Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua jam kemudian.

Kalimat-kalimat ucapan selamat ditanggapi Asyifa dengan wajah datar dan senyum terpaksa. Kebahagiaan partai yang mengusungnya tidak dirasakannya saat ini. Asyifa tengah harap-harap cemas menunggu telepon dari Hana. Adik kosnya itu belum juga membalas chat WA. Saat ditelepon pun, tidak tersambung.

"Tuh, kan, aku bilang apa? Pasti lolos Asyifa Rania itu. Suara tertinggi pula," ungkap Bima dengan raut penuh kebahagiaan. Pemuda yang duduk di samping Asyifa menautkan kedua alis melihat wajah sahabatnya itu. "Aya naon ini?"

Bibir Asyifa mulai bergetar. Tidak lama isakan dengan ekspresi konyol menghiasi wajahnya. Ia langsung menutup wajah.

"Oi, oi, kenapa ini?" Bima pun ikut panik. Untung saja di lorong lantai lima tempat penghitungan suara sudah cukup sepi.

Asyifa membuka telapak tangan yang menutup wajahnya. Gadis dengan kerudung yang kedua ujungnya disilangkan di atas bahu itu memasang wajah cemberut.

"Enggak apa-apa. Aku mau pulang aja, Kang. Capek, nih. Anterin."

Asyifa langsung beranjak dari duduknya. Ia berjalan lebih dahulu, meninggalkan Bima yang tengah geleng-geleng kepala seraya tersenyum menatapnya.

"Cerita nggak?" Bima menyandarkan siku di bahu Asyifa. Tinggi badan mereka memang cukup kontras. Asyifa 153 sentimeter sedangkan Bima 175 sentimeter.

Asyifa yang berjalan sembari menyilangkan kedua tangan tidak menjawabnya. Ia sedikit kaget dengan aksi Bima yang sebenarnya sering dihadapainya itu.

Bima mulai khawatir. Jika sudah diam begini, biasanya Asyifa memendam masalah yang cukup serius. Seperti saat masih semester dua dahulu. Awal-awal mereka menjadi dekat. Di kala persahabatan yang hangat, mendadak Asyifa menjauh. Hampir satu bulan gadis itu menghindarinya.

"Jangan gini, Neng. Aku trauma."

"Trauma apa?" Asyifa mengangkat wajah yang sepanjang perjalanan menuju tempat parkir ditekuknya.

"Ingat dulu, yang Neng tiba-tiba diam terus menjauh? Awal kita dekat."

Asyifa sontak menghentikan langkah. Ia tentu tidak melupakan peristiwa itu. Pengalaman pertama menyayangi laki-laki yang berakhir patah hati hebat.

"Ada masalah lagi sama dosen?" Bima mencoba memastikan.

Asyifa mengangguk pelan. Anggap saja tebakan Bima benar seperti dahulu. Alasan yang masih menjadi rahasianya sendiri. Antara dirinya dan tuhannya.

"I am okay. Nih, ceria, kan?" Asyifa menarik kedua sudut bibir membentuk lengkungan.

Bima menatap lekat sahabatnya itu. Ia tidak akan memaksa Asyifa bercerita jika memang tidak ingin.

"Ya udah, jadi diantar pulang apa nggak?"

"Jadilah, udah nyampe parkiran gini," sungut Asyifa diikuti tawa ringan Bima.

Beberapa saat kemudian, Asyifa sudah sampai di indekos. Ternyata Hana belum datang. Ia sudah gelisah menunggu berita terbaru mengenai perolehan suara Ridhanu. Ia bahkan belum membersihkan diri. Baju yang dipakai ke kampus tadi juga belum dilepas. Asyifa hanya berbaring dengan tatapan kosong di atas kasur.

"Yaa Allah, semoga manusia es itu nggak lolos," ucap Asyifa penuh harap. Namun, mendapati kenyataan bahwa Ridhanu adalah mantan Ketua BEM Fakultas Teknik membuat keyakinannya serasa terjun dari puncak menara masjid kampus "Nggak mau ketemu lagi!"

Suara derap langkah kaki menaiki tangga terdengar. Asyifa sontak berdiri dari posisinya. Ia hapal sekali suara langkah itu. Asyifa dengan cepat berlari membuka pintu kamar.

"Hana ...!" pekik Asyifa dengan bibir maju ke depan, persis seperti anak kecil tidak dibelikan es krim.

Hana yang baru sampai di lantai dua tergelak mendapati ekspresi Asyifa. Ia pun berjalan ke kamar teman indekosnya itu.

"Congratulation, mbakku. Jadi pejabat tingkat kampus euy, sekarang," goda Hana seraya duduk bersandar di pintu.

"Ck." Asyifa berdecak kesal. "Ayo, gimana hasilnya?"

"Baca aja wajahku. Kira-kira Mas Ridhanu lolos enggak?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro