RT_Lima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kenzi terpaku mendapati pertanyaan Ashila. Perempuan di hadapannya itu tidak pantang menyerah untuk bisa mendengar kata cerai terlontar dari bibirnya.

“Kamu tahu, Shil? Ijab kabul itu perjanjian berat. Bukan hanya saya terima nikahnya. Sa–"

"Ya aku udah tahu. Makanya aku nggak mau kamu nanggung perjanjian itu. Aku udah baik loh ini." Ashila memotong ucapan Kenzi.

"Bentar, aku selesaikan dulu ucapanku."

"Oke, oke." Ashila menggerakkan tangan, mempersilakan Kenzi berbicara.

Kenzi menghela napas pendek. "Saat kalimat ijab udah terucap, Arsy atau singgasana Allah itu berguncang karena beratnya perjanjian yang aku ucapkan di depan Allah dengan disaksikan malaikat. Bukan hanya di depan Papa atau orang-orang yang melihat.”

Ashila manggut-manggut. Ia sudah menduga jika Kenzi akan membahas tentang ijab lagi.

“Cerai diperbolehkan oleh agama.” Ashila langsung mengeluarkan kalimat andalannya.

“Benar, memang diperbolehkan. Tapi, apa kamu tahu penjelasan selanjutnya?”

“Apa?”

“Perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah talak atau cerai.”

Ashila menyandarkan punggungnya di kursi. Nafsu makannya seolah lenyap. Obrolan yang dimulainya, sepertinya akan berbuntut panjang. Kenzi yang lebih paham agama darinya, tentu akan menceramahinya habis-habisan.

“Kalau mau bahas masalah ini, jangan di tempat umum. Apalagi sambil makan. Nanti saja di rumah.”

Ashila menatap Kenzi. Laki-laki itu masih terlihat tenang. Nada bicaranya pun tidak terdengar terintimidasi. Ashila lalu menegakkan punggung.

“Di rumah? Bisa dijamin langsung ada penyelesaian malam ini?”

Kenzi yang sedang mengunyah makanan menganggukkan kepala. Setelah menelannya, baru ia bersuara. “Insya Allah. Malam ini kita selesaikan. Sekarang makan dulu.”

Ashila kembali menikmati makanannya. Sesekali, matanya melirik ke arah pemuda pemilik senyum manis itu. Ia masih menerka cara berpikir Kenzi. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat terbebani dengan keinginan yang dilontarkannya. Kenzi malah terlihat sangat lahap menikmati soto. Bahkan, sekarang sudah mangkuk kedua.

Habis berapa kilo beras sebulan kalau sekali makan kayak gini?

“Makanku emang banyak, Shil. Tapi aku nggak pemilih. Dikasih tempe goreng sama sambal aja udah lahap. Kamu bisa bikin sambal nggak?” Kenzi paham arti tatapan Ashila.

“Bisalah. Bikin sambal aja masa nggak bisa?” Ashila menjentikkan jari kelingkingnya.

“Kata Mama, kamu itu nggak pernah masak kalau di rumah. Masak telur ceplok aja gosong.” Kenzi mulai menggoda Ashila. Suasana harus segera dicairkan kembali.

“Fitnah, tuh. Jangan ngarang, deh.”

Ashila tidak terima jika dianggap tidak bisa memasak. Seperti sebuah penghinaan sebagai perempuan meskipun kenyataannya memang dirinya jarang ke dapur.

“Lihat tanganmu," pinta Kenzi.

"Buat apa?"

"Katanya kalau mau lihat perempuan pintar masak itu dari jari-jarinya. Sini tanganmu." Kenzi mengulurkan tangannya.

"Teori macam apa itu,” ucap Ashila sembari fokus dengan makanannya.

"Takut ketahuan nggak bisa masak, ya?" tuduh Kenzi sembari menahan senyuman. Ia paling suka membuat Ashila kesal.

Mata Ashila membulat sempurna. Ia merasa ditantang oleh Kenzi. “Mau buktinya?”

“Loh, ya iya. Fakta tanpa bukti itu hoax.”

“Oke. Siapa takut?” Ashila menggebrak meja. “Malam ini aku sambelin.”

Kenzi mengangkat telunjuk tangan kanan, lalu menggerakkannya ke kanan dan kiri. “Nggak lihat dua mangkuk ini? Besok aja pas sarapan.”

“Oke!” tegas Ashila.

“Sip, udah deal nggak boleh dibatalin.”

Kenzi menyeringai jail. Ia lalu beranjak dari duduknya menuju meja kasir untuk membayar. Menghadapi Ashila tidak bisa dengan paksaan, harus bisa bermain kalem dan cerdas.

Kening Ashila berkerut. Ia merasa ada yang aneh tetapi tidak tahu itu apa. Ashila menoleh cepat ke arah Kenzi. Sikap santai pemuda itu memang mencurigakan.

Mereka pun meninggalkan kedai. Tujuan selanjutnya adalah rumah.

“Harus di rumah, ya?” Ashila mendekap helm miliknya. Ia ragu jika harus ke rumah Kenzi malam-malam lagi.

“Mau di kos? Nggak papa didengerin temen-temenmu?” Kenzi sudah duduk di atas motor.

Ashila menggelengkan kepala dengan cepat. Musibah jika harus membicarakan pernikahan dan perceraian di tempat umum sekalipun di kosnya. Mau tidak mau, Ashila pun ikut ke rumah.

Tidak lama kemudian mereka tiba di sana.

“Ayo, cepat selesaikan,” kata Ashila saat baru masuk.

“Duduk dulu, Shil. Santai, santai.”

Ashila memasang wajah manyun. Ia lalu duduk di karpet. Ruang tamu belum memiliki meja dan kursi. Kenzi memilih karpet meskipun Pak Arif sudah ingin membelikan.

“Oke. Kita lanjut dari mana?” Kenzi duduk bersila, berhadapan dengan Ashila.

“Langsung aja bilang gini, saya ceraikan kamu Ashila Faranisa. Itu aja. Ayo ucapkan.” Ashila tidak mau basa basi. Ia ingin menyelesaikan secepatnya.

Kenzi mengusap keningnya. Ia harus tetap tenang meskipun kesabarannya tengah diuji oleh sang istri.

“Begini, Shil. Ada alasan-alasan yang diperbolehkan untuk istri mengajukan cerai ke suaminya. Nggak bisa ujug-ujug kayak kamu gini.”

“Loh, Ken. Kita nikahnya ini kan mendadak, terpaksa.”

“Terpaksa? Aku nggak terpaksa sama sekali, kok. Bentar, aku lanjutin dulu.”

Wajah Ashila memanas. Ia sudah dikuasai emosi. Tangannya pun sudah mengepal.

“Satu,” lanjut Kenzi. “Suami tidak mampu memenuhi kebutuhan istri. Oke, dalam hal ini memang aku belum melakukannya. Tapi aku bukan lepas tanggung jawab. Kondisinya memang belum memungkinkan. Kita hidup terpisah dan komunikasi juga tidak lancar.”

“Nggak usah. Aku bisa memenuhi kebutuhanku sendiri,” sahut Ashila ketus.

“Dua, suami merendahkan istri. Apalagi sampai KDRT, menganiaya istri lahir batin. Itu suami durhaka. Aku gimana?”

Ashila terdiam. Kenzi jauh dari ciri seperti itu.

“Lanjut tiga. Suami pergi dari rumah lebih dari enam bulan apa dua tahun gitu. Aku lupa tepatnya. Dan, kita aja baru nikah sebulan. Bener, kan?”

Ashila mendengkus kesal. “Empat?”

“Suami divonis mengidap penyakit berbahaya yang bisa menularkan ke pasangan. Alhamdulillah aku sehat walafiat.”

Helaan napas panjang terdengar dari bibir Ashila. “Udah?”

“Belum. Lima, dipenjara bertahun-tahun, berzina, judi, dan murtad.”

Ashila memejamkan mata mendengar penjelasan Kenzi. Tidak ada alasan untuk menggugat cerai suaminya. Dadanya mulai terasa sesak. Air mata mulai menggenang di matanya.

Kenzi tersentak melihat Ashila menangis. “Shil.”

“Aku harus gimana, Ken? Aku … aku nggak siap berumah tangga. Fokusku masih ke kuliah dan jadi dosen. Aku nggak mau terikat. Aku masih mau bebas, Ken.”

Kenzi memahami kegelisahan Ashila. Permasalahan tersebut menjadi tanggung jawabnya. Ia harus bisa menemukan solusi, tetapi tentu saja bukan berpisah.

“Itu hanya kekhawatiranmu, Shil. Belum dijalani. Bisa saja ternyata yang kamu takutkan tidak terjadi. Apalagi kita menjalaninya berdua. Akan selalu ada solusi.”

“Kamu bisa menjaminnya?” tantang Ashila.

“Insya Allah.”

Ashila menyandarkan punggung di dinding. Ia lalu memejamkan matanya. Cairan bening masih membasahi pipi yang hanya berpoles pelembab tersebut.

Kenzi menatap sedih ke arah sang istri. Ia ingin sekali merengkuh Ashila ke dalam pelukan. Namun, dirinya tidak mau memperkeruh keadaan.

“Gimana kalau aku tunggu sampai kamu sendiri yang siap untuk kita tinggal bersama?”

Ashila membuka mata. “Maksudnya?”

Kenzi pun menjelaskan, jika dirinya akan bersabar menanti kesiapan Ashila menerima pernikahan ini. Ia tidak akan memaksa istrinya itu untuk tinggal di rumah ini. Kenzi mempersilakan Ashila mewujudkan impian terlebih dahulu.

“Aku juga nggak mau menghancurkan impianmu.”

Ashila terkesiap. Ada setitik penyesalan karena menganggap Kenzi merebut cita-citanya.
“Kalau gitu, kita nggak usah ketemu dan komunikasi dulu.”

“Berapa lama itu?” tanya Kenzi butuh kepastian. Ia tidak bisa berjauhan dari istrinya. Seminggu tidak jumpa saja sudah galau.

Ashila mengangkat bahunya. “Nggak tahu aku siapnya kapan. Kalau emang selamanya aku nggak siap gimana?”

Kenzi menatap Ashila tanpa kedip. “Aku paksa biar siap.”

“Ish! Emang jahat,” cetus Ashila seraya mencebik.

Kenzi tertawa santai. “Kamu mau mengecewakan keluarga kita? Ingat Uti, Shil."

Ashila berdecak lirih. Sekarang kalau ingat Mbah Uti, ia menjadi ingat hamil. Ia tidak mungkin mewujudkannya, tetapi juga tidak ingin mengecewakan beliau.

“Arggghh, bisa-bisa stres aku.”

"Aku yakin pasti akan ada masa di mana kamu siap. Aku bakal sabar nungguin saat itu.”

“Ken, aku jelasin, ya. Biar kamu paham tentang kehidupanku. Sekarang ini aku lagi fokus ngejar wisuda periode depan, tiga bulan lagi. Aku nggak mau sampai lebih dari tiga setengah tahun kuliahnya. Iya, aku perfeksionis. Sebelum kamu bilang kayak gitu, aku udah ngaku duluan. Jadi, aku nggak mau fokusku terbagi dengan urusan lain.”

Kenzi manggut-manggut sembari mengusap dagu. “Tiga bulan, ya. Nggak lama, kok.”

“Sip, janji nggak akan ada komunikasi.” Ashila mengacungkan jari telunjuk untuk melakukan pinky promise.

Kenzi pun pasrah. Ia harus konsisten dengan keputusannya. 
“Oke setuju. Hanya satu pintaku, jangan berbicara tentang perceraian lagi.”

Ashila kembali berpikir. Meminta Kenzi menunggu sama saja dengan dirinya siap berumah tangga. Akan tetapi, masih ada satu hal yang masih mengganjal.

“Tapi, gimana bisa berumah tangga kalau nggak ada cinta? Jujur, aku nggak ada sedikit pun naksir kamu apalagi cinta. Kamu juga, kan?”

Kenzi membisu. Hanya matanya yang berbicara.

“Heh! Iya, kan?”

Ashila butuh ketegasan. Masalah cinta adalah senjata pamungkas untuk bisa mengakhiri pernikahan. Buat apa membangun rumah tangga jika tidak ada rahmah atau cinta di dalamnya? Mau segersang apa pernikahan yang dijalani?

Kenzi masih menatap lekat Ashila. Bibirnya mulai terbuka. Kata-kata pun meluncur dengan tulusnya. 
“Aku … aku mencintaimu, Ashila.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro