RT_Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kenapa kayak kutub utara di sini, Shil?

Satu pesan masuk ke Whatsapp Ashila. Nomor yang tidak dikenal alias belum tersimpan.

"Siapa, nih?" Ashila mengerutkan kening. Ia lalu membuka profil pengirim. Ashila tersentak, foto yang terpampang adalah foto Kenzi saat wisuda.

"Kenapa, Shil?" Mona, teman sebelah kamar Ashila heran dengan raut teman baiknya itu. Mereka berdua tengah makan lalapan Ayam di kamar Mona.

"Bukan apa-apa."

Ashila kembali meletakkan ponselnya. Ia harus menjaga rahasia tentang statusnya yang sudah menikah dari siapa pun, termasuk Mona. Biarlah itu menjadi rahasianya sendiri. Ia pun kembali melanjutkan makan.

"Kamu pulang lama banget. Katanya cuma mau sampai acara resepsi tantemu kelar?"

"Hah?" Ashila terkesiap. Ia memang memberitahu Mona jika Tante Elma akan menikah. "Oh, itu ... anu ... masih ada acara keluarga, Mon."

"Kirain kamu ikut nikah." Mona tergelak. "Tapi sama siapa? Pacar aja nggak punya."

Ashila kembali mengerjap kaget. Mendadak ia menjadi gugup. "Ngawur aja kamu."

"Siapa tahulah. Kan, kamu nggak dibolehin pacaran. Jangan-jangan emang udah dijodohin, tuh."

"Uhuk! Uhuk!" Ashila tersedak begitu mendengar ucapan Mona yang valid.

"Minum cepet." Mona memberikan satu botol air mineral tanggung. "Jangan mau dijodohin, Shil. Aplikasi kencan online banyak."

Ashila mendesah pasrah. Mona memang cerewet. Namun, Ashila tidak menduga jika perkataan temannya itu sedang dialaminya kini.

"Aku tuh, gemes sama kamu. Kuliah itu utama, tapi masalah cinta juga penting. Aku takut hatimu mati, Shil."

"Ah, malas ngurusin cinta. Entar nangis-nangis kayak kamu," sindir Ashila sembari tergelak.

Wajah Mona berubah cemberut. Apa yang diucapkan Ashila adalah fakta. Ia tipikal orang yang haus akan cinta. Dirinya tidak bisa seminggu saja tanpa laki-laki. Bisa dibilang, koleksi mantan Mona sudah sebanyak ruko es krim Wo Ai Ni yang lagi viral itu.

"Kamu beneran nggak penasaran gimana rasanya jatuh cinta dan dicintai, Shil?"

"Mona, Mona, kita baru berapa hari temenan, sih?" Ashila balik bertanya.

"Ya enggak gitu, Shil. Aku masih heran aja, prinsipmu kuat banget, ya."

"Demi ... demi bisa jadi dosen," ungkap Ashila sembari memasukkan suapan ke mulutnya.

Tiba-tiba, ponsel Ashila berdering. Ia menoleh ke arah benda pipih yang ada di atas karpet tepat di sampingnya. Sebuah nomor yang diyakini nomor Kenzi tadi. Ashila tidak menghiarukannya.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Mona.

"Males, orang iseng," ujar Ashila asal.

"Aku paling doyan ngerjain orang iseng." Mona langsung menyambar ponsel Ashila.

Ashila yang tangannya masih belepotan sambal terasi, tidak bisa menghalau Mona. "Nggak usah, Mon!" Ashila mulai panik. Namun, Mona malah menjauh.

"Halo, dengan siapa di sana?" Mona bergaya dengan centilnya.

"Ini bukan Ashila?"

"Bukan, ini emaknya. Anda siapa?"

Ashila tertawa mendengar kejailan Mona. Ia pun membiarkan sahabatnya mengerjai Kenzi.

Terdengar kekehan di seberang telepon. "Ini suaminya Shila, Mak."

Mona membeliak begitu mendengar jawaban Kenzi. "Shil, iseng banget ini orang. Jangan-jangan dia penguntit, nih."

"Kenapa?"

"Masa dia ngaku sebagai suamimu?"

Ashila melonjak kaget. Ia langsung merebut ponsel dari tangan Mona. Gadis dengan piama berwarna ungu tua itu segera keluar dari kamar.

"Apa-apa an sih, Ken?" Ashila berucap lirih. "Ngapain telepon?"

"Lapar, Shil."

"Ya, makan."

"Nggak tahu mau beli di mana."

"Di warung makanlah. Masa mau di SPBU." Ashila semakin ketus saja.

Kenzi tertawa mendengar kekesalan Ashila. "Aku belum paham warung makan di sini. Taunya cuma jalan ke arah kosmu. Aku ke sana sekarang."

"Jangan!" Belum sempat Ashila membalas ucapan Kenzi, sambungan telepon sudah diakhiri. "Haduh, anak ini." Ashila semakin geregetan saja.

"Ngeladenin orang iseng?" suara Mona terdengar dari belakang. Ashila terperanjat sampai mengusap dada.

"Kamu nguping?"

Mona menggelengkan kepalanya. "Penasaran aja. Sama orang iseng kok serius gitu bicaranya."

"Au ah, pusing aku." Ashila kembali masuk ke kamar Mona. Ia sudah tidak bernafsu makan lagi.

"Tolong beresin punyaku, Shil. Ayangku lagi nunggu di bawah!" seru Mona sembari berlari menuju teras.

Ashila mulai membersihkan kertas nasi bekas makan mereka. Ia lalu membuangnya di keranjang sampah yang ada di dapur sekaligus cuci tangan. Gadis itu kemudian masuk ke kamarnya.

"Shil! Ada tamu." Namun, saat baru menutup pintu, terdengar teriakan Mona dari depan.

Ashila mengernyit. Ia tidak sedang ada janji ketemuan dengan siapapun. Karena penasaran, ia pun segera keluar. Namun, Ashila sungguh terkejut mendapati sosok yang sudah duduk di teras. Tepat di seberang Mona dan pacarnya. Tanpa berucap satu kata pun, Ashila menarik tangan Kenzi keluar dari teras kos.

Mona yang tengah memperhatikan mereka menjadi penasaran. Ia ingin tahu siapa sosok manis yang datang malam-malam menemui sahabatnya itu. Belum lagi ekspresi suntuk Ashila.

Sementara itu di luar. Ashila dan Kenzi sudah berdiri di depan rumah sebelah.

"Siapa yang nyuruh ke sini?" Ashila menatap Kenzi dengan mimik tidak suka.

"Masa nggak boleh suami datangi istri? Aku kan--"

Ashila sontak menutup bibir Kenzi dengan tangannya. Laki-laki berambut hitam tebal itu terkesiap. Wajah gadis itu begitu dekat dengan wajahnya.

"Jangan ngomong tentang suami istri di area kampus!" pekik Ashila tertahan dengan mata membeliak. Ia lalu menurunkan tangannya.

"Tutup lagi mulutku, Shil," pinta Kenzi dengan senyuman.

"Ogah banget."

Ashila bergidik. Ia mengusap tangan yang digunakan untuk membungkam bibir Kenzi di jaket laki-laki di sebelahnya tersebut. "Tanganku kena ilermu, nih."

Kenzi tergelak melihat ekspresi Ashila. Ia sengaja datang ke kos karena rindu dengan istrinya. Memandang wajah gadis itu, membuat hatinya terasa diliputi kebahagiaan. Lapar hanyalah sebuah alasan yang diciptakan untuk bisa berjumpa.

"Wajahmu kenapa merah gitu, Ken?" tanya Ashila heran sambil memperhatikan laki-laki di sampingnya. Padahal saat datang tadi, muka Kenzi biasa saja.

Kenzi menjadi salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kejadian barusan, sukses membuat darahnya berdesir dan pipi ikut memanas.

"Aduh aku laper, Shil. Cari makan, yuk?" Kenzi mengalihkan pembicaraan.

"Aku udah makan."

"Kalau gitu temenin."

"Manja banget jadi orang."

"Sama istri sendiri nggak masalah."

Ashila sontak mendelik saat kata istri terdengar. "Bisa diem, nggak?"

Kenzi manggut-mangut dengan wajah memelas. "Aku beneran kelaparan, Shil."

Ashila yang sedang bersedekap, menatap wajah Kenzi. Ia jadi tidak tega mengusirnya. "Ya udah, ayo. Makan di depan gang aja."

Kenzi menjadi semringah. "Bentar, Shil."

Ashila yang sudah melangkah, berhenti. "Kenapa?"

"Kamu kayak gini kalau di kos?"

Ashila menautkan kedua alisnya. Ia menatap Kenzi dengan heran. Laki-laki itu terus memperhatikan kepalanya.

"Kenapa? Ada yang salah sama kepalaku?"

"Kerudungmu mana?" Kenzi balas bertanya.

"Di kamar. Udah buruan."

Kenzi meraih pergelangan tangan Ashila. "Ambil kerudungmu sekarang."

"Ngapain?"

"Ya, dipake nutupi auratmu."

Ashila mendengkus kesal. Kenzi mulai membuatnya jengkel kembali. "Keluar ke dekat situ aja, kok."

"Tapi ini di luar. Banyak laki-laki bukan mahram yang lihat auratmu." Raut wajah Kenzi tampak serius.

Ashila berdecak kesal. Kenzi sudah mulai mengatur hidupnya. Gadis bertubuh langsing itu mengerucutkan bibir sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Nggak usah ngatur aku."

Kenzi menghela napas. Ia harus lebih bersabar dalam menghadapi istrinya.

"Kalau udah nikah, perilaku seorang istri jika buruk itu yang menanggung dosanya si suami. Auratmu itu hanya aku yang boleh memandang. Laki-laki lain haram meskipun hanya sehelai rambut yang keluar."

Ashila terkesiap. Ia membenarkan perkataan Kenzi dalam hati. 

"Cerai pilihan terbaik biar kamu nggak nanggung dosaku." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro