Enam Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Makan siang pun telah dilaksanakan dan berjalan dengan sukses. Tidak ada kritikan untuk menu yang disajikan. Beberapa orang malah memuji masakan ibu Asyifa.

"Masakan anaknya enak gini apa enggak ya?" tanya Faris iseng.

"Beda tipislah," jawab Asyifa santai. "Besok pagi silakan dibuktikan."

"Awas ya kalau nggak bisa dimakan."

"Iyaa tunggu besok."

"Ayo buruan makannya yang belum selesai ini. Kita segera mulai raker." Ridhanu mulai memberi instruksi.

Sesuai rundown acara, setengah jam lagi, rapat kerja akan dimulai. Asyifa mulai membereskan semua piring kotor dan menaruhnya di tempat cuci. Ia tidak sendirian. Fadil dengan sigap membantu pekerjaannya.

"Asyifa bisa masak?"

"Bisalah, Kak. Kalau lagi di rumah. Di kos malah nggak pernah masak. Tergantung kondisi dapur, sih."

"Loh, kenapa?"

"Dapur di rumah lebih lengkap. Di kos terbatas banget, cuma ada kompor sama panci. Jadi males masak mending beli makanan matang, hemat."

"Wah, kapan-kapan aku main ke rumah Asyifa, ya. Pasti masakan putrinya nggak jauh beda sama ibunya. Lezat!"

"Bisa aja. Ya, masih bisa dinikmatilah, Kak." Asyifa terkekeh sambil membilas piring. Kemudian, Fadil ikut membantu menata.

"Bukan masak Indomie aja kan?" goda Fadil.

"Wah ... penghinaan ini." Asyifa menghentikan aktifitasnya. Ia menatap Fadil dengan bombastic side eyes.

Fadil tertegun, lalu terdengar tawa dari Asyifa. Mereka berdua pun terbahak bersama.

"Permisi." Ridhanu muncul di antara mereka sambil membawa piring kotor. Asyifa pun menghentikan tawanya.

"Oh, iya, tolong disiapkan pembukaan rakernya, Pak. Faris sudah siap di depan."

Fadil mengiyakan permintaan Ridhanu. Ia pun meninggalkan mereka berdua di tempat cuci piring. Mata laki-laki alumni pesantren itu masih terus menatap Asyifa yang berubah menjadi diam, tidak seceria tadi saat bersamanya. Kecurigaan semakin mengerucut dalam pikirannya.

"Sini piringnya," pinta Asyifa tanpa menatap Ridhanu.

"Nggak usah, aku bisa nyuci sendiri."

Asyifa manggut-manggut. Ia lalu memundurkan langkah, mempersilakan Ridhanu untuk mencuci piringnya sendiri. Tidak lama kemudian, ponsel Asyifa berdering. Ada panggilan masuk dari Bima.

"Assalammualaikum, Kang. Kenapa?"

............

"Yang masak Ibu, dong. Pasti Akang ngiler bayangin sambal teri Ibu. Iya, 'kan? Lap ilernya dulu," ledek Asyifa seraya terbahak.

................

Ridhanu melirik sekretarisnya itu. Rona bahagia membuat gadis itu terlihat lebih manis di matanya.

"Akang ini nggak pernah ngakuin aku bisa masak. Heran, deh. Udah dibilang aku ini calon istri yang baik," ucap Asyifa sambil berbalik. Ia terkejut melihat Ridhanu tengah menatapnya. Gadis itu segera keluar dari dapur menuju halaman belakang.

Calon istri?

Ridhanu mengangkat bahu, kemudian melanjutkan membasuh tangannya yang masih terkena sabun.

***

Malam semakin beranjak. Udara di dalam vila semakin menusuk. Asyifa terbangun, kemudian membetulkan posisi kain sarung Bali yang tertarik ke atas hingga membuat betisnya kedinginan. Kain tipis itu tidak mampu lagi menghangatkan tubuhnya yang sudah berlapis jaket tebal. Asyifa menyesal karena tidak mendengarkan saran Hana untuk membawa selimut. Gadis itu mencoba mencari posisi tidur yang nyaman agar mampu memejamkan mata kembali. Nihil, matanya semakin benderang, tidak ada rasa kantuk sedikit pun yang menyerang.

Asyifa mengambil telepon genggam yang berada di atas meja. 02.45 WIB. Masih belum subuh, tetapi dirinya sudah tidak bisa tidur lagi. Gadis itu pun memakai kacamata lalu membuka novel Rindu yang dipinjami Fadil. Buku tebal itu belum sempat dibaca satu paragraf pun. Asyifa mulai membaca bab pertama.

Belum juga dapat satu halaman, Asyifa mendengar pintu kamar mandi yang terletak di sebelah kamarnya dibuka hingga menimbulkan suara seperti membentur dinding. Gadis itu terperanjat. Tiga teman cewek di sampingnya masih tertidur pulas, tidak tampak reaksi terkejut mendengar benturan tadi.

Jantungnya berdetak semakin kencang, pikirannya membayangkan hal yang tidak-tidak.

Penunggu vila ini mungkin? Asyifa menutupi wajahnya dengan sarung Bali.

"Huek!"

Asyifa menyingkap kain berwarna merah muda itu. Telinganya menangkap suara orang sedang muntah.

"Masa ada hantu muntah?" gumamnya lirih.

Rasa penasaran semakin menyelimuti. Segera dikenakannya kerudung instan berwarna hitam. Ia pun memberanikan diri membuka pintu kamar. Suara muntahan terdengar semakin menyiksa telinga. Ia tidak bisa jika melihat orang muntah bahkan sekedar mendengar saja. Tubuh Asyifa seketika gemetar.

Asyifa tergemap saat melihat jaket yang sangat dikenalinya. Punggung sosok berjaket merah itu naik turun, tangannya terlihat memijit tengkuk.

"Mas Ridhanu?"

Telunjuk Ridhanu menunjuk ke arah tengkuknya sendiri saat mendengar sapaan Asyifa. Gadis itu malah bergeming, bingung dengan apa yang harus dilakukannya.

"Tolong ... pijit."

Asyifa bergegas mendekat. Bau busuk muntahan membuatnya menjadi mual. Ia pun menutup hidungnya dengan kerudung. Antara iya dan tidak, akhirnya Asyifa memberanikan diri menyentuh kulit Ridhanu. Rasa mual berganti dengan detak jantung yang berpacu lebih cepat. Ia merasakan tubuhnya menjadi lemas.

Tidak lama kemudian, Ridhanu bangkit dan menyiram muntahannya. Asyifa berdiri di belakang, menatap sang ketua dengan iba.

Ridhanu berjalan sempoyongan. Ia hampir saja terjatuh. Isi perut sudah terkuras habis. Wajah laki-laki itu tampak pucat.

"Mas, istirahat di sofa bawah aja, ya? Aku buatin teh panas."

Ridhanu mengangguk sambil berjalan menuruni tangga. Asyifa ingin sekali memapahnya. Namun, ia tidak punya nyali untuk melakukannya.

"Dingin, Syif," ucap Ridhanu lemah seraya merebahkan tubuhnya di sofa.

Ridhanu tampak menggigil. Asyifa mulai panik. Ia menyentuh telapak kaki Ridhanu, dingin dan terlihat pucat.

"Sebentar, aku ke atas dulu."

Asyifa meninggalkan Ridhanu yang terbaring sambil meringkuk di sofa panjang ruang tamu. Tidak lama kemudian derap langkah kaki Asyifa terdengar menuruni tangga. Ia membawa sarung Bali, kaos kaki, minyak telon, dan obat herbal untuk masuk angin.

Ridhanu sudah tidak kuat lagi untuk membuka mata. Ia pasrah saat Asyifa memasang kaos kaki dan membaluri perutnya dengan minyak telon. Pun, saat kain berwarna merah muda itu menutupi tubuhnya.

Asyifa menarik napas panjang. Ia cukup khawatir dengan kondisi Ridhanu. Sejenak, ditatapnya wajah yang pernah membuatnya bertigkah sedikit gila itu. Asyifa menutup wajahnya dengan telapak tangan saat mengingat kejadian tersebut. Gadis itu segera menuju dapur untuk membuat teh panas.

Tidak lama kemudian, Asyifa kembali dengan segelas teh manis dengan asap yang masih mengepul. Ia ingin membangunkan Ridhanu tetapi laki-laki itu tampak pulas. Asyifa pun mengurungkan niatnya. Teh panas diletakkannya di meja samping sofa.

"Aduh ... perutku sakit banget." Ridhanu mengaduh sambil memegang perutnya. Bibir laki-laki itu semakin pucat.

"Kenapa, Mas? Sakit seperti apa? Mual?" Asyifa tidak jadi beranjak.

"Nggak tau, sakit banget. Seperti ...." Ridhanu menggantung kalimatnya.

Asyifa mengernyit, menunggu kelanjutan ucapan Ridhanu. "Seperti apa?"

Ridhanu bergeming. Wajahnya masih tampak menahan sakit. Asyifa pun mengambilkan teh panas yang mulai menghangat.

"Minum teh dulu."

Asyifa menyerahkan gelas yang berisi teh ke hadapan Ridhanu. Namun, laki-laki itu malah menatapnya. Asyifa pun menundukkan pandangannya.

"Tolong minumkan, nggak punya tenaga buat megang, Syif."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro