Berada di tengah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng








Di atas ranting di pohon ceri pinggir jalan, sekumpulan burung gereja bergegas panik kesana kemari setelah suara klakson dari sebuah truck besar merah di bawahnya. Beberapa burung yang hinggap di bawah mengumpulkan daun kering di paruhnya, mereka bergegas menjauh ke atap atap ruko bangunan di sebelahnya.

diandra menatap pohon ceri yang lebat itu dari tempatnya, barisan pertama di belakang tanda lampu penyebrangan yang masih bewarna merah.

Perempuan itu menghela nafasnya, iba pada sekelompok burung itu yang harus tinggal di tengah kota yang penuh padat dengan manusia. Mengapa juga mereka harus tinggal disini jika mereka berkesempatan terbang di langit menuju hutan afrika atau daerah seperti kalimantan?

aneh, diandra kembali menatap jalan raya di hadapanya sambil kembali mengengam Totebag merah mudanya. sambil menunggu lampu tanda penyebrangan bewarna hijau menyala, diandra mengetuk ngetukan ujung sepatunya pada semen beton di bawahnya.

lagi dan lagi, rasa cemas nya seperti tidak akan membiarkannya santai dan bahagia sepertinya,

ingatan soal esok lusa ia akan kembali ke kampus untuk bertanya soal nilainya yang menurun membuat energi yang—sudah sedikik bahkan—dia kumpulkan sedari pagi mendadak hilang ditelan angin.

Tubuhnya menenang ketika otaknya kembali memproses scanario terburuk pada lusa, betapa menyeramkanya ia harus kembali ke gedung tua sendirian.

Nafas perempuan itu mulai tercekat seakan oksigen di sekitarnya menipis, jantungnya seperti tergores tipis tipis, tubuhnya benar benar melayang karena kesadaranya mulai menipis.

sebelum perempuan itu pingsan karena tampa dirinya sadar dia telah menahan nafasnya cukup lama, pria tua dengan satu gangang tongkat untuk membantu ya berjalan—mengengam tangan diandra dengan lembut.

Tangan keriputnya memberi rasa halus dan hangat pada tangan diandra yang kaku,

tampa kata kata,  pria tua ini menarik perlahan tubuh diandra untuk sesegera mungkin memulai menyebrang sebelum lampu penyebrangan kembali berganti pada warna merah.

Kali itu, dunia seakan memberi pesanta pada diandra yang sudah seperti seongok daging tampa jiwa,

ayo bertahan sedikit lagi, aku sedang mengirimkan orang orang baik untuk membantumu.






________



Seperti yang ditulis oleh psikiater Jerman Karl Jaspers, kecemasan adalah perasaan yang muncul seperti ini:

' tidak menyelesaikan sesuatu

yang harus mencari sesuatu atau

datang menjadi jelas tentang sesuatu'

ini sebenarnya yang diandra rasakan, kurangnya informasi dan kejelasan yang membuat dirinya resah dan terus memikirkanya, pemikiran rumit ini selalu berputar putar di kepala tiap detiknya sehingga membuat aktifitas normalnya terganggu. bahkan ketika tidak ada yang harus di cemaskan, perasaan ini akan selalu mencari object lainya untuk menjadi inang sumber mereka lalu terus berputar dikepala, entah hanya sebatas pintu geser di balkon belum tertutup rapat atau hanya kipas angin diruang tengah belum di matikan, pikiran pikiran dasar itu berkembang menjadi suatu hal yang mengerikan, sehinga terus menerus diandra akan terjebak dalam perasaan bersiaga atau tidak santai.

apalagi ini persoalan hal yang menjadi faktor utama dirinya bisa menjadi seperti ini.

seperti jiwanya hilang entah terbang kemana, tubuhnya hanya seperti boneka yang berdiri terpaku di pinggir penyebrangan jalan pada saat itu.

"sepertinya tadi pagi diandra sudah berbicara dengan eyang sugino ya?"

Fokus perempuan itu terpecah, wajahnya menoleh pada sang therapist yang ternyata sudah duduk di sebelahnya, mengajak nya berbicara.

"siapa?" Tanya diandra lagi

"Eyang sugino, tadi pagi punya obrolan ya sama beliau?"tanya sang therapist

diandra menelan ludahnya susah susah, "iya" katanya. "Eyang bantu aku nyebrang jalan tadi" lanjutnya

Cezka disebelahnya menatapnya aneh, hendak komplain soal mengapa pria tua yang jalanya harus nengunakan bantuan tongkat yang menjadi pemberi bantuan pada diandra?

namun komentar cezka harus tertahan akibat tatapan lembut dari sang therapist yang memberikan kode untuk diam.

"Saya rasa kalian semua sudah kenal eyang sugino ya?" Tanya sang therapist kali ini dengan memandang seluruh manusia diruang ini.

Adji menganguk, "pemilik rumah sakit ini ya?"

"Benar, beliau sudah membantu puluhan manusia yang terjebak dalam gelap" kata sang therapist

Pertemuan konsultasi kedua ini berjalan sedikit lebih baik rupanya, tidak ada mood cezka yang jelek, tidak ada tatapan galak ajun, tidak ada basa basi dari adji.

diandra menarik nafasnya dalam dalam sebelum akhirnya membuka mulutnya, "besok lusa aku gak bisa datang" ujarnya

Sang therapist menaikan alisnya bertanya,

"aku..ke kampus"

respon cezka menjadi tertarik, "wahh? Kuliah dimana emang?"

diandra menoleh tersenyum kaku, "di kampus 12 mei"

Cezka membelakan matanya lebar, "WOAAHH? KEREENN? KITA DEKETAN LOHH??"

"oia?"

"Iyaaa"

"kamu di 12 mei?" Adji di hadapanya menatapnya dengan serius, "12 mei? Kampus mana? Kampus A?"

diandra menganguk, "iya?"

Adji terdiam, ekpresinya yang selalu tenang dan senyum kini mendadak berubah menjadi marah dan bingung.

Melihat hal itu sang therapist berdeham pelan, "iya, adji dan diandra satu kampus ya?"

rasanya jantung diandra benar benar berhenti berdetak disana. Air matanya luber tak terbendung seketika menatap adji yang menghunusnya dengan tatapan marahnya.

atmosphere menurun drastis disana, berubah menjadi dingin diliputi aura ketengangan.

"kampus tuh sampah"

plot twistnya, ajun yang tampak tidak pernah tertarik pada obrolan kini melempakan sebuah kalimat yang ...tidak bisa di tebak?

cezka dan sang therapist mulai saling pandang.

Perlahan, alasan alasan disana mulai naik terungkap.





____




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro