RT_Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kenzi terkejut begitu mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Ashila. Tidak terlintas dalam benaknya sedikitpun untuk menganggap pernikahan ini sebagai lelucon yang dapat dipermainkan.

"Cerai?" tanya Kenzi memastikan permintaan Ashila.

Ashila mengangguk cepat. "Bener banget, cerai. C, E, R, A, I. Cerai!"

Kenzi masih menampakkan wajah kagetnya. Ia lalu berdecak pelan.

"Kita bisa tetap berakting seperti pasangan suami istri. Terus, kamu bisa cari tuh, cewek yang sesuai sama keinginanmu. Nggak enak tau nikah tanpa cinta. Aku mikirin hidupmu juga, nih. Tapi nanti jujur kalau cerai pas udah dua tahun nikah."

Ashila sangat yakin dengan rencananya. Ia sudah memikirkan matang-matang. Kenapa dua tahun lagi? Karena satu tahun lagi dirinya lulus S1, jika langsung lanjut S2, tentu dalam dua tahun dari sekarang, papanya masih bisa membiayainya. Nanti, setelah bercerai dirinya sudah punya tabungan untuk biaya kuliah sendiri. Ashila memang sudah berencana untuk melamar kerja di laboratorium Psikologi kampus. Ia sedang magang di sana, jadi cukup mudah untuk melamar sebagai karyawan kontrak.

"Aku nggak mau." Ucapan Kenzi cukup singkat dan terdengar tegas.

"Hah?!" Ashila membeliak lebar. Ia tidak menyangka jika permintaannya akan ditolak. "Kamu jangan egois gitu, Ken. Kita ini tetangga, ya masa tetangga nikah? Tetangga masa gitu?" Ashila mulai mengeluarkan jurus cerewetnya. Ia teringat akan satu judul sitkom di salah satu televisi nasional.

"Nggak salah aku yang egois, Shil?"

Ashila terdiam. Ia memang menyadari bahwa permintaan itu adalah bentuk keinginan pribadinya. Ia lalu menunduk.

"Aku nggak bisa menjalani pernikahan tanpa cinta, Ken. Apalagi sama kamu," ungkap Ashila lirih.

"Menikah itu berproses. Termasuk masalah cinta." Nada bicara Kenzi kembali terdengar serius. Ia harus bisa bersikap dewasa di depan Ashila.

Ashila mendesah pelan. Laki-laki di hadapannya ternyata begitu sulit dipengaruhi. Tidak seperti bayangannya. Ia pun mengacak rambutnya dengan kesal.

"Aku nggak sanggup pokoknya. Aku mau minta cerai. Titik!" seru Ashila. Untung saja kedua orang tuanya belum datang dari rumah Mbah Kung.

Kenzi menghela napas dalam. Tugas pertama sebagai suami sudah di depan mata. Ia harus bisa mengimbangi sikap keras kepala Ashila. Meskipun tetangga, mereka sangat jarang berjumpa. Sejak masuk SMP hingga SMA, Kenzi sudah tinggal di pesantren yang ada di Solo. Saat kuliah, ia pun melanjutkannya di Jogja. Pemuda itu jarang berada di rumah. Pulang pun hanya saat libur kuliah atau lebaran. Begitu juga dengan Ashila. Gadis itu pulang ke rumah saat libur semester dan lebaran saja.

"Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jika ijab kabul sudah terjadi, itu artinya kamu jodohku, Shil."

Mata Ashila kembali terbuka lebar. Mulutnya pun membentuk huruf O. Ia tercengang mendengar ucapan Kenzi. Darah rasanya sudah naik ke ubun-ubun.

"Nggak bisa gitu! Pokoknya aku mau cerai!" Ashila mengentakkan kakinya. Tingkahnya sudah persis seperti anak kecil minta mainan.

"Aku nggak mau," tegas Kenzi. Ia kembali merebahkan tubuhnya. Posisinya telentang dengan tangan bersedekap. Kenzi mulai memejamkan matanya.

Cerai?

Kenzi menghela napas panjang. Satu kata itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sekali kalimat kabul terucap dari bibirnya, ia akan menjaganya hingga nyawa berpisah dari raga. Memang perceraian dihalalkan dalam agama Islam. Namun, hal itu sangat dibenci oleh Allah SWT. Terlebih masalah pura-pura menikah yang dilontarkan Ashila. Itu pun bagi Kenzi sangat konyol. Hal itu sudah penipuan. Jelas-jelas itu dilarang dalam agama.

Ashila masih melongo mendapati respon Kenzi. Seraya memekik tertahan, gadis itu memukul bantal berkali-kali untuk melampiasakan amarahnya. Bantal guling kemudian ditaruhnya di tengah ranjang. Ashila pun mulai merebahkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Kenzi. Ia memeluk selimutnya erat. Walaupun emosi masih menguasainya, tetapi matanya sudah sangat berat untuk terbuka. Perlahan Ashila mulai memejamkan matanya.

Kenzi melirik ke samping kiri. Ia tersenyum melihat tarikan napas Ashila yang mulai teratur. Laki-laki yang sudah berstatus suami itu memiringkan tubuhnya dengan punggung tangan menjadi tumpuan pipi. Lengkungan bibir ke atas masih menghiasi wajahnya. Ia terus menatap sosok dengan rambut sebahu yang kuncirnya mulai berantakan.

Yaa Allah, jadikanlah keluarga hamba sakinah mawaddah wa rahmah. Aamiin.

***

Ashila membuka matanya dnegan berat. Sayup, terdengan suara azan dari masjid di kampungnya. Ia menggeliat, berusaha mengusir kantuk yang masih menghinggapi matanya. Perlahan, Ashila menyibak selimut yang menutupi tubuh.

"Loh, kok, aku selimutannya rapi gini?" Ashila terheran-heran. Ia kalau tidur terlalu banyak tingkah. Seringkali, selimut dan bantal bukan ada di badannya, tetapi malah terlempar ke lantai. Sedetik kemudian, ia tersentak.

"Tetangga!"

Ashila sontak memeriksa baju yang dikenakannya. Semua masih melekat rapi di tubuhnya. Ia juga mengecek rambut, karet untuk menguncir masih terpasang meskipun sudah berantakan. Jantungnya sudah berdetak kencang. Ia takut hal-hal yang tidak diinginkannya terjadi selama dirinya tidur.

"Kemana orang nyebelin itu? Eh, emang aku pikirin. Semoga dia nggak balik lagi," gumam Ashila sambil membuka pintu kamar. Ia kemudian menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur untuk mengambil wudhu. Dirinya memang belum istiqomah berkerudung, masih sering lepas jika berada di lingkungan rumah atau kos. Namun, untuk masalah salat, Ashila berusaha tidak meninggalkannya.

Pintu kamar mandi masih tertutup. Bu Rohman sedang menggunakannya. Ashila pun menunggu sambil duduk di bangku plastik. Tidak lama kemudian sang ibu keluar.

"Handukmu mana, Mbak?" tanya Bu Rohman heran.

Ashila mengernyitkan kening. Handuk?

"Mama mau diambilin handuk?"

Bu Rohman menggelengkan kepala. "Buat Mbak sendiri, kok mama."

"Oh, itu masih di jemuran, Ma," jawab Ashila sembari buru-buru masuk ke kamar mandi.

"Loh, mau mandi kok, nggak bawa handuk. Mama ambilin dulu handuknya."

"Siapa yang mau mandi? Aku udah kebelet mau BAB nih, Ma." Ashila langsung menutup pintu kamar mandi.

"Aduh, gimana sih, anakku ini?" Bu Rohman mengetuk pintu kamar mandi yang sudah ditutup. Ia heran dengan sikap sang putri.

"Apalagi, Ma?!" seru Ashila sembari menikmati proses mengeluarkan kotoran di dalam ususnya.

"Kamu itu gimana sih, Mbak? Kalau mau salat itu ya harus mandi wajib dulu. Nggak sah kalau cuma wudhu aja."

Ashila melongo mendengar penjelasan Bu Rohman. "Ma, aku jadi nggak fokus BAB, nih."

"Eh, Mbak. Penting itu, jangan sembarangan. Mama mau ngajarin kamu."

"Dari kecil aku udah bisa mandi sendiri, Ma. Jangan khawatir," jelas Ashila dari kamar mandi.

Bu Rohman gemas mendengar jawaban sang anak. Beliau mengurungkan niat untuk salat berjamaah di masjid. Wanita paruh baya itu tidak mau putrinya salah melakukan ibadah. Bu Rohman pun dengan sabar menanti Ashila di depan pintu.

"Mbak, duduk dulu dengerin mama," titah Bu Rohman saat Ashila baru membuka pintu.

Ashila yang keheranan menuruti perintah mamanya. "Mama kenapa jadi mencurigakan gini, sih?"

"Kenzi tadi itu keramas. Lah, kok Mbak nggak mau keramas?"

Ashila sontak menautkan kedua alis. Keningnya pun berkerut. Ia bingung mamanya tiba-tiba membahas Kenzi yang mandi pagi-pagi.

"Rajin bener anak tetangga. Emang kenapa kalau dia keramas terus aku enggak?"

Bu Rohman menghela napas dalam. Ia pun menggelengkan kepala melihat tingkah putri sulungnya.

"Mbak, jadi begini. Kalau kita habis berhubungan sama suami itu, harus mandi wajib saat mau salat."

Asila tercengang mendengar ucapan Bu Rohman. Ia pun beranjak dari kursi, kemudian berlari meninggalkan sang ibu yang tengah kebingungan.

"Aku nggak ngapa-ngapain sama Kenzi, Ma!" pekik Ashila seraya menutup pintu kamar. "Dia maksa tidur di sini!"

Bu Rohman tergelak mendengar penjelasan Ashila. Ia maklum, sepasang pengantin pengganti itu tentu tidak berpikir hingga masalah malam pertama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro