RT_Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam ini menjadi puncak kekesalan Ashila sejak menikah. Ia memilih kembali ke kos setelah beradu mulut dengan Kenzi. Rencana mengantar makan malam pun gagal. Ashila tidak peduli jika laki-laki itu kelaparan. Malam ini juga, tekad Ashila sudah bulat untuk bercerai.

Ashila akan mengumpulkan nyali terlebih dahulu sebelum mengutarakannya kepada kedua orang tuanya. Ia tidak peduli jika biaya kuliah tidak diberikan lagi. Dirinya akan berusaha menghemat gaji kerja di laboratorium. Untuk masalah melanjutkan ke jenjang S2, masih ada banyak beasiswa yang bisa dicari. Terutama beasiswa yang juga menganggung biaya hidup.

"Shil." Panggilan dan suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar. "Kamu udah tidur?"

Ashila yang sedang menutupi wajah dengan selimut mendesah kesal. "Udah!"

"Ih, ngaco. Udah tidur tapi bisa jawab. Bukain, dong!" seru Mona sembari menggedor pintu.

"Arrgggh!" Ashila mengacak rambut panjangnya dnegan kesal. Jika tidak dituruti, Mona akan terus seperti itu sampai dibukakan. Ashila pun bergerak dengan malas menuju pintu.

"Kok kusut gitu habis diapelin cowok cakep?"

"No comment," balas Ashila singkat.

"Ih, Shila. Aku kepo ini." Mona merepet ke dekat Ashila yang sudah kembali selimutan. Namun, sahabatnya itu malah memunggunginya. "Dia siapa, Shil?"

"Tetangga."

"Wah ... kok, baru muncul sekarang tetangga cakepmu?"

Ashila tetap tidak menggubris. Hal itu membuat Mona semakin penasaran.

"Terus ngapain kamu berantem sama tetangga? Mana tadi bertengkarnya kayak pasangan kekasih pula," cetus Mona sembari tergelak.

"Aish! Aku lagi ngantuk ini, Mon."

Mona tertegun. Ia paham kapan Ashila sedang kesal atau hanya mengantuk.

"Oke, oke, aku keluar."

Pintu kamar pun ditutup dari luar. Ashila menyibak selimut dengan kasar.

"Kenzi! Jangan harap kita bisa ketemu lagi."

***

Ashila berusaha memejamkan mata sekuat tenaga. Sudah satu jam berlalu tetapi rasa kantuk belum datang juga. Ia ingin tidur nyenyak malam ini demi melupakan emosi yang meluap untuk Kenzi.

"Arghh! Nggak bisa tidur."

Ashila meraih ponselnya. Bersamaan dengan itu masuk pesan baru ke ponselnya. Dari nomor yang belum disimpan tadi.

"Ck, seharusnya aku blokir aja."

Namun, Ashila penasaran dengan foto yang dikirim. Ia pun membuka pesan itu. Gadis itu berulang kali mengerjapkan mata menatap foto itu. Ia semakin tercengang saat membaca chat yang dikirim Kenzi.

Aku di RS Harmoni

Ashila segera menelepon Kenzi. Namun, dua kali panggilan tidak diangkat juga. Tanpa sadar, Ashila merasakan kekhawatiran mendalam terhadap suaminya itu.

"Kok, nggak diangkat?"

Ashila kembali menelepon Kenzi. Namun, tetap tidak ada jawaban. Begitu pula dengan chat. Centangnya belum juga berubah warna.

Ashila segera memakai kerudung bertali belakang dan mengenakan hoodie. Ia lalu pergi menuju kamar Mona.

"Mon." Ashila membuka pintu kamar.

"Hemm ... apa?" tanya Mona yang masih asik menonton YouTube.

"Temenin ke RS Harmoni sekarang."

Mona mengangkat wajahnya. "Kamu sakit?"

Ashila menggelengkan kepalanya. Ia lalu memperlihatkan foto yang dikirim Kenzi.

"Tetangga?"

Ashila mengangguk. Wajah gadis itu menyiratkan kecemasan.

"Kenapa dia?"

"Entahlah. Ditelepon nggak diangkat." Nada bicara Ashila terdengan sedikit bergetar.

Mona mengerutkan kening ke bawah. "Hemm ... bukan sekadar tetangga sepertinya ini."

"Udah, udah. Nanti aku ceritain." Ashila menarik tangan Mona. Ia ingin segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Kenzi.

***

Jarak anatara kos dan rumah sakit sekitar sepuluh menit. Pusat pelayanan kesehatan itu searah dengan rumah Kenzi. Jaraknya pun sangat dekat. Ashila menggosok kedua tangannya yang terasa dingin.

"Shil, ceritain sekarang. Aku nggak mau nyetir sambil penasaran, nggak bisa fokus!" seru Mona yang sedang memegang stang.

Ashila menarik napas panjang. "Jangan kaget, ya, Mon."

"Iya buruan!"

"Tetanggaku itu suamiku." Ashila menggigit kuku jari telunjuk.

Ban motor mendadak berhenti. Helm Ashila sampai membentur helm Mona.

"What??? Jangan ngadi-ngadi, woi!"

"Ya udah kalau nggak percaya," ucap Ashila santai. Ia akan sangat berterima kasih jika sahabatnya itu menganggap ucapannya adalah lelucon. Terpenting ia sudah berusaha berrkata jujur. "Cepetan ke RS, Mon!"

"Nanti harus cerita yang jelas." Mona kembali melajukan motor. Beruntung, ia tadi berkendara agak ke pinggir jalan. Lalu lintas pun sangat sepi karena sudah jam sepuluh malam.

Begitu sampai di rumah sakit, Ashila segera menuju ruang IGD. Suasana di sekitar gedung dengan empat lantai itu sudah sepi. Hanya ada beberapa petugas keamanan yang sedang lalu lalang memeriksa kondisi sekitarnya.

Ashila tidak menunggu Mona yang sedang memarkir motor. Gadis itu berjalan cepat, seolah berlari kecil. Ia sudah sampai di ruang yang terletak di pojok kanan lantai satu.

"Sus, ada pasien bernama Kenzi Arkananta?" tanya Ashila pada perempuan dengan seragam putih yang duduk di belakang meja.

"Ada. Mbak istrinya, ya?"

Ashila terkejut, lalu mengangguk canggung.

"Saya siapkan berkas administrasinya ya, Mbak. Tadi masnya bilang nunggu istri dulu yang urus, jadi belum dipindah ke ruang rawat inap."

"Harus rawat inap? Emang kondisi suami saya parah?"

Ashila sontak menutup bibirnya. Ia reflek menyebut Kenzi dengan suami. Terdengar decakan kaget dari arah belakang. Rupanya Mona sudah berada di ruang tersebut.

"Luka di lengan hingga tangannya lumayan parah."

Ashila tercengang, bayangannya sudah yang jelak-jelek saja. Ia segera menuju ranjang tempat Kenzi dirawat.

"Ken," panggil Ashila pelan. Laki-laki dengan lengan sebelah kanan dibalut perban itu tampak memejamkan mata. "Kenzi."

Ashila menepuk bahu Kenzi sebelah kiri. Namun, tidak ada respon. Ashila mengernyitkan alis.

"Apa dia dibius, Mon?"

"Nggak mungkin. Emangnya mau operasi?" tanya Mona yang berdiri di ujung ranjang. "Beneran dia suamimu?"

Ashila mengangguk cepat. "Pas mudik itu kami nikah. Tapi sebentar lagi bakal cerai, kok."

"Hah?!" Mona terkejut bukan kepalang. "Ada apa, sih, ini?"

Ashila tidak memedulikan kebingungan Mona. Ia masih mencemaskan kondisi Kenzi.

"Kok, nggak ada respon?" Ashila kembali menepuk pundak Kenzi. Ia masih panik. "Ken, bangun, dong."

Masih tidak ada respon. Mata Kenzi tetap saja masih tertutup.

"Mon, kok, dia nggak bangun?" Nada bicara Ashila mulai bergetar. "Tadi masih bisa ngirim WA."

"Perawat mungkin yang ngirim. Coba goyangkan kakinya."

Ashila lalu melakasanakan saran Mona. Namun, mata pemuda itu masih saja terpejam.

"Masih diem, Mon." Nada suara Ashila sudah terdengar parau. "Panggilin perawat cepat!"

Mona ikut bingung. Namun, ia kemudian tersenyum samar. "Kayaknya terkabul tuh, keinginanmu. Pingin cepat menjanda, 'kan?"

Ashila tersentak. Ia kembali menatap laki-laki yang bagian leher hingga kaki tertutup selimut. Wajah Kenzi terlihat tenang.

"Ken, bangun, dong. Kamu nggak mati, 'kan?"

Tangan Ashila menyentuh perut Kenzi. Gadis itu sedang memastikan kondisi suaminya. Ia sontak membekap mulutnya begitu menyadari tidak ada perubahan naik turun pada permukaan perut Kenzi.

"Mon, dia nggak napas, Mon." Mata Ashila sudah berkaca-kaca.

Mona sontak merengkuh sang sahabat ke dalam pelukannya. Ia lalu mengacungkan ibu jari di balik punggung Ashila.

"Sabar ya, Shil."

Ashila meregangkan pelukan. Ia lalu mendekat ke sisi sebelah kanan ranjang. Air mata sudah membasahi pipinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro