Para Manusia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Suara gesekan pintu kaca yang berdecit nyaring membuat burung burung gereja yang sedang asik mencari dahan kering di balkon apartment diandra—terbang terbirit birit saking terkejutnya, beberapa ada yang menabrak tiang penghalang lalu ia kembali terbang menjauh dengan takut.

Disana diandra muncul, dengan keadaan yang sama seperti biasany—hidup namun tak hidup— memandang datar balkon apart nya yang mulai kusam akibat tumbuhan tumbuhanya mulai layu,

ada berbagai bunga indah dulunya hidup disana, sangat banyak dan berwarna warni seperti harapanya saat ia memulai hidupnya di kota ini, sebelum akhirnya mati perlahan terkulai.

Suara padat nya kota mulai memasuki telinganya, kepulan asap polusi bahkan terlihat jelas di atas jalanan dari posisi perempuan itu saat ini, ekpresinya yang datar kini berubah menjadi muram.

Terfokus pada tujuan awalnya, diandra menarik handuk dengan sekali sentakan yang ia jemur kemarin sore secara terpaksa. Biasanya diandra tidak sanggup untuk mencuci pakaianya, ia terlalu malas juga lemas untuk bangun dan melakukan semua effort itu, sehinga ia memilih menyewa laundry di lantai bawah apartment.

Setelah masuk ke dalam kamar nya yang gelap dan sunyi, ia kembali menutup rapat rapat pintu balkon tadi, tidak lupa menutup gorden disana membuat cahaya tidak sepenuhnya masuk.

Perempuan itu melempar handuk kering itu asal ke atas keranjang baju di depan kamar mandi yang sudah bersih, lalu ia menyambar setumpuk baju kotor yang terkena muntah nya tadi pagi untuk ia cuci manual.

Setelah menekan nekan tombol di mesin pencuci itu, dan memasukan pakaianya. Diandra perlahan duduk menyender pada tembok sambil memperhatikan mesin cuci yang mulai melakukan tugasnya, berputat sembari menampung air masuk kedalam sana.

perempuan itu termenung menatap pantulan dirinya pada kaca mesin cuci putarnya sambil sesekali memijat keningnya.

tidak ada yang beda, batinya.

lalu pandanganya menoleh ke arah pintu balkon yang selurus dengan tubuh sampingnya. Suara mobil dan motor samar samar terdengar dari posisinya.

suara ramai yang samar samar itu tiba tiba menjadi ramai akibat otaknya yang mulai bekerja menampilkan scanario terburuk pada hari ini, suara dalam otaknya bertumpuk berlomba pikiran jelek mana duluan yang harus di fikirkan, otaknya panas, hatinya menjerit meminta tolong untuk berhenti berfikir seperti ini, hatinya cemas sangat cemas membuatnya tampa sadar mengugiti bibirnya hingga berdarah, Kubu-kubu jarinya mendingin, badanya membeku, lidahnya kelu.

rasanya seperti jiwanya tertarik masuk dalam pikiran buruknya, lalu terjebak disana dalam ketakutan selamanya.

diantara kesunyian apartnya ini, perasaan cemas ini semakin parah, nafasnya mulai semakin berjeda walau detak jantungnya terus berpacu lebih cepat.

Dunia kini berjalan lebih lambat dari biasanya,

sebelum perempuan itu benar benar bangkit menuju kamar mandi dan kembali menenggelamkan dirinya di bathup, notifikasi di ponselnya membuat pikiranya teralihkan.

Ting!

Kak terapis is invite you to a group "teman baik"

kak terapis : gimana kabarnya semua?
kak terapis : jangan lupa pertemuan selanjutnya bawa bekal ya^^ ayo mulai di pikirin bawa bekel apa
kak terapis : kita makan siang bersama🤩

"loh? Masih di lanjut?" lirihnya pelan,





________




Kemarin.

diandra datang dengan ekpresi paling masam yang pernah dia punya, duduk diantara meja bundar bewarna coklat muda bermotif kayu yang menjadi hiasan ruang diskusi di rumah sakit itu.

Walau sudah terlambat sejam dari yang di janjikan, perkumpulan tetap dilaksanakan pada jamnya, lucunya juga hanya baru satu orang yang datang tepat waktu.

Namanya, Pandji Juana Anoraga. Diandra sedikit tidak asing pada kata terakhir pada nama pria itu, cuman semakin ia mengingatnya perasaan familiar itu semakin hilang.

rambutnya lurus, pada pertemuan pertama pakaian nya cukup rapih dan bewarna, wajahnya ramah sekaligus galak, jadi menurut diandra wajahnya itu memang galak namun karena pria itu tersenyum jadi ada kesan ramah juga disana.

bajunya mahal, dulu diandra juga aktif di bidang fashion, jadi dia cukup takjub melihat sepatunya yang buatan perancang ternama di london. oke, pria ini kaya.

diandra duduk di sebrangnya walau ada dua kursi diantara pria itu, diandra tidak mau duduk di sebelahnya, nanti ia terlalu terlihat seperti orang sakit.

"boleh lepas topinya ya diandra" kata sang therapist yang masih berkutat dengan dokumen kertas di atasnya pada mejanya yang tidak jauh dari meja bundar ini.

Diandra menurut, ia melepas topi juga maskernya dan berjalan sedikit ke arah pintu yang terdapat gagang tempat menaruh jaz atau baju luaran lainya.

sebelum duduk kembali di meja diandra mengambil satu buku novel di pojok ruangan yang terdapat lemari penuh dengan buku buku,

"suka baca?" Tanya diandra memecah keheningan

adji terlihat berfikir, "kadang kadang"

diandra menarik kursinya, "ohh" ujarnya, "mahasiswa?"

"ia"

"apa? Fk? Apa anak hukum?"

"hukum"

ada ekpresi terkejut pada raut muka adji yang takjub dengan dugaan diandra,

diandra tersenyum sinis sambil memulai membuka bukunya, "pinter ya?"tanya nya tampa menatap wajah pria barusan.

"enggak"

Perempuan itu mengengam ujung kaosnya dengan erat ketika matanya mulai berair dan tubuhnya di penuhi rasa iri, pikiranya mulai terbang lagi ke entah dimensi paling buruk dimana akan terjadi.

kali ini pintu ruangan kembali terbuka, pikiranya teralihkan.

pasien ke tiga, pria lagi, kali ini full hitam pakaianya, berbeda dengan adji, pria ini sangat menunjukan kalau dia memang pasien dirumah sakit ini.

ya, terlihat dari aura kehidupanya meredup.

"Ajun? gimana udah bantu nyebrang anjing di jalan?" sapa sang therapist

"iya" balas ajun singkat, menaruh jaket dan sendalnya dengan rapih di pojok ruangan dekat pintu masuk tadi.

"sini, duduk" ajak sang therapist

pria yang di panggil ajun itu duduk di kiri diandra, diantara perempuan itu dan adji.

"Adji, diandra, Ini Ajun pradana"

Ajun senyum simpul sambil menunduk ke arah adji dan diandra sekilas,

Terlihat jelas di matanya bahwa binar kehidupanya sudah hilang, kondisinya jauh dari diandra. melihat hal itu, diandra menjadi sedikit tenang.

"ajun, kalau ini Adji juana anoraga bisa di panggil adji"

"kalau ini diandra alesha, panggil aja diandra"

"Iya, hallo" kata ajun membuka suaranya

belum selesai perkenalan ajun itu, untuk terakhir kalinya pintu dibuka sangat kencang.

sangat kencang sehingga, tiga pasien disana memiliki respon yang sama, terperanjat kaget hingga membelak.

Perempuan dengan alis mengkerut serta coat coklat muda di tubuhnya, dirinya sedang menenteng sepasang sepatu(?) hal yang sangat membingungkan mungkin?

"CK!" Decihnya

"DUHHHH?! Hari sial!" Bentaknya marah

"Cezka" sang therapist dengan tenang, ia berjalan pelan ke arah wanita pemarah ini dengan senyuman hangat.

"sini lepas dulu coatnya"

"ck!" Entah keberapa kalinya wanita itu mendecih sebal.

"Cez"

"APAAASIHHHH!!"

"Sini saya bantu" kata sang therapist sabar, melepas coat cezka dari tubuhnya.

"itu kenapa sepatunya ditenteng?" Tanya sang therapist lagi

"Banyak tanya banget deh?! Belum juga duduk nih!"

diandra mengusap wajahnya lelah,

menghadapi dirinya sendiri aja sulit, kini harus menghadapi 3 pasien dengan keadaan yang kacau juga dengan dirinya.

diandra merasa ini adalah hari yang panjang.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro