjak dari gadis berbulu mata lentik tersebut.

"Wah menyesatkan itu Nida. Punya pacar, akktivis juga," jawab Ridhanu dengan asal.

"Oh, begitu."

Dzaki manggut-manggut. Ada perasaan kecewa menyelinap dalam dadanya. Gadis manis itu telah berhasil mencuri perhatiannya sejak pertama tiba di Malang.

"Kenapa, Pak? Naksir?"

Dzaki tertawa. "Luar biasa, romansa sesama aktivis."

Ridhanu terkekeh pelan. Ia merasa bahagia bisa sedikit menjaili sekretarisnya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro