Aktor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Pada awalnya, hal yang paling diandra takuti adalah kesendirian dan kesunyian yang tak berujung. situasi dimana perempuan itu harus berdiri sendiri tampa ada seseorang di sampingnya, tampa ada siapapun.

pada awal gejala gejala depresinya muncul, rasanya semuanya perlahan hangus, warna dunia dari sudut matanya, rasa bahagia yang selalu berada di hatinya, dan perasaan perasaan positif dari hatinya yang perlahan hilang terkikis begitu saja.

Lalu kesendirian dan kesunyian perlahan menjadi teman dekat dirinya, selalu dan menetap pada dirinya. Mau sekencang apapun kamu berteriak, mau pergi seramai apapun dia berada. Rasa kesendirian dan kesunyian itu akan tetap ada.

diandra sudah menduganya, kalau dirinya memang sakit, mentalnya yang sakit. pada 5 hari awal, diandra masih berharap ini semua hanya perasaan sementara, hanya rasa sedih yang wajar di alami manusia,

5 hari telah berlalu, 1 bulan telah berlalu, 3 bulan telah berlalu, hingga satu setengah tahun dirinya masih seperti ini, masih merasa semua kesedihan itu semua.

Kini yang ia kira awalnya perasaan sesaat malah telah menjadi satu dengan dirinya, sebuah kesatuan.

lalu saat tersadar bahwa ini tidak normal, barulah perempuan itu menuju tenaga prefessional, tapi siapa sangka kalau diandra diharuskan dirujuk ke rumah sakit besar?

dugaanya benar, ketika amplop coklat ditanganya menyimpan data penyakit penyakit mental yang ia derita, diandra hanya tertawa kecil, tertawa pada dirinya sendiri, semuanya terlalu lucu.

Dan pada hari dimana amplop coklat itu datang kepada tanganya, diandra mulai berfikir satu pertanyaan yang sampai sekarang ia masih tidak tahu jawabanya,

Sebenarnya, sejauh apa dia meninggalkan diandra yang dulu?


_________


[pertemuan ke 3]

Entah harus bereaksi seperti apa ketika diandra melihat ruang putih itu kosong, hanya ada sang therapist yang sedang melukis dengan ditemani kucing abu abu yang mengeliat manja di pangkunya.

Tidak ada adji, atau cezka dan ajun di mja bundar tengah ruangan.

padahal, ini sudah pukul setengah 12. Setengah jam sebelum berakhirnya sesi konsultasi kelompok ini. diandra masih berdiri di bibir pintu, mengecek tanggal pada kalender ponselnya.

"masuk, diandra" ajak sang therapist

"enggak salah tanggal kok, kamu datang pertama" lanjutnya

Diandra menghela nafas panjangnya, menaruh sepatu nya di rak sepatu sebelum menutup pintu ruangan putih itu perlahan.

kaki diandra perlahan membelah ruangan putih yang dipenuhi ornamen ornamen menenangkan, lebih terlihat seperti ruang main anak kecil dibanding ruang di dalam rumah sakit. Ada berbagai macam warna dan permainan disini, temboknya juga terukir gambaran indah.

"siang, kak"Sapa diandra, menarik kursi di meja ke arah sebelah therapist yang asik mengambar di dekat tembok kaca.

"hallo" sapanya balik,

"gambar apa kak?" Tanya diandra

sang therapist tersenyum kecil, "4 burung yang sedang.. meneduh?"

Diandra tertawa kecil, "maksudnya kita?"

"iya, kalian"

"Kalau gitu, boleh kasih pita ke salah satu burungnya? Aku mau di gambarin diri aku burung yang terdapat pita merah di atasnya" kata diandra sambil menunjuk sketsa kasar burung yang belum di sentuh warna.

kak therapist menganguk mengerti, "baik, pita merah seperti pesanan akan di buat"

pandangan diandra teralihkan pada seekor kucing abu abu yang sedang menatapnya dengan mata binarnya, ekor panjangnya bergerak kesana kemari di pangkuan kak therapist.

"Halo num" sapa diandra

Iya, nama sang kucing adalah Num. jika kalian bertanya nama panjangnya, numnun. tidak ada alasan namanya itu, katanya kak therapist hanya suka memanggilnya "num"

"hallo juga kak ra" balas kak therapist dengan suara yang di buat imut.

"num bagaimana harinya?"

"Hari num damai kak ra seperti biasanya. Tidur makan lalu mengikuti kakak mengambil cat di gudang, kadang num memperhatikan burung di pohon depan kak ra. bagaimana hari kakak ra?"

diandra mengelus kepala kucing abu abu itu dengan perlahan, "sama seperti num, seperti biasanya"

"Num senang melihat kak ra"

Senyum diandra luntur seketika, "num jangan sayang sama aku ya? Nanti sedih kalau aku tinggal"

"Num akan selalu ikut sama kak ra"

kucing abu abu itu secara tiba tiba berdiri dari tidurnya, bergerak maju ke arah pangkuan diandra, seperti berpindah tempat tidur.

Kak therapist hanya mengeleng tidak percaya, "num kamu tahu aja ya, maunya di pangku perempuan cantik seperti kak ra rupanya?"

Diandra mengelusnya sambil memperhatikan kucing itu menyamankan posisi tertidurnya.

"belum ada yang datang kak?"

"adji sudah datang"

"Lalu?"

"pergi sebentar, membeli sesuatu"

"ohh"

"Cezka?"

"tidak ada kabar"

"Ajun?"

"ada urusan"

diandra menganguk, hanya dia seorang yang tidak memiliki jadwal apapun. setelah kemarin harus di buat pusing karena dirinya ke kampus mengurus banyak hal yang membuatnya lelah, kini ini adalah hari yang seharusnya sama seperti biasanya.

Menjengkelkan ketika tahu administrasi kampusnya dijaga oleh perempuan paling mengesalkan sepanjang waktu, hanya melihat mukanya saja diandra sudah malas ingin balik ke apartnya sesegera mungkin.

Oleh karena itu, diandra harus menangis terus menerus semalaman karena ketidak sempurnaan rencananya di kampus.

"diandra"

perempuan itu menoleh,

"kakak keluar sebentar ya? ambil makanan num di bawah, gak papa diandra di tinggal sendiri? Atau mau ikut kakak aja?"

diandra menganguk, "ada num, aku gak papa"

Sang therapist mengelus pucuk kepala diandra lembut, "jaga num ya, jangan sampai dia berulah"

kak therapist meninggalkan ruangan dengan cepat, diandra masih asyik bermain dengan num walau air matanya terus menetes mengingat dirinya masih dalam sebuah kegelisahan berkepanjangan.

num seolah tahu, dirinya pun semakin sibuk mengajak main diandra agar pikiranya teralihkan, tanganya berusaha meraih ujung rambut gelombang perempuan itu dengan semangat.

Ceklek

Eh? diandra kembali menoleh ke arah pintu, pikiranya bertanya tanya mengapa kak therapist bisa secepat itu mengambil makanan num di bawah? Namun pertanyaanya terjawab ketika Adji anoraga yang muncul di bibir pintu.

"hallo" sapanya

Diandra menyeka air matanya, "hallo"

"kak therapist dimana?"tanya adji

"Kebawah, ambil makan num"

"oh"

adji mendekat dengan membawa sekantong kresek sesuatu di tanganya. ia mengambil kursi lagi untuk dirinya duduk di sebelah diandra.

"eh ada num" kata adji, dirinya mencondongkan badanya untuk melihat num yang sedang asyik meraih rambut diandra.

"aduh num, jangan" keluh diandra ketika num berhasil meraih rambutnya, membuat cakar kecilnya menyangkut pada rambut diandra.

"Maaf" tangan adji secara tiba tiba mengumpulkan rambut diandra termasuk bagian yang num mainkan, lalu ia taruh di belakang pundak diandra, memastikan tidak ada helaian rambut lagi yang akan num mainkan.

diandra menoleh ketika mata coklat adji sedang menatapnya juga, akhirnya kedua mata mereka terpaut satu pandang di atas wajah num yang bolak balik memperhatikan mereka berdua.

"hm? ada apa?" tanya adji sambil tersenyum kecil, menaikan alisnya.

"oh enggak, aku kaget" diandra memutuskan pautan mata mereka.

"maaf tadi num takutnya rusak rambut kamu"

"iya gak papa"

"kemarin gimana ke kampusnya?"

diandra terdiam, membiarkan jarinya menjadi guling bagi num yang sedang ingin tertidur. "iya, begitu, selesai dengan cepat walau banyak halangan"

adji menganguk, "maaf kemarin saya kaget jadi tatapanya galak saat tahu kita satu kampus"

"iya, tatapan kamu galak"

"kamu kemarin nangis karena saya?"

"enggak, karena harus ke kampus"

"oh? Syukurlah, saya kepikiran sampai rumah takutnya kamu nangis karena ekpresi saya, maaf saya kemarin agak sulit memasang ekpresi"

diandra menoleh, lagi lagi mata milik adji masih menatapnya, sehingga pandangan mereka kembali terpaut.

"kamu gak salah, jangan minta maaf"

Adji terdiam, ekpresinya masih tenang seperti biasanya. "Oke kalau begitu"

"iya" balas diandra lalu kembali memperhatikan num.

"diandra"

"iya?"

"boleh lihat saya sebentar?"

diandra mendecih pelan, kembali menolehkan wajahnya, menatap bola mata coklat milih adji anoraga. Ia sedikit kesal dengan manusia yang harus lawanya menatap matanya ketika sedang mengobrol, oleh karena itu ekpresi diandra sangat jelas ketidaksukaanya disana.

"kamu suka bunga kan kalau gak salah?"

"kamu mau kasih aku bunga?" tanya diandra sarkas

"iya, boleh?"

"jawabanya, enggak. karena aku gak suka bunga, yang suka bunga itu aku yang dulu bukan aku yang sekarang"

"kalau gitu apa yang kamu suka?"

"tidak ada"

"satu hal saja?"

"kamu gak perlu susah susah cuman buat image kamu bagus di aku, karena aku gak peduli sama eksistensi kamu-cezka atau ajun, jadi bersikap normal aja"

"Saya tidak berniat membangun image bagus di kamu, Ra"

"Terlihatnya seperti itu"

"hanya terlihat seperti itu bukan berarti saya seperti itu"ucap adji tegas, ekpresi serta sikap nya yang tenang tiba tiba menghilang terganti ekpresi marah dan galaknya.

"lalu? Suka sama aku?" tanya diandra

lagi dan lagi,

ekpresinya berubah, ekpresi marah dan galaknya tiba tiba berubah menjadi pria tenang dan mudah tersenyum.

"kalau iya, gimana?" tanyanya

Orang gila. batin diandra. "Bipolar ya kamu?" Tanya diandra asal

"eh? bukan?"

"aneh, bukan bipolar tapi make banyak kepribadian" kata diandra, lalu perempuan itu bangkit dari duduk ya.

Si aktor sedang bingung memilih perannya.

_____

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro