ruang putih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng






"dari seluruh cerita yang kamu jabarkan, saya tidak melihat teman kamu dalam satu baris cerita ya?"

Seukir senyum sekilas terpampang jelas di wajah perempuan itu, "aku emang gak punya temen"

"gak punya temen atau kamu yang narik diri dari mereka semua?"

layaknya senapan yang melaju lurus tepat mengenai titik tengah, sindiran sarkas dari sang therapist disana yang tampak senang mengetahui dugaanya benar.

perempuan itu mengeleng kecil, "aku emang gak punya temen, mereka gak mau temenan sama aku"

"mereka bilang kaya gitu?"

"tindakan mereka yang bilang"

sang therapist menganguk nganguk sambil memainlan pulpen di jarinya, sejenak obrolan mereka berhenti.

keduanya sama sama menikmati angin rooftop yang menerpa badan mereka dengan lembut, menikmati pemandangan kota yang sangat menipu, terlihat megah dan ramai namun sejatinya itulah neraka yang sesungguhnya.

"Diandra, melihat dari konsul pertama kali kamu kesini, kamu tampak memisahkan cerita yang ingin kamu ceritakan dan cerita yang ingin kamu simpan. padahal seluruh ya itu berkaitan, sambung menyambung menjadi faktor faktor kuat pendukung kenapa kamu bisa seperti ini"

iya, Diandra Alesha Kendrani namanya, atau kerap di panggil diandra. perempuan berumur 19 tahun itu juga masih tidak percaya ia bisa berdiri di atas gedung rumah sakit jiwa dan sedang mengalami perawatan disini. Yang ia ingat pada hari itu, sembari hujan deras membasahi tubuhnya kakinya bergerak kaku ditengah jalanan kota, ia melangkahkan kaki ke dalam rumah sakit ini setelah ia pingsan 5 jam akibat menenggelamkan dirinya sendiri di bathup kamar mandinya. Entah keputusan tepat atau tidak, ia benar benar putus asa.

"Kamu butuh bersosialisasi, gak mau coba ikut perkumpulan seni?" tanya sang therapist

diandra mengeleng, "aku jadi agak menjauhi seni" ujarnya pelan

"untuk menjalani pengobatan ini, kamu harus tetap punya tenaga, karena kamu tipe manusia yang mengambil tenaga dari bersosialisasi maka sebuah matapetaka jika kamu hanya mengurung diri dirumah"

"aku kan udah bilang, aku gak punya temen"

sang therapist mengeluarkan sebuah pesawat kertas dari saku jaz dokternya, pesawat kertas yang tampak kucel dan lushh itu ia taruh di tengah tengah diantara mereka.

"mau saya buatkan sebuah kelompok kecil?

"maksud dokter?"

"kamu tau, perkumpulan kecil berisi orang orang yang sedang berjuang melewati hidup ini juga, mungkin dengan itu kalian bisa menguatkan dan di kuatkan"

Tawa perempuan itu pecah seketika, "jadi aku harus inget inget lagi masalah aku lagi terus di ceritain ke mereka? buat apa? Nyari simpati? ogah"

sang therapist hanya terdiam memandangi wajah perempuan itu dengan ekpresi datarnya, "kamu kan memang lagi butuh bantuan, jangan malu untuk minta tolong karena semua manusia tidak ada yang bisa hidup sendiri tampa meminta bantuan orang lain"

Diandra menyelipkan poninya dibelakang telinganya, ia tersenyum sekilas. "aku gak mau nyusahin mereka, lagian nih ya mereka aja punya masalah sendiri eh masih harus dengerin masalah aku? kayaknya itu nambah beban."

"lalu yang kita sedang lakukan ini apa?"

bibir perempuan itu terkatup rapat.

Sang therapist kembali membuka suaranya, "besok pagi pukul 9, kalau kamu mau dateng silahkan datang kesini"

topic soal perkumpulan kecil itu akhirnya berakhir, di ganti topic saran dari sang therapist yang mudah di lidah dan setengah mati susahnya saat di jalankan.

diandra yang pandanganya ke arah gedung gedung yang memiliki fondasi ratusan meter menancap pada tanah bumi, kini berganti menatap langit yang tampak cerah pada sore hari ini.

Tidak ada senyuman lagi di bibirnya, tidak ada mata binar lagi ketika melihat langit. rasa itu, sudah hilang entah sejak kapan.

ia jadi penasaran, bagaimana rasanya sebuah ketenangan?

____






Ddrrtttt

Drrrttt

Drrrrttttt

getaran ponsel yang berada di bawah bantal cukup kencang sehingga membuat kasur ukuran single itu ikut merasakan getaranya. Bahkan perempuan yang——entah bisa di bilang tidur atau bukan ketika pendengaran dan otak mu terus bekerja— sedang terlelap di kasurnya.

"ck." decihnya malas lalu mematikan alarm pada ponselnya.

matanya perlahan mengerjap, menatap pandangan yang tiap hari ia pandang, jendela yang masih tertutup gorden rapat rapat walau jam sudah menunjukan pukul 10 siang, cahaya matahari menyelinap masuk diantaranya, membuat debu debu kecil diudara tersorot cahaya dengan jelas.

lampu kamar yang masih padam, membuat cahaya dan suasana kamar sangat menyiksa untuknya,

Terlalu sepi, terlalu sepi sehingga otak nya yang terus berisik menunjukan menunjukan betapa beratnya hari ini masih bisa bernafas, sebuah anugrah yang dia kutuk.

Matanya layu, bibirnya kering pucat, tulang pupinya menonjol, rambutnya kering dan rusak. manusia tampa semangat hidup itu memandang jendela dengan ekpresi putus asanya.

Kondisinya tidak kalah buruk dari kakek kakek yang sedang skarat di ICU.

perempuan itu bangun dari tidurnya, terduduk di kasur sambil mengumpulkan nyawanya yang tinggal setitik, lalu berjalan ke arah kamar mandi sebelum perutnya memuntahkan makanan sisa tadi malam di atas karpet kamarnya.

wastafel di kamar mandi sepertinya hilang fungsi sejak 1 tahun silam, wastafel di kamar mandinya kini hanya berfungsi sebagai penampung muntahan nya setiap pagi dan sore, efek samping akibat maag yang di deritanya membuat asam lambungmya naik dan berteriak komplain atas hilangnya nafsu makan.

terlihat di pantulan cermin, tulang belikat yang menonjol, pundak yang tampak kering, tubuhnya benar benar kacau, rusak, hancur.

selesai memuntahkan segala isinya, perempuan itu mengelap bibirnya sambil memandang wajahnya pada pantulan cermin.

Dari jelek, dan semakin jelek. batinya lalu menghela nafasnya.

tangan kurusnya membuka lemari kecil yang menempel pada tembok di sebelah luasnya kaca, ada puluhan botol obat disana berjejer tidak rapih, 3 paling atasnya terdapat resep dokter. masing masing ia ambil dari 3 botol obat paling atas, sebuah pil, dan dua tablet.

entah kesialan apa lagi yang memulai pagi hari buruk ini, botol obat terakhirnya ternyata hanya bersisa satu butir, harusnya masih bisa bertahan sampai 3 hari lagi,

Namun ketika mengingat kembali kemarin kemarin malam, ketika dirinya mulai kembali cemas hingga membenturkan badanya pada dinding lalu meminum obat diluar batas wajar, sepertinya ia tahu alasanya

"Sial, harus ke sana lagi"

dia harus kembali kerumah sakit itu sebelum esok hari ia harus tersiksa kecemasan yang mencekiknya kuat kuat.

di hari sial itu, pertama kalinya diandra bertemu dengan 3 orang yang merubah hidupnya untuk sesaat.











Diandra Alesha kendrani






Cezka alsava Veninda






Pandji Juana Anoraga






Ajun pradana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro