FRAME 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salma terbangun dengan lebih fit dan segar. Badannya tidak lemas seperti saat dia meminum obat tidur. Dia menuruti saran Fatma untuk mendengarkan murotal saat menjelang waktu tidur. Perlahan saran itu berbuah hasil. Apalagi semalam dia sudah menceritakan banyak kegundahannya pada Langit.

"Pagi, Ma." Salma menyapa Widya dengan senyum cerah.

"Pagi. Mau sarapan apa?" Widya sudah memasak beberapa menu kesukaan Salma. Membuat Salma ternganga begitu banyak makanan di meja.

"Ma, banyak sekali masaknya. Mau ada tamu yang sarapan ke sini?" Salma mendekati meja makan dengan menelan air liur. Jujur dia langsung lapar, tidak sabar mulai makan.

"Enggak. Mama sengaja, biar semua orang di rumah ini ikut makan juga. Mumpung Mama di rumah, kan."

Tanpa banyak bicara, Salma meminta Simbok untuk memanggil semua orang yang bekerja di rumah ini. Tidak banyak ada sekitar lima orang berkumpul dan ikut sarapan BERSAMA. Widya terharu mendengar ucapan terima kasih dan pujian kalau masakannya super enak. Sayang sekali Arga tidak di rumah. Dia tidak pulang semalam.

Selesai sarapan semua membereskan semua peralatan makan masing-masing. Suasana kembali seperti biasa, tiap orang mulai mengerjakan tugasnya masing-masing. Widya membawa laptopnya ke meja makan. Di sana dia merasa nyaman untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Salma sudah menaiki motornya ke sekolah. Kemandiriannya harus dimulai dengan berangkat sekolah sendiri.

***

Ananta baru saja memarkirkan motornya saat Salma sampai dengan motor yang sudah lama tersimpan.

"Wah, motor baru, nih." Ananta menghampiri dengan senyum menggoda.

"Ini motor lama, Nan. Cuma baru berani aku pakai." Salma memasukkan kunci motor di sakunya. Lalu mengikuti langkah Ananta menuju kelas.

"Sepertinya pagi ini membawa keceriaan buat kamu. Ada cerita apa?"

"Ada banyak cerita dari semalam sampai tadi pagi. Aku bahagia sekaligus masih cemas. Mama akan lebih sering di rumah. Pekerjaan bisa di-handle dari rumah. Tetapi ...."

Langkah mereka terhenti. Salma melihat ke sekitar mereka, banyak orang berlalu-lalang. Tidak mungkin menceritakan soal Arga di sini.

"Oke, aku paham. Kita cerita nanti aja, ya? Di masjid Al Hikmah?"

Mendengar nama masjid itu seketika membuat Salma tersipu. Mendadak muncul rasa ingin bertemu seseorang di sana lagi. Ananta menangkap rona merah itu. Entah untuk siapa perasaan Salma itu.

"Kita masuk kelas aja, dulu. Nanti aku cerita."

Ananta mengangguk. Mengikuti langkah Salma dengan pikiran tidak menentu. Tetapi hari itu banyak ulangan yang memerlukan fokus lebih dari biasanya.

***

Sepulang sekolah, Salma mencari Ananta. Dia tidak ada di kantin atau tempat parkir. Motornya juga sudah tidak ada. Menyebalkan sekali, seharusnya dia bilang kalau mau pulang lebih dulu. Pantas saja tadi keluar kelas dia buru-buru sekali. Salma mengambil ponsel dan menghubungi Ananta. Nada terhubung berbunyi tetapi tidak diangkat. Mungkin masih di jalan. Salma akan menghubungi saat sudah sampai di masjid.

Motor berjalan normal tidak ngebut juga tidak lambat. Salma merasa dirinya lebih semangat sekarang. Semoga hari ini bisa bertemu Langit, atau Fatma juga cukup menyenangkan.

Salma mulai membawa mukena sendiri, bukan milik masjid lagi. Dia lebih nyaman dan tidak merasa harus cepat melepasnya karena mungkin ada orang lain yang ingin memakai.

Selesai sholat Salma mendengarkan murotal lewat ponselnya. Sambil perlahan mengikuti. Langit yang sudah melihat kedatangan Salma sejak awal menghampiri.

"Assalamualaikum"
Salma mendongak ada seseorang berdiri di depannya.

"Waalaikumussalam." Headset dilepas lalu disimpan diam-diam disaku baju.

"Apa kabar kamu? Sepertinya wajahnya lebih ceria." Langit duduk bersila.

"Alhamdulillah sehat, Kak. Hmm, semua baik dan semalam nggak minum obat tidur." Salma sangat bahagia bahkan hanya bertemu seperti ini.

Langit tersenyum sambil mengucap hamdalah. "Lalu, niat ingin belajar mengajinya masih lanjut, nggak?"

Salma terdiam. Jujur dia malu kalau harus mulai belajar dari awal lagi. Yang lebih cocok buat anak-anak.

"Kenapa harus malu? Kamu ingat Fatma, kan?"
Salma mengangguk.

"Dia juga belajar dari awal dan belum selancar sekarang. Tetapi karena dia niatnya bagus, pasti dimudahkan."

Benar juga, Salma harus mulai secepat mungkin. Kalau perlu hari ini.
"Atau kamu mungkin lebih nyaman belajar dengan Kak Fatma?" Pertanyaan Langit langsung dicegat gelengan kepala.

"Salma mau belajar sama Kak Langit aja." Salma sempat menyesali kejujurannya. Kepalang basah dia lanjutkan saja.

Langit tersenyum lalu mengangguk, memenuhi keinginan Salma. Mengingat kejadian buruk yang terjadi, Langit mengatur jadwal yang aman bagi Salma. Agak sulit kalau menyesuaikan dengan jadwalnya di kantor. Terkadang ada meeting mendadak dari klien tertentu.

"Salma nggak masalah kalau Kak Langit cancel saja di jadwal yang harus meeting."

Salma ini jalan berpikirnya terlalu cepat dewasa dari umurnya. Remaja yang seumuran dengannya masih banyak jajan dan memikirkan kepentingannya sendiri. Salma berbeda. Langit melihat sisi lain dari Salma.

Akhirnya perjanjian belajar BERSAMA sudah jadi. Langit merasa bertanggung jawab penuh dengan ini. Semua karena Salma memiliki background yang berbeda. Oleh karena itu, Langit harus siap apa pun yang terjadi. Arga bisa melakukan apa saja untuk mencegah niat Salma. Tetapi Langit juga bukan orang sembarangan, bahkan di dunia bisnis, sepertinya Arga masih kalah jauh dari sepak terjang Langit.

***
Alhamdulillah bisa double up.
Selamat membaca, kita bertemu lagi di frame berikutnya. Happy reading.👍💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro