Lima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa, Asyifa?" tanya Fadil heran melihat air muka berbeda dari gadis di sebelahnya itu.

"Nggak ada apa-apa, Kak." Asyifa menggeleng pelan.

Fadil tidak melepas pandangan dari Asyifa. Ia merasa ada yang berbeda begitu mereka sampai di sini. Terutama dari suasana hati gadis itu. Fadil pun menyusul Asyifa yang sudah duduk di teras masjid.

"Syif ... Syif, kupikir kamu lupa jalan pulang dari belanja di pasar," ledek Faris yang sedang duduk di antara Ridhanu dan Asyifa.

"Enak aja. Aku lupa beli garam, tau. Nanti makanan kalian hambar, loh."

"Ya, jangan dong. Mending keasinan, kan, jadinya minta kawin. Eh, nikah," ucap Faris sambil tergelak.

Asyifa melirik sekilas ke arah ketua BEM-nya saat Faris selesai menyebutkan kata nikah. Laki-laki itu hanya tersenyum tipis sambil menatapnya. Sontak saja, Asyifa langsung mengalihkan pandangan.

Pipi gadis itu mulai bersemu merah. Kata nikah bagi Asyifa sekarang menjadi sesuatu yang terdengar sensitif. Asyifa sebenarnya memiliki keinginan kuat untuk menikah muda. Ia sempat berujar ke teman-teman di kelasnya bahwa nanti saat wisuda ingin punya pendamping wisuda halal alias calon suami. Mereka mencibir mimpi itu. Bagaimana bisa punya calon, jika pacar saja tidak pernah ada?

Ada juga yang mengaminkan doa tersebut. Teman-temannya malah mendukung dirinya berjodoh dengan Bima. Kedekatan Asyifa dan Bima memang sudah lama menjadi perbincangan di fakultas. Banyak yang menduga mereka pacaran, bahkan dosen pun berujar demikian. Sayangnya, tidak ada yang tahu selain Asyifa dan beberapa teman dekat Bima, bahwa sahabatnya itu sudah memiliki kekasih yang tengah kuliah di Bandung.

Rombongan BEM sudah lengkap, mereka pun mulai menaiki angkot. Asyifa memilih di mobil pertama sedangkan Ridhanu memilih yang satunya. Laki-laki bertubuh tinggi itu berusaha untuk menjaga jarak dengan Asyifa.

Tiga puluh menit perjalanan, rombongan BEM Universitas akhirnya sampai juga di gapura masuk kawasan Songgoriti. Di samping kanan kiri jalan, berjejer motor yang terparkir bersama pengendaranya. Mereka berteriak menawarkan vila yang mereka pasarkan. Tidak hanya sampai di situ. Salah satu marketer vila mengikuti dua angkot dari kota Malang tersebut. Rombongan sudah menggerakkan telapak tangan tanda tidak sedang mencari penginapan, tetapi bapak berjaket hitam itu tetap mendekati angkot. Akhirnya, Faris dengan sopan memberitahukan bahwa mereka sudah punya tempat tujuan.

Tidak lama kemudian, angkot memasuki jalan yang sedikit menanjak. Vila yang mereka sewa memang berada tepat di atas bukit. Udara sejuk pun menyambut kedatangan mereka. Barisan pohon pinus menjadi pemandangan yang mendominasi. Terlihat kabut tipis yang masih menyelimuti.

Angkot berhenti tepat di depan rumah berwarna coklat muda dengan dua lantai. Satu persatu penumpang mulai turun. Faris bergegas menelepon penjaga vila. Ia bertanggung jawab atas sarana dan prasarana selama rapat kerja.

Semua sudah diturunkan dari angkot. Ada tiga kamar di rumah itu. Ridhanu sudah membagi penghuninya. Satu kamar di bawah ditempati oleh laki-laki. Sisanya mereka tidur di kamar atas, berdampingan dengan kamar anggota perempuan yang cukup dengan satu kamar saja.

"Udah penuh di sini, Pak." Fadil memberitahu Ridhanu yang akan masuk ke kamar bawah.

"Di atas aja, jagain para gadis," Nida menyela ucapan Fadil seraya menjaili Ridhanu.

Ridhanu menarik ujung kerudung adik tingkatnya itu. Pekikan Nida pun terdengar.

"Woiii!!" Kemudian, pukulan sedikit keras dari Nida mendarat di lengan kanan Ridhanu.

Asyifa terkekeh pelan melihat keributan kecil itu. Ia sedang bersiap menaiki tangga yang berada tepat di depan kamar. Saat akan melangkah ke anak tangga pertama, lengan Asyifa bersinggungan dengan Ridhanu yang juga akan naik. Darah gadis itu sontak berdesir.

"Maaf nggak lihat," ucap Ridhanu sambil terus melangkah naik.

Asyifa mengusap dadanya. Kejadian itu begitu mengagetkannya.

"Mau aku bantu, Asyifa?" Fadil menawarkan bantuan.

Asyifa menatap ransel yang dipegangnya dengan tangan kanan. "Cuma bawa ini aja, Kak."

"Oke."

Asyifa pun segera menuju kamar. Ia harus menyiapkan hati untuk tidak mudah terbawa perasaan selama di sini. Kisah tentangnya dan Ridhanu tidak akan pernah dimulai. Asyifa sudah merelakan perasaannya menepi, jauh sebelum sama-sama tergabung dalam BEM Universitas.

Menjelang zuhur, sebuah mobil Taft berwarna hitam berhenti di depan vila. Ternyata orang tua Asyifa datang mengantar pesanan makan siang dan malam. Asyifa mengubah konsep untuk konsumsi. Lebih baik ia meminta bantuan ibunya yang rumahnya tidak jauh dari Kota Batu. Ia cukup mengurus masalah sarapan esok pagi.

Fadil terlihat begitu semangat membantu menurunkan barang. Bahkan, ia ikut menyapa bapak Asyifa. Mereka berbincang sebentar sebelum kembali ke rumah.

"Cie ... Pak Ustaz ketemu sama calon mertua."

Nida mulai melancarkan aksinya menggoda Fadil. Sedari tadi, dirinya memang mengamati bahasa tubuh temannya itu saat bersama Asyifa. Apalagi ketika orang tua Asyifa datang, sikap Fadil semakin terlihat seolah sedang melakukan pendekatan.

Asyifa mengernyitkan kening. Ia tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Nida. Fadil yang jadi obyek gurauan hanya tersenyum simpul.

"Maksudnya gimana, Nid?"

"Fadil kayaknya mau jadi orang Pujon, Syif." Faris ikut menambahi.

Asyifa tergelak, kemudian merangkul bahu Nida. "Sini aku kasih bocoran. Pak Ustaz itu idamannya, ya, aktivis dakwah berkerudung lebar, Nid. Bukan kerudung mungil sama celana denim gini."

Asyifa sadar diri. Ia juga tidak punya perasaan apapun kepada Fadil. Dirinya juga tidak merasa jika Fadil menaruh rasa untuknya. Semua berjalan sangat wajar sebagai teman seperjuangan.

"Iya, kan, Kak?" Asyifa mencoba bertanya sekaligus meminta penjelasan bahwa pemikirannya benar.

"Ini guyonan khas mahasiswa semester akhir, Asyifa." Fadil tertawa.

Asyifa manggut-manggut. Ia lalu mengacungkan kedua ibu jari. Dirinya tidak mau ada kecanggungan dengan Fadil yang dianggapnya sebagai teman yang baik.

"Loh, siapa tahu jodoh, loh kalian," ujar Nida sambil mengedipkan mata ke Fadil. Laki-laki berkulit bersih itu tertawa.

"Halah, DILARANG CINTA LOKASI di sini," kata Asyifa sambil menata makanan di meja. Ia sengaja menekankan kata dilarang cinta lokasi agar terdengar oleh Ridhanu.

"Betul itu, nggak boleh cinta lokasi!"

Ridhanu tiba-tiba muncul di sebelah Asyifa. Laki-laki itu melirik Asyifa yang tengah tersentak.

Asyifa mendadak terdiam. Suasana hatinya menjadi sedikit berantakan.

Faris dan Nida terbahak melihat ketua dan sekretaris yang kompak menyuarakan peraturan antimainstream tersebut. Sementara itu, Fadil kembali merasakan suasana yang tidak biasa antara Ridhanu dan Asyifa.

"Hati-hati, nanti cinlok kalian berdua ini," ucap Faris sambil mencicipi tempe goreng.

"Parah, kalau sampai mereka cinlok, Kak," sahut Nida. "Bisa kena senjata makan tuan, tuh, Pak Pres."

Ucapan Nida membuat Faris tergelak. Mereka tidak menyadari bahwa obyek yang menjadi sasaran ledekan terlihat sama-sama terkejut. Pipi Asyifa mulai memanas. Ia hanya tertunduk kikuk, sedangkan Ridhanu tidak menghiraukan ucapan tersebut. Ia malah melangkah menuju ruang depan.

"Sini aku bantu, Asyifa." Fadil mendekat ke arah Asyifa. Mereka pun mulai menata makanan bareng-bareng. Fadil sesekali melirik Asyifa. Pertanyaan di kepala rasanya ingin sekali diutarakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro