Dua Puluh Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Perjalanan kembali ke indekos ditempuh dengan keriuhan suara kendaraan yang lalu lalang. Asyifa dan Ridhanu tidak saling berbincang. Mereka fokus dengan pikiran masing-masing.

Setelah sampai di depan Gang Tirto, Ridhanu menghentikan motornya. Asyifa heran kenapa ketua-nya itu tidak melanjutkan perjalanan.

"Kenapa, Mas?" Asyifa turun dari motor.

"Sebentar, mau beli roti bakar dulu."

"Oh, iya."

Asyifa mengangguk pelan. Ia sejujurnya ingin memesan roti berbentuk kotak itu dengan isian coklat juga, tetapi urung karena Ridhanu tidak menawari. Gadis itu mengusap perutnya. Tiba-tiba saja dirinya merasa lapar.

Ridhanu menanti pesanan dengan duduk di kursi plastik berwarna biru. Ada empat tempat duduk yang tersedia, dua sudah ditempati. Asyifa melirik bangku yang berada di sisi ketua BEM-nya itu.

Duduk enggak? Duduk enggak?

Asyifa bimbang saat memutuskan untuk duduk atau tidak. Tentu saja rasa canggung begitu menguasai hati.

"Mas, Mbaknya suruh duduk sini aja," tawar penjual roti kepada Ridhanu saat melihat Asyifa berdiri di dekat motor sambil memainkan ponsel.

"Oh, nggak usah, Mas. Dia sukanya berdiri," jelas Ridhanu asal nyeletuk.

Abang penjual mengernyitkan kening seraya terkekeh. Ridhanu berusaha menahan tawa, matanya melirik sekilas ke arah gadis berjaket cokelat muda tersebut. Senyuman manis yang samar tersungging di bibir mahasiswa tingkat akhir tersebut. Berakhir saat Asyifa menoleh ke arahnya. Ridhanu segera menegakkan punggung.

Dilihatin, doang. Disuruh duduk, kek, gerutu Asyifa dalam hati.

Hingga pesanan selesai, Asyifa tetap berdiri di samping motor. Berbagai gaya sudah dilakukannya, dari berdiri tegap hingga menyandarkan pinggang di jok motor. Beruntung ada ponsel yang menghiburnya.

"Ayo."

Ridhanu bergegas mengajak Asyifa pulang.

Mister tega, tidak ada duanya, umpat Asyifa.

Gadis itu menaikkan kakinya dengan malas ke atas jok motor. Ia pun memijit pelan betisnya. Helaan napas berat keluar dari bibirnya.

Tidak lama kemudian mereka tiba di depan indekos Asyifa. "Terima kasih sudah diantar, Mas."

"Sama-sama."

Terdengar suara gembok di buka dari balik pagar setinggi dua meter. Muncul sosok gadis tinggi dengan piyama bermotif garis.

"Eh, ada Mas Ridhanu. Dari mana, nih?"

Hana pura-pura bertanya. Tentu saja dirinya sudah tahu ke mana dua orang di hadapannya itu. Ia terkikik saja saat melihat Asyifa memelotot. Kakak kosnya itu sudah mewanti-wanti untuk tidak turun saat mereka tiba. Asyifa tidak mau dicie-cie-in di hadapan Ridhanu. Asyifa takut Ridhanu semakin ilfeel kepadanya.

"Mau ke mana malam-malam, Han?" tanya Ridhanu.

Hana melirik Asyifa yang masih membulatkan matanya. "Eh, anu, mau beli nasi goreng."

"Nggak usah."

Hana dan Asyifa berpandangan.

"Ini buat kalian." Ridhanu mengulurkan roti bakar yang dipesan tadi.

"Wuaaahh, rezeki adek kos soleha." Hana langsung meraih bungkusan kantong plastik berwarna hitam tersebut. "Makasih, Mas."

"Iya, sama-sama. Ya udah, balik dulu, ya."

"Terima kasih, Mas," ucap Asyifa sembari tersenyum canggung.

Ridhanu manggut-manggut. Ia kemudian menyalakan mesin motor.

"Mas!" pekik Hana sebelum Ridhanu melajukan motor.

"Apa?"

"Besok, ajakin mbak kosku kulineran lagi, ya." Hana memeperlihatkan deretan gigi.

Asyifa kembali memelotot sembari mencubit panggul Hana. Wajahnya pun sontak memerah.

"Aduh!"

Ridhanu hanya tersenyum sekejap. Ia langsung melajukan kendaraan roda dua kesayangannya itu.

"Tuh, kan. Males, ah, sama Hana. "

Asyifa masuk ke rumah dengan kesal, meninggalkan Hana yang sedang mengunci gerbang. Ia tentu memikirkan perasaan Ridhanu.

"Dua kali, Mbak!" Hana menyusul Asyifa.

Asyifa menatap adik kosnya dengan pandangan tidak mengerti. "Apanya?"

"Ish! Mbak, nih, nggak dengerin aku ngomong." Hana memukul pelan bahu Asyifa.

"Apa?"

"Dua kali, loh, Mbak diantar Mas Ridhanu." Ekspresi Hana seolah terpesona.

"Terus?" Asyifa berusaha menahan ekspresi di wajah untuk tidak terlihat mengerti maksud Hana.

"Itu tandanya apa? Dia udah bersikap hangat ke Mbak. Nggak dingin lagi, 'kan?"

Asyifa terdiam, ia melanjutkan langkah menaiki tangga. Di belakang, Hana masih mengikutinya.

"Belum ada satu bulan kalian satu organisasi."

"Dia masih sama, Han. Dingin."

"Tapi kayaknya udah meleleh es batunya, Mbak."

Sejenak, gadis itu terlihat berpikir serius. "Udah ah, nggak mau mikir orangnya lagi, pemberiannya aja. Mana roti bakarnya?"

Hana tergelak. Ia begitu gemas melihat tingkah kakak kosnya tersebut. Terkadang, Asyifa bisa terlihat rapuh, tetapi tidak jarang bersikap santai seperti saat ini.

***

Hari pelaksanaan Silatnas pun tiba. Semua peserta yang datang, berasal dari luar kota bahkan luar pulau. Mereka sudah berada di rumah susun mahasiswa Universitas Surya Gemilang. Gedung bertingkat empat yang terletak di belakang kampus itu, saat ini menampung enam puluh peserta.

Silatnas rencananya akan dilaksanakan selama tiga hari dengan jadwal terakhir adalah wisata ke Kota Batu. Hari pertama dan kedua akan berlangsung materi dan Focus Group Discussion (FGD) di Aula Biro Administrasi Umum.

Asyifa sedang sibuk dengan tugasnya sejak selepas subuh, menyiapkan galon dan dispenser. Tidak lupa, teh, kopi, gula dan aneka biskuit terhidang di meja berbentuk bundar tersebut.

"Gimana konsumsinya, Syif? Datang jam berapa buat sarapan?" tanya Fadil yang kedatangannya tidak disadari Asyifa.

"Duh, kaget aku, Kak. Nanti, satu jam lagi. Ini masih persiapan masukin nasi kotak ke mobil."

Fadil tersenyum melihat ekspresi Asyifa. "Insya Allah. Kalau kita mengucapkan satu hal yang belum pasti, ucapkan Insya Allah, jika Allah menghendaki."

Asyifa mengangguk sambil menata meja. "Insya Allah satu jam lagi, Kak."

Fadil mengacungkan ibu jarinya. Ia menatap gadis berkerudung persegi dengan motif bunga tersebut dari samping.

"Astagfirullah," ucap Fadil lirih. Laki-laki itu mengusap dadanya. Segera ia tundukkan pandangan, kemudian berlalu menuju ke arah pintu aula.

"Pak, Pak, tolong microphone di meja depan dicek lagi. Barusan diganti baterai." Faris selaku ketua pelaksana memberi arahan kepada Fadil.

"Siap."

.

"Oh iya, sudah siap semua perlengkapan untuk pembukaan?" tanya Faris.

"Insya Allah sudah beres semua, Pak."

Faris mengacungkan ibu jari. Ia pun menuju ke arah Asyifa, mengecek urusan konsumsi.

Satu jam kemudian.

Asyifa terlihat gelisah. Ia mondar-mandir di atas tangga luar aula. Matanya tidak lepas menatap ke arah pintu gerbang yang berada di arah barat. Mobil sang ayah belum juga tampak.

"Gimana, Syif? Konsumsi udah datang?" Faris menghampiri Asyifa bersama Ridhanu.

"Satu jam yang lalu katanya udah berangkat. Tapi, kok belum datang juga," ucap Asyifa gelisah.

"Coba telepon dulu."

Asyifa mengangguk, kemudian menghubungi nomor sang ibu. Tidak ada jawaban. Asyifa semakin gelisah. Tangannya mulai terasa dingin.

Fadil memperhatikan Asyifa dari dalam ruangan. Ia ingin sekali menenangkan gadis yang mulai kerap mengganggu konsentrasinya dalam menghapal Al Quran. Namun, ia menahan diri untuk tidak berinteraksi semakin sering dengan Asyifa.

"Aku udah pernah bilang kemarin. Apa nggak sebaiknya pesan dekat kampus? Ini event nasional, loh, Mbak! Jangan main-main, persiapan harus matang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro