Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Asyifa dan Hana sudah sampai di kampus. Mereka kini berjalan menuju gedung tempat kajian.

"Emang gratis, Han?"

"Mana ada, Mbak. 50K per seat."

"Lha, terus dua tiket itu?"

Hana mengedipkan kedua matanya bergaya centil. "Mbak meragukan Hanania yang punya jaringan di segala penjuru kampus ini?"

Asyifa manggut-manggut. Memang tidak diragukan lagi keramahan adik kosnya ini. Temannya ada di hampir semua fakultas. Jika ikut pemilu raya, bisa ia pastikan Hana akan mendapatkan 60 persen suara karena kepandaiannya dalam bergaul itu.

"Kapan-kapan mau tiket gratis lagi, Han."

"Enak banget. Mbak aja coba deketin anak LDK. Siapa tahu nyantol."

"Hush! Mereka mana pacaran."

Hana tergelak.

"Eh, ada siapa, tuh?" Hana menowel lengan Asyifa. Dagunya mengarah ke jalan depan perpustakaan yang hendak dilewati.

Asyifa sontak mengikuti instruksi Hana. Tubuh gadis itu sontak panas dingin. Debar di dada pun kembali terasa. Ia langsung menundukkan kepalanya.

"Mas Ridhanu!" panggil Hana seraya melambaikan tangan.

Asyifa mengerjap kaget. Adik kosnya itu malah memanggil pemuda yang sedang dihindarinya itu. Beruntung, Ridhanu tidak menghampiri Hana melainkan belok kiri menuju tempat parkir yang berada di sisi perpustakaan. Mereka berdua hanya saling menyapa saja. Tentu tanpa menyapa dirinya.

"Pokoknya aku mau kalah, kalah, kalah," racau Asyifa seraya mengepalkan kedua tangan. Ia sempat mendapati tatapan Ridhanu ke arahnya tadi. Tentu saja dengan tanpa senyuman.

Asem!

***

Hari yang dinanti pun tiba. Para mahasiswa itu menyebutnya pemilu raya. Antusiasme terlihat dari para peserta dan panitia. Jangan tanya tentang pemilih. Kebanyakan pemilih adalah mahassiwa yang hanya fokus kuliah lalu pulang atau nongkrong. Bisa dibilang pemilu raya adalah pesta mahasiswa yang kuliah lalu hobinya rapat. Para pemilih terkadang asal memilih atau mereka memilih teman sekelas dan kenalan mereka saja.

Namun, dalam gegap gempita menyambut pemilu raya, ada satu peserta yang ingin mengurung diri di kamar. Siapa lagi kalau bukan Asyifa. Sejak pagi tadi, Asyifa sudah mewanti-wanti Hana untuk mengabarkan kondisi penghitungan suara di fakultas teknik tempat Ridhanu bertarung.

"Iya, Kang."

Asyifa mengangkat telepon dari Bima dengan malas. Bukan karena tidak mau berbicara dengan sahabatnya. Akan tetapi, karena malas disuruh ke kampus.

"Udah jam berapa ini." Suara Bima terdengar di seberang telepon.

"Nggak usah ke kampus boleh, kan?"

"Nggak boleh. Ayo cepat ke sini. Pak Sardi udah datang ini. Diabsen satu-satu yang nyalon."

Asyifa berdecak kesal. Kalau sudah berurusan dengan Pak Sardi, Pembantu Dekan Tiga di jurusannya, semalas apapun pasti diusahkannya ke kampus. Asyifa tidak mau jika kemalsannya berorganisasi berimbas pada nilai pada mata kuliah yang diampu Pak Sardi.

***

Asyifa sudah tiba di kampus. Ia bahkan sampai memesan ojek online demi bisa sampai dengan cepat.

"Mana Pak Sardi?" tanya Asyifa pada Bima.

"Nggak ada."

Asyifa mengentakkan kakinya. "Akang ngerjain aku, nih?"

"Lah, kata siapa? Emang udah nggak di sini. Udah balik ke kantor."

Asyifa mencebik kesal. Ia lalu mengempaskan tubuhnya di kursi dekat tempat pemungutan suara.

"Kalau sekarang aku yakin lagi PMS," cetus Bima sembari mengusap dagu.

Asyifa hanya menanggapi dengan lirikan mata yang tajam. Bombastic side eyes!

Lima jam kemudian. Saat penghitungan suara dimulai.

"Jam berapa mulai penghitungan?" tanya Asyifa melalui panggilan WA. Ia sudah berada di lokasi pemilihan fakultas.

"Barusan mulai, Mbak," jawab Hana yang juga berperan sebagai panitia pemilu raya. "Di Psikologi udah jalan belum?"

"Belum. Habis salat Asar."

Asyifa mulai gelisah. Ia tidak yakin dirinya akan kalah. Tadi, setelah pemberian suara, tidak sedikit adik tingkat yang mengenalnya bercerita telah memilih namanya.

"Ya udah, entar aku kabarin kalau udah selesai," ujar Hana. "Aku sibuk, nih."

"Eh, bentar-bentar. Dia udah dapat berapa suara?" tanya Asyifa penasaran.

"Dia siapa?" goda Hana dari seberang telepon.

"Hana ...!" geram Asyifa tertahan. Gelak tawa terdengar lewat sambungan telepon.

"Baru sepuluh, Mbak."

Asyifa bersyukur mendengar jumlah yang sedikit itu. "Oh, terus lawannya paling banyak dapat berapa?"

"Tiga," jawab Hana kembali tergelak. "Oke, bye-bye."

Asyifa mulai pesimis. Ia pasrah saja jika memang harus bertemu dengan Ridhanu di organisasi yang sama. Pikirannya sudah melayang jauh ke mana-mana. Bagaimana nanti ia akan bersikap hingga membayangkan sering rapat bersama.

Asyifa memukul kepalanya. Imajinasinya terlalu liar, maksudnya kembali membayangkan hal yang romantis.

"Sakit kepala, Neng?" Bima mendekat.

"Oh, enggak. Mau ke mana?"

"Ya solat. Ayo." Bima menarik tangan kiri Asyifa.

"Aku masih libur, Kang!"

"Hehehe lupa, maaf." Bima mengusap pucuk kepala Asyifa.

Asyifa mencebik kesal. Ia tidak menyadari jika beberapa pasang mata mahasiswi tengah mengamati interaksinya dengan Bima. Gosip yang beredar di fakultas tentang dirinya dan Bima belum reda juga dari tahun pertama dirinya menjadi mahasiswa. Banyak yang menduga jika mereka menjalin hubungan cinta. Ada asap tentu karena ada api.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro