blouse hitam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



[setelah konsultasi ke 2]

Pertama, jangan bosan bosan membaca cerita dengan latar belakang diandra dan kamarnya, diandra dan tidurnya, diandra dan tangisnya.

karena semua hal itu sudah menjadi teman-nya sejak setahun silam.

seperti biasanya, hari ini diandra membuka matanya pukul 12 dengan jantung yang terus berdetak kencang cemas.

cemas pada hari ini, apa yang datang atau apa yang akan terjadi. Saking cemasnya perempuan itu bisa gila dan menangis sendirian di atas kasur nya.

seolah olah masih mengantuk, diandra masih membawa selimutnya untuk berjalan ke arah ruang tengah untuk menyetel berita di televisi, lalu ia kembali berjalan ke arah dapur untuk merebus air hangat untuk teh siang ini.

Tidak ada jadwal konsul hari ini, dan sedikit mendung di luar sana.

hanya ada diandra dan kensunyian kamarnya,

diandra meminum segelas teh hangatnya pelahan sambil membawanya ke depan televisi, merebahkan dirinya disana sambil memeluk dirinya dengan selimut hangatnya.

tampa aba aba secara mendadak pandanganya gelap, cukup lama sebelum ia membuka kembali matanya.

kali ini dirinya tidak memegang segelas teh hangat di tanganya, dirinya dengan tinggi yang lebih pendek 7 cm sedang berdiri di tengah aula pendopo yang berada di sebuah hutan kecil yang sejuk.

pendopo di isi ramai banyak orang, sedangkan di bagian depan ia menghadap terdapat pangung kecil tempat dimana pria dengan mic nya masih berceloteh tentang suatu hal yang samar untuk di dengar. Sekitar pendopo kayu ini terdapat pohon pohon tinggi menjulang membuat cahaya matahari pun susah meraih cahayanya ke dasar tanah menapak.

diandra menoleh, melihat wajah perempuan yang berdiri di sebelahnya,  perempuan itu menatapnya dengan senyuman mengerikan yang pernah ia lihat. Iya, Perempuan itu adalah ibunya.

rambutnya sebahu, blouse hitam dengan rok pliskirt maroon beludru yang panjangnya hanya sebetis. Perempuan anggun itu mengembangkan senyum lebarnya.

"Bunda? Kita dimana?" tanya diandra dengan suara nyaris berbisik.

"kita di sekolah baru kamu"

perempuan paruh baya itu melangkahkan kakinya untuk berdiri dihadapan diandra, memblokir pandangan lurusnya. Lalu secara bersamaan tanganya mengusap lembut rambut diandra, perempuan itu berjongkok dengan anggun di hadapan diandra.

"mulai sekarang kamu sekolah sendiri disini, hidup disini sendiri, cuci baju sendiri, siapin buku sendiri"

air mata diandra mengalir perlahan disana, bagaimana ibunya memberi tahu informasi mengerikan itu dengan senyuman di wajah cantiknya? "aku gak mau"

"sayang, nama kamu sudah ada dalam list siswa"

bundanya mengeser tubuhnya sedikit, menoleh ke arah pangung yang memunggunginya, oleh karena itu diandra ikut menoleh pada object yang ibunya sedang perhatikan.

Pria dengan mic disana yang menjadi pusat seluruh manusia di pendopo ternyata sedang mengumumkan nama siswa yang berkesempatan bersekolah di sekolah sunyi ini dengan sistem paling kejam menurut dirinya.

Dalam runtututan nama siswa yang ia sebutkan, nama perempuan kecil itu masuk dalam listnya.

"Diandra Aleshya"

"Bunda tapi aku gak mau, aku mau sama bunda"

"sudah terlambat, kamu sekolah di bording school ya?"

bagi diandra yang belum tahu sistem bording school, ini adalah cara paling buruk memperkenalkan sistem pendidikan itu pada dirinya.

Ketika otaknya masih mencerna sistem sekolah yang lebih terlihat seperti "panti asuhan" baginya, secara bersamaan para orang tua mulai keluar dari pendopo, menyisakan anak seumuran dirinya berdiri dengan kaku di tempatnya.

bundanya berdiri, diandra mengengam erat rok bundanya. "Bunda, bawa aku pulang, aku janji gak nakal lagi"

bundanya tersenyum seolah mengatakan itu semua sudahterlambat, tidak ada kata maaf, tidak ada kata perjanjian lainya.

"Baju kamu udah ada di kamar baru kamu ya, udah bunda siapin"

"Bunda jangan buang aku"

"Belajar yang rajin ya, jadi perempuan yang mandiri"

ujar sang bunda pada gadis perempuan berumur 9 tahun. mandiri katanya.

seakan kakinya di paku dalam menuju bumi, diandra kecil hanya menangis tampa suara melihat pungung bundanya semakin menjauh, rambut sebahunya bergoyanh perlahan menjauhi pandanganya, langkahnya berjalan dengan yakin atas keputusanya.

Diandra disana berharap bundanya berbalik badan, mengurung niatnya, dan membawa kembali diandra pulang.

Namun hal itu tidak pernah terjadi, tidak akan pernah sekalipun ini sebuah mimpi.

Merasa terbuang, merasa terasingi, merasa tidak layak. diandra mengutuki dirinya yang selama ini terus melakukan hal nakal wajar anak umur 9 tahun dirumah, sehingga bundanya tega meninggalkanya disini,

Sendirian

Itulah manusia yang paling diandra sayangi sekaligus paling diandra aleshya benci.

Lalu perlahan pandanganya mulai menghitam kembali, kali ini tidak perlu lama untuk matanya bisa kembali terbuka dan melihat pemandangan yang nyata.

butuh tiga detik sebelum diandra sadar bahwa kejadian barusan adalah mimpi.

mimpi barusan lebih seperti rekayasa adegan ulang kejadian nyata masa kecilnya.

bersamaan dengan suara derasnya hujan turun, diandra menyenderkan badanya pada pungung sofa sambil kembali mengatur nafasnya, saat detak jantungnya dirasa mulai kembali normal,  ia terkekeh pelan.

"Lucu juga, mandiri ya?"

"mandiri..."

"berharap apa dia sama anak umur 9 tahun yang ngomong R aja masih keseleo?"


________



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro