Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Asyifa mengerjapkan mata mendengar permintaan Ridhanu. Ia hanya terdiam karena bingung harus bersikap seperti apa.

"Aduh, kok bisa sakit gini." Ridhanu terus merintih. Ia lalu menoleh ke arah Asyifa yang masih tertegun. "Syif."

Melihat wajah pemuda di hadapannya kesakitan, Asyifa tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan sang ketua. "Oh, iya iya. Bisa agak duduk nggak? Takut tumpah kalau rebahan."

Ridhanu pun sedikit menegakkan punggungnya. Asyifa menghela napas sebentar sebelum mendekatkan ujung gelas ke bibir laki-laki yang usianya satu tahun di atasnya itu. Tangannya masih gemetar. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.

"Ada gempa ya, Syif?"

"Eh, nggak ada, Mas," jawab Asyifa sambil menautkan kedua alis. Keadaan di sekitar sepertinya aman saja.

"Kok, gelas ini goyang terus, ya?"

"Aduh."

Asyifa menggigit bibir. Ia tidak bisa menyembunyikan kegugupan itu. Pipi Asyifa memanas, ia langsung menundukkan wajahnya. Malu!

"Sini, sini."

Ridhanu terkekeh pelan sembari meraih gelas dari tangan sekretarisnya itu, kemudian diminumnya hingga tandas.

Asyifa meremas tangannya yang dingin. Ia merutuki diri kena bisa-bisanya membuat malu diri sendiri di hadapan laki-laki yang pernah berusaha ia curi hatinya.

"Terima kasih, tehnya manis," ucap Ridhanu sambil tersenyum.

Kedua pasang mata itu saling bersirobok. Hati Asyifa bergetar. Ia mengangguk sambil tersenyum canggung.

"Sama-sama."

Ridhanu kembali mengaduh. "Kok, masih sakit, ya?"

"Boleh aku periksa perutnya?" tanya Asyifa memberanikan diri. Ridhanu mengangguk sambil meringis.

Asyifa meletakkan telapak tangan kirinya di atas perut Ridhanu. Ia coba memastikan tangannya tidak gemetar lagi. Memang sudah sedikit santai. Asyifa kemudian memukul punggung tangan dengan telunjuk. Terdengar suara khas perut kembung.

"Ini sih, masuk angin, Mas."

"Kata dokter kalau nggak masuk angin, bisa mati, Syif."

Asyifa melirik Ridhanu dengan tatapan tajam. Bisa-bisanya kesakitan masih bisa bergurau.

"Kembung maksudnya. Nggak bisa buang angin, ya?"

Ridhanu mengangguk sambil menutup separuh wajahnya dengan sarung Bali. Laki-laki itu tersipu, ekspresinya membuat Asyifa terkikik.

"Tuh, kan, aku diketawain."

"Lucu, sih." Asyifa tertawa kecil. Ia mulai menyadari tentang komunikasi yang baik saat ini di antara dirinya dan Ridhanu. Hal yang tidak pernah terlintas dalam angan. Laki-laki es itu seolah sudah mencair.

"Diapain ya biar nggak sakit?"

"Mas nggak tahan sakit, ya?"

"Tahan, kok," jawab Ridhanu cepat. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan perempuan.

Asyifa tersenyum penuh arti. Wajah Ridhanu tidak bisa bohong jika tidak bisa menahan sakit.

"Bentar, aku buatin kompres panas dulu."

"Loh, aku nggak demam."

Asyifa berdecak lirih. "Tunggu aja bentar."

Asyifa mengambil botol kecil bekas air mineral dan mengisinya dengan air panas. Sebelumnya diisi dengan sedikit air dingin biar tidak meleleh.

"Permisi, Mas." Gadis itu meletakkan botol tersebut di atas perut Ridhanu.

"Oh ini kompres."

Laki-laki itu kembali pasrah dengan apa yang dilakukan sekretarisnya itu. Ia ingin segera terbebas dari rasa menyakitkan itu.

Tiba-tiba, Ridhanu berseru. "Asyifa! Tutup telinga!"

Asyifa menoleh sambil mengernyitkan kening. "Apa, Mas?"

"Tutup telinga sekarang!"

Suara yang lumayan keras keluar dari bagian bawah tubuh Ridhanu. Asyifa melonjak kaget.

"Ini, sih, bukan tutup telinga kali, Mas! Tapi hidung!" pekik Asyifa sambil menutup hidung dan bergerak menjauh dari Ridhanu.

Ridhanu tergelak sambil menangkupkan kedua telapak tangannya. Ia akhirnya bisa sedikit bernapas lega setelah mengeluarkan udara beraroma tidak sedap itu. Dirinya tidak peduli dengan rasa malu. Terpenting bisa bebas dari sakit.

Asyifa tidak sanggup menahan tawanya. Ia mengacungkan jempol ke arah Ridhanu. "Udah lega? Tidur lagi, aja. Subuh masih lama."

"Iya, ampuh itu kompresnya."

"Tetap taruh di atas perut."

"Oke. Ilmu dari mana kayak gini? Aku baru pertama kali dikompres botol dengan air panas. Seumur hidup belum pernah." Ridhanu keheranan sendiri. Asyifa kreatif juga.

"Oh, ini diajarin Kang Bima," jawab Asyifa santai.

Ridhanu manggut-manggut. Ia lalu memperbaiki posisi botol di atas perut.

"Aku balik ke kamar dulu, Mas."

Asyifa bersiap kembali ke kamarnya setelah memastikan kondisi Ridhanu sudah jauh lebih baik.

"Asyifa ...."

Asyifa menghentikan langkah, kakinya sudah berada di atas anak tangga paling bawah. Ia menoleh ke arah Ridhanu yang menatapnya lekat. "Iya, kenapa lagi, Mas?"

"Teh manisnya masih ada?"

"Ada, sebentar aku ambilkan lagi." Asyifa kembali ke dapur. Sesaat kemudian, teh hangat sudah terhidang di atas meja ruang tamu. Ridhanu pun segera menyesap minuman itu hingga habis.

"Ada yang dibutuhkan lagi?" tanya Asyifa yang dijawab dengan gelengan kepala Ridhanu. "Ya udah, aku ke atas dulu."

"Oke."

Hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Ridhanu. Asyifa menarik napas kemudian menganggukkan kepala pelan. Rasa kecewa menyelinap dalam hatinya. Ucapan terima kasih tidak juga terdengar saat dirinya memutar tubuh untuk melangkah menuju tangga. Terkesan pamrih. Namun, Asyifa menginginkan kata ajaib itu meluncur dari bibir Ridhanu untuknya saat ini.

"Syif."

Baru dua anak tangga ia naiki, suara Ridhanu terdengar lagi. Asyifa menghentikan langkah. Kemudian, ia menoleh. Ridhanu tengah menatapnya, sorot mata itu seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Iya, ada apa lagi, Mas?"

"Em, terima kasih atas semuanya."

"Sama-sama." Asyifa tersenyum. Hatinya kembali menghangat. "Semoga cepat sehat."

Ridhanu menganggukkan kepala. Bibirnya membentuk lengkungan, sebuah senyuman yang mampu membuat hati Asyifa seolah berada di kebun bunga. Baru kali ini laki-laki itu memberikan senyum termanis kepadanya. Gadis itu pun bergegas menaiki tangga, ingin segera menetralkan degup jantung yang terpompa lebih cepat.

"Asyifa."

Tiga anak tangga baru terlewati, langkah Asyifa pun kembali terhenti. Ia menarik napas panjang, tubuhnya terasa lemas.

"Iya ...?"

"Eh, enggak ada apa-apa. Selamat tidur."

Asyifa membulatkan mata, mengembuskan napas, kemudian tersenyum ke arah Ridhanu. Laki-laki itu membalas dengan memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. Asyifa segera memacu langkahnya kembali.

Ridhanu menarik kain merah muda itu untuk menutupi tubuhnya. Keringat sudah mulai keluar, perlahan dirinya pun kembali tertidur pulas. Namun, hal yang berbeda terjadi pada Asyifa. Ia berusaha kuat memejamkan mata. Bukannya mengantuk, yang ada kejadian tadi terputar begitu jelas dalam pikirannya. Gadis itu terus saja menyunggingkan senyuman. Dini hari ini hatinya serasa dipenuhi bunga-bunga bermekaran.

Aaaaaaa. Kenapa kayak adegan di drakor?

***

"Loh, Pak Pres! Kok tidur di sini?" Faris menepuk bahu Ridhanu yang masih terlelap di atas sofa.

Ridhanu menggeliat, ia mengucek matanya. Teman-temannya sudah berada di ruang tamu. "Sudah pagi, ya?"

"Ini mau salat Subuh, cepetan wudhu, Pak," jawab Fadil sambil membenarkan lengan baju koko yang tergulung. Namun, sudut matanya menangkap kain merah muda yang dipakai Ridhanu. Ia tahu siapa pemilik kain itu.

Ridhanu beranjak sambil membawa sarung. Saat akan menaiki tangga, ia berpapasan dengan Nida yang sedang turun.

"Apa-apaan ini, Mas?" tanya Nida sambil memperhatikan Ridhanu dari ujung kepala sampai kaki.

"Emang kenapa, Nid?"

"Badan bau minyak bayi, kaos kaki pake punya cewek ada jempolnya, warna ungu pula. Terus ini, sarung pink. Haduh, melow amat dirimu."

Ridhanu memandang kaos kaki dan sarung yang ia bawa. Semua yang ada di ruang tamu menatapnya. Seketika, mereka tergelak. Laki-laki itu bergegas menuju kamar. Hanya dua orang di ruang tamu yang diam tanpa senyuman. Rona merah kembali menghiasi pipi gadis berwajah manis tersebut. Sementara Fadil, menatap Asyifa penuh tanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro