Line 8 | Friends, Family

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.

.

.

LINE 8

Friends, Family

.

.

.

Sophia berjalan meninggalkan perpustakaan beberapa menit setelah pemuda bermata hitam itu menolaknya mentah-mentah. Ia beberapa kali menghela napas keputusasaan. Ia tak bisa selamanya tinggal bersama dengan Iris, bisa-bisa wanita itu menjadi korbannya yang lain, sama seperti Aida.

Perasaan bersalah Sophia semakin membesar. Ia kembali teringat dengan desa pertama yang ia tinggali setelah kematian paman dan bibinya. Umurnya yang baru tujuh tahun saat itu, tetapi ia sudah menyebabkan kematian massal di desa itu. Ia jadi teringat dengan teman masa kecilnya.

Sophia terus berjalan, membiarkan kakinya memilih tujuannya sendiri sementara matanya memilih untuk memperhatikan jalan yang terbuat dari batu. Setelah 19 tahun hidupnya, apa ia masih diperbolehkan untuk hidup setelah secara tidak langsung membunuh puluhan bahkan ratusan orang di sekitarnya?

--Kalau begitu, untuk apa aku hidup sampai saai ini?

Sophia menghentikan langkah kakinya saat ia mendapati dua pasang sepatu berhenti tepat di depannya. Ia mendongak dan menangkap adanya dua pria berbadan besar dan bermata serigala yang menghadang jalannya. Sophia mengernyitkan alisnya heran.

"Permisi, kalian menghalangi jalanku," ucap Sophia sopan, tetapi kedua pria besar itu tak menyingkir dari hadapan Sophia. Gadis itu menatap mereka tajam dan memilih untuk mengalah dan mengambil jalan lain.

Kedua pria itu lagi-lagi menghalangi jalan Sophia, padahal gadis itu sudah memilih jalan lain, "Hey, apa mau kalian?! Menyingkir dari hadapanku!" Sophia semakin kesal saat pria-pria itu terus menghalangi jalannya.

Sophia menggerutu. Ia kemudian membalikkan badannya dan memilih jalan lain lagi. Baru saja melangkah, Sophia sudah kembali menghentikan langkahnya. Mata hijaunya terbelalak saat ia kembali mendapati dua pria berbeda yang berdiri di hadapannya.

Seharusnya Sophia segera mengetahui hal ini setelah ia melihat mata serigala itu. Ia berpikir bahwa takdir sedang mempermainkannya saat ini. Ia tersenyum canggung sembari mencoba mencari celah untuk lari. Ia tak bisa berteriak meminta tolong di jalan sempit dan sepi seperti ini.

"Pemisi, tuan-tuan, kalian menghalangi jalanku." Sophia mencoba mengulur waktu sembari terus mencari jalan keluar. Ia berjalan mundur saat pria di hadapannya berjalan mendekatinya. Sophia mendadak membeku. Ia tersadar dengan pertanyaan yang sempat ia tanyakan pada dirinya sendiri.

Untuk apa ia hidup saat ini?

Mungkin ini saatnya ia membiarkan takdirnya mengalir, ia bisa saja menyerahkan dirinya pada pria-pria itu dan menjadi bagian dari manusia serigala, serta hidup 'bahagia' selamanya.

Sophia menyadari jika badannya mulai bergetar ketakutan. Ia mencengkam erat pergelangan tangan kirinya. Mana yang harus ia pilih? Melawan dan tetap hidup meski vampir dan manusia serigala mengejarnya atau menyerahkan diri dan hidup 'bahagia' selamanya? Sophia menatap tajam pria-pria di hadapannya. Matanya mulai memanas.

--Masa bodoh dengan hidup 'bahagia'! Aku hanya mau hidup bebas!

Sophia membalikkan badannya ke sebelah kiri, ke arah gang kecil di serong kirinya. Gadis dengan pita oranye di rambut kepangnya itu mencondongkan tubuhnya sedikit agar dapat melaju dengan lincah, terlebih lagi pria-pria itu sudah bersiap menangkapnya. Ia bergerak semakin cepat.

Sophia ingin hidup bebas. Seperti yang ia katakan pada pemuda bernama Raven tadi. Ia tidak ingin hal itu menjadi omong kosong belaka, ia ingin membuktikannya, sekalipun pemuda itu tak tahu.

Sophia terus berlari, melompati sampah-sampah dan ombrotifi berwarna keruh yang tak jarang menyembur saat Sophia secara tidak sengaja menginjaknya. Tak ada waktu untuk menoleh ke belakang, lagipula jalanan di depannya tak semulus yang ia harapkan, terlalu banyak benda-benda yang dapat mengganggu laju larinya.

Whuss.

Sophia merasakan ada sesuatu yang lewat di atas kepalanya. Ia mendongak dengan cepat dan terbelalak saat ia mendapati seekor serigala lompat tepat di atas kepalanya. Sophia secara mendadak segera menghentikan langkahnya sesaat setelah serigala itu mendarat beberapa meter di depannya.

Sophia membalikkan badannya, di sana masih ada pria-pria berbadan besar. Stamina mereka tampaknya masih penuh dan tak berkurang sedikitpun, berbeda sekali dengan Sophia yang bahkan sudah terengah-engah tak karuan. Rasanya Sophia ingin berhenti saja!

Sophia menoleh ke sana-ke mari untuk mencari jalan keluar sementara pria-pria dan seekor serigala terus mendekati Sophia secara perlahan. Mata emerald Sophia tertuju pada tumpukan balok kayu yang tingginya sampai dua meter.

Sophia dengan cepat memanjatnya dan melompat naik. Keempat manusia serigala itu menoleh dengan cepat ke arah Sophia yang sudah melompat turun dan mendarat dengan indahnya.

Dalam waktu sesingkat itu, Sophia sudah berhasil lolos dari kepungan manusia serigala. Ia dalam hati memuji kemampuannya di saat-saat terdesak seperti tadi. Ia terus berlari sampai matanya terbelalak saat ia mendapati seutas tali dengan pemberat di ujungnya melilit betis kiri Sophia. Belum sempat ia terkejut akan hal tersebut, ia sudah—

Brakk.

—tersungkur di atas tanah. Setengah pakaiannya sudah basah karena genangan air kotor berbau tak sedap. Namun ia tak mempedulikannya, ia lebih memilih untuk meringis kesakitan daripada mengumpati bajunya yang kotor. Pandangan Sophia memburam, tetapi ia masih dapat mengetahui adanya cairan berwarna merah yang menetes dari dahinya jatuh tanah. Sepertinya ia terbentur batu saat ia tersungkur tadi.

"Seharusnya kau tadi tidak melawan, Nona," ucap salah satu dari manusia serigala itu. Suaranya terdengar berat dan membuat Sophia menoleh takut-takut. "Cepat bawa dia!"

Pandangan mata Sophia semakin lama semakin kabur, ia hanya dapat melihat serigala itu kembali menjadi seorang manusia dan mendekatinya bersama dua pria lain. Mereka mengikat Sophia, setelah itu Sophia tak melihat apapun. Ia hanya dapat mendengar suara samar-samar yang makin lama semakin menghilang.

---

Dok. Dok. Dok-dok. Dok-dok-dok.

"Tunggu seben-Akh! Apa yang kau lakukan?!" Kniga meringis kesakitan sembari menyentuh hidungnya yang baru saja terkena pukulan. Ia mengutuk si pengetuk pintu yang sudah membuat hidungnya memerah.

"Aw—Sorry, Kniga." Wanita berambut cepak itu menyengir.

"Jadi, apa yang membuat kalian kemari malam-malam begini, Sive, Iris?" Kniga berkacak pinggang dengan mata setengah terbuka. Ia baru saja tertidur dan kembali terjaga saat mendengar seseorang mengetuk pintu dengan terburu-buru.

"Apa kau lihat Sophia? Ia tidak kembali sejak tadi pagi. Aku dan Sive sudah mencarinya ke seluruh kota, tapi kami tak dapat menemukannya." Kniga dapat melihat raut khawatir di muka Iris.

Kniga menghela napas dan menggeleng, "Aku melihatnya terakhir kali saat kalian kemari. Dia juga tidak ada di sini saat ini."

Iris menunduk, ia mencengkram ujung gaunnya dengan erat. Bayangan-bayangan mengerikan mulai muncul dalam benaknya. Sive yang berada di sampingnya mendekatinya dan memberikan tepukan pelan di bahu gadis itu.

Iris segera teringat akan satu hal. "Apa Raven masih ada di sini? Aku ingin meminta bantuan padanya."

Kniga tahu apa yang akan dilakukan oleh Iris dan berpikir jika itu mungkin bukan ide yang bagus, tetapi Kniga mengangguk dan memberikan jalan pada Sive dan Iris. Mereka melangkah memasuki perpustakaan dan menuju kediaman Kniga. Kamar Raven berada di ujung lorong, pintunya tentu saja tertutup tetapi juga selalu tidak terkunci.

Kniga mengguncang bahu Raven dengan keras."Oi, cepat bangun!" Raven melenguh, pemuda itu tak membuka matanya barang sesentipun, ia bahkan tak segan-segan menarik selimutnya hingga menutupi mukanya.

Iris maju dan mengguncang bahu Raven pelan. "Raven, maaf mengganggu waktu tidurmu. Apa kau bisa membantuku?"

Ucapan Iris yang lemah lembut ternyata dapat membuat Raven terbangun, pemuda itu membalikkan badannya dan membuka matanya sedikit. "Apa yang membuat kalian berani mengganggu tidurku?"

"Kau punya penciuman yang tajam, maukah kau membantuku mencari sesuatu?"

Raven mengernyitkan alisnya dan mengubah posisinya dari yang awalnya tertidur menjadi duduk. Entah kenapa ia merasa jika ia seperti anjing pelacak walaupun ia tak menampik jika memang memiliki penciuman yang tajam, ia memang seorang keturunan manusia serigala murni. "Apa yang ingin kalian cari?"

"Sophia." Raven terkejut mendengar jawaban Iris. "dia sudah tak kembali sejak tadi pagi."

"Berapa bayaran yang akan kalian tawarkan?" Raven bertanya dengan wajah datarnya.

"K-kau meminta bayaran?" Iris tampak terkejut dengan pertanyaan Raven. Pemuda itu mengangguk mantap, tak ada keraguan di bola matanya. Tak sampai di situ, Raven bahkan memberikan tatapan seraya menganggap bahwa itu adalah pertanyaan paling bodoh yang ada di dunia.

Ada sesuatu hal yang mengganjal pada diri Raven, tak hanya itu, ia juga penasaran. "Apa yang membuatmu ingin mencarinya? Kau bisa menunggunya sampai besok, mungkin dia akan kembali nanti."

Iris terdiam sejenaj, lalu berkata, "Mana mungkin aku menunggunya sampai pagi! Bagaimana jika ternyata ia sudah tidak ada di kota ini? Bagaimana jika ada orang yang menculiknya dan memperlakukannya dengan kejam?"

Raven makin tak mengerti. "Begini saja, aku tak akan menagihmu, tetapi sebagai gantinya, aku ingin kau menjawab pertanyaanku." Iris meneguk air liurnya, ia merasakan adanya aura mencengkam dari dalam diri Raven. "Berapa lama kau mengenal Sophia?"

Iris mengernyitkan alisnya, ia pikir ini pertanyaan yang sukar. "Baru beberapa hari."

Raven kembali mengajukan pertanyaannya, "Apa kau tahu darimana dia berasal?" Iris semakin mengernyit bingung. Gadis itu menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Apa dia keluargamu?" Iris menggeleng. "Apa kau mengenal keluarganya?" Iris kembali menggeleng. "Apa kalian teman dekat?" Iris terus menggeleng, "Jika kau tidak tahu keluarganya atau dari mana dia berasal, atau dia bukan bagian dari keluargamu, dan bukan temanmu juga, untuk apa kau repot-repot mencarinya?"

Iris tersentak, tak hanya Iris, tetapi Sive dan Kniga pun sama terkejutnya. Gadis itu bingung mau menjawab apa, yang ia lakukan hanya membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara. Sekalipun ia membuka suara, mungkin saja ia tak akan ada kesempatan, karena Raven sudah berkata, "Apa kau merasa bertanggung jawab? Kau bahkan bukan keluarganya."

Iris tergagap. Sive yang sudah menganggap jika ucapan Raven itu terlalu berlebihan, menatapnya tajam dan hendak memberinya 'pelajaran', tetapi Kniga menahannya. Pemuda berkacamata itu akan turun tangan sendiri jika Raven memang bersikap lebih dari ini.

Iris menggenggam tangannya sendiri dengan erat. Ia menatap kedua jelaga milik Raven dengan tatapan campur aduk, sedangkan pemuda di depannya malah menatapnya dengan tatapan kelewat tenang. Kedua mata Iris terasa memanas.

Iris menarik napasnya dalam-dalam, ia memejam matanya erat-erat lalu berseru, "Memangnya apa salahnya jika aku ingin mencarinya! Masa bodoh dengan keluarga! Masa bodoh dengan teman! Mana mungkin aku membiarkan seseorang dalam bahaya! Aku hanya seorang manusia yang punya kepedulian!!"

Raven terkejut dengan jawaban Iris. Gadis itu dengan gerakan cepat berjongkok dengan kedua tangannya menutup mukanya. Ia menangis cukup keras. Ia bukannya menangis karena pernyataan Raven yang menyakitkan, melainkan kebenaran dari apa yang diucapkan pemuda itu.

Kepedulian?, batin Raven. Ia bangkit dari ranjangnya dan membuat tiga pasang mata mengikutinya. Pemuda itu meraih pedang yang terpajang di atas meja dan memakainya. Ia bahkan membawa senapannya.

"Raven, kau mau kemana?" Kniga bertanya pada Raven yang sibuk memilih mantel.

Raven menatap Kniga heran. "Apa maksudmu? Kalian yang memaksaku untuk mencari gadis itu, kan?"

Senyum mengembang di wajah Iris yang sudah terangkat, ia menatap Sive yang berdiri di dekatnya. Ia memekik senang dan melupakan fakta bahwa ia baru saja menangis. Iris bangkit dari jongkoknya dan mengikuti langkah Raven keluar dari kamarnya, diikuti dengan Kniga dengan Sive. Mereka mulai bersiap-sia untuk mencari Sophia.

.
.
.

To be continued

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro